Dialektika Peradaban Islam antara Realitas dan Idealitas
Budaya dan Peradaban cermin keyakinan suatu bangsa dan negara. Pandangan dunia dan ideologi yang benar sejatinya juga dapat mengarahkan penganutnya pada kebenaran serta realitas peradaban. Ini tak ubahnya dengan pengalaman orang yang berencana membuat rumah, dia pasti memiliki konsep dan gambaran ideal sebuah bangunan sehingga dapat lantas membuat kalkulasi anggaran dan tenaga kerja yang dibutuhkan, termasuk merencanakan alokasi waktu dan perlengkapan lainnya.
Begitulah hidup ini, perlu tujuan yang jelas hingga dapat merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi gerak, kerja dan persiapan kita. Dalam realisasi tujuan tersebut, pandangan dunia dan ideologi sudah seharusnya diturunkan agar dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi budaya serta peradaban yang berkemajuan, terarah, dan mencapai tujuan.
Banyak argumen yang menjelaskan bahwa Islam itu agama yang tinggi, agama yang direstui Allah SWT. Dalam Alquran ditegaskan, “Dan janganlah kamu lemah, dan jangan bersedih hati, padahal kamu paling tinggi, jika kamu orang beriman” (QS. Al Imran [3]: 139). Ayat ini menjelaskan bahwa jika kita beriman, kita tidak akan lemah dan bersedih hati. Namun, apakah demikian kenyataannya?
Dilansir dari Forbes melalui KOMPAS.com, ada tiga indikator penilaian kebahagiaan, yaitu life evaluation, positive emotion dan negative emotion. Di antara konklusinya, 20 negara yang memiliki tingkat kebahagiaan tertinggi tidak satupun mayoritas penduduknya beragama Islam. Nomor satu dikuasai Finlandia, sementara Perancis berada di paling bawah.
Dari 15 negara yang diteliti The Richest, ternyata hanya Malaysia yang menduduki peringkat ke-15 sebagai negara yang paling maju di bidang teknologi, sementara urutan 1 hingga 14 diduduki oleh negara-negara maju yang mayoritas penduduknya tidak beragama Islam seperti: Amerika Serikat, Jepang, Jerman. Sementara negara terkorup di dunia, menurut Corruption Perceptions Index, adalah Guinea-Bussau, Libya, Korea Utara, Venezuela, Afganistan, Sudan, Yaman, Suriah, Sudan Selatan dan Somalia.
Laporan di atas, tentu saja, bisa jadi tidak sepenuhnya benar. Tetapi, paling tidak, itu dapat memotivasi kita untuk instrospeksi diri: sejauh mana posisi kita di mata dunia atau dalam persepsi saudara kita yang tidak seagama.
Apa yang salah dengan kita, umat islam? Sejak kapan budaya dan peradaban kita mulai mengalami kemajuan dan pertumbuhan?
Islam hadir dalam rangka membangun budaya dan peradaban berkemajuan dengan landasan tauhid dan akhlak mulia yang diteladankan oleh Nabi SAW. Sebelum ia hijrah ke Madinah, kota ini bernama Yatsrib yang warganya sudah terbiasa dengan konflik hingga pertumpahan darah, seperti antara Aus dan Khazraj. Nabi SAW berhasil mempersatukan hingga mempersaudarakan mereka.
Nama Madinah sendiri, sebagaimana yang dicatat Nur Kholis Majid, memiliki akar kata din, yaitu agama yang bermakna keteraturan sekaligus kepasrahan pada Tuhan atau, dapat juga dikatakan, kota yang tertib dan teratur.
Madinah adalah lokus peradaban Islam pertama yang dibangun oleh Nabi SAW. Kebijakannya di sepanjang Fathu Makkah juga mencerminkan sikap berkarakter nilai-nilai tauhid dan akhlak mulia; ia tidak mengahancurkan, tidak merampas, tidak membunuh musuh politik. Ia datang dengan cinta kasih dan perdamaian hingga semua warga kota suci itu merasa aman dan terlindungi.
Tetapi sejarah juga tampaknya tidak merahasiakan rangkaian peristiwa apa saja setelah wafat pembangun peradaban termegah ini.
Hampir seluruh pelanjut peran Nabi SAW era pertama wafat karena dibunuh. Umar, Utsman dan Ali mati dibunuh. Antarsahabat saling berperang, bahkan antara istri Nabi (Aisyah) dan menantunya sendiri. Ada apa dengan kekuasaan Islam pada masa itu?
Cucu mulia Nabi SAW justru mati dibunuh oleh anak seorang sahabat yang telah mengubah kekhalifahan mejadi kerajaan. Dari masa ke masa, raja dan khalifah silih berganti tanpa lepas dari intrik politik dan operasi penaklukan wilayah sampai Benua Biru.
Nilai-nilai Islam lambat laun meredup, kehilangan identitasnya sebagai agama yang santun, cinta kasih dan penjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Perpindahan dan pergeseran ibu kota Islam dari Madinah ke Damaskus, Baghdad, Kairo dan negeri lainnya diiringi dengan pergeseran nilai dan budaya.
Pemerintahan Islam menjadi ajang perebutan antarkeluarga raja. Motif ekonomi tampil lebih dominan dibanding kesadaran mengajak manusia pada tauhid dan kepasrahan pada Tuhan seperti semangat Nabi dahulu berhijrah ke Madinah. Kehidupan hedonis dan konsumtif seolah menjadi bagian dari pola-pola pemerintahan atas nama Islam.
Setelah kejatuhan Bani Umayah, kekuasaan berpindah ke Bani Abassiyah dengan mengusung jargon: kembalikan kekuasaan kepada Bani Hasyim, padahal isinya sama dengan politik dinasti sebelumnya. Keluarga Nabi dan para pengikut setianya, setelah syahidnya Sayidina Husein, tidak begitu terlibat dalam politik praktis pemerintahan, kalau tidak untuk mengatakan, justru menghindar. Mereka fokus membina akhlak umat, membangun peradaban ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama pada masa kekuasaan dinasti Bani Abasiyah.
Tradisi dan peradaban ilmu-ilmu keislaman tumbuh dan berkembang di bawah bimbingan dan dukungan keturunan Nabi serta para pengikutnya. Membangun peradaban Islam tidak hanya dengan kekuasaan, tetapi juga membangun komunitas unggul melalui akhlak mulia, cinta pengetahuan dan kemajuan teknologi. (Asep Hasan Pur)