Dr. Dina Sulaeman: Konflik Timur Tengah Sengaja Dirawat Barat
Jakarta, – Pakar kajian Timur Tengah, Dr. Dina Y Sulaeman mengatakan konflik yang terjadi di Timur Tengah sampai hari ini sengaja dirawat Dunia Barat untuk tetap melanggengkan imperialisme di kawasan tersebut. Karena itu menurutnya, setiap analisis kajian Timur Tengah tidak bisa dilepaskan dari peran dan hegemoni negara-negara kuat yang berpengaruh di kawasan.
pada Seminar International yang digelar Ikatan Alumni Jamiah Al-Mustafa atau IKMAL bekerjasama dengan Al-Mustafa International University pada Jumat (24/2). Seminar Internasional dengan tema, ”Prestasi dan Tantangan Iran dalam Mengimplementasikan Sistem Pemerintahan Berbasis Agama” ini dibuka oleh Direktur Al-Mustafa International University Perwakilan Indonesia Prof. Dr. Hossein Mottaghi.
Mengawali pembicaraannya dengan tema “Tantangan Geopolitik Revolusi Islam Iran” Dina Sulaeman menjelaskan definisi analisis geopolitik. Ia mengatakan, “Secara singkatnya analisis geopolitik adalah analisis yang memandang faktor-faktor geografis yang menjadi landasan dari hubungan internasional, hubungan antar negara di suatu kawasan dan menjadi pemandu interaksi politik diantara aktor-aktor di kawasan tersebut.”
“Artinya, kalau kita bicara soal geopolitik, artinya kita akan berbicara mengenai siapa yang paling berkuasa di suatu kawasan, siapa yang ingin mendominasi, sedang mendominasi atau memiliki kecenderungan untuk mendominasi atau punya potensi untuk menjadi hegemon. Begitupun terkait dengan apa wilayah yang ingin dikuasai itu, apa yang ada di wilayah tersebut, kenapa kok diperebutkan wilayah itu. Dan juga terkait aliansi antar negara di kawasan tersebut dengan aktor-aktor kuat lainnya.” Tambahnya.
Dosen HI Unpad ini melanjutkan, “Khusus untuk Timur Tengah, kalau kita lacak sejarah terbentuknya negara-negara di kawasan tersebut, apakah mereka sendiri yang ingin membentuk negara Suriah, Irak dan Lebanon misalnya. Kalau kita melihat sejarahnya tidak seperti itu. Pembentukan neara-negara di Timur Tengah sebagian besarnya sifatnya arbitrer, suka-sukanya imperialis waktu itu, yaitu Inggris dan Prancis. Mereka awalnya menjajah kawasan tersebut, kemudian memberikan kesempatan merdeka dengan kontrol tetap di tangan mereka. Maka terbentuklah negara-negara yang berbeda sementara secara kultur bahasanya sama, seperti misalnya Suriah dan Lebanon, sama-sama Arab tetapi mengapa dibagi dua?. Mengapa harus ada Suriah dan Lebanon, ya itu karena warisan dari penjajahan yang bangsa ini alami sebelumnya. Para penjajah itulah yang mendirikan negara-negara tersebut dan mereka pula yang menentukan batasan-batasannya. Jawabannya, ya karena mereka ingin melanggengkan kekuasaan mereka di kawasan tersebut.”
“Jadi, hingga hari ini pun, saat ingin menganalisis Timur Tengah, maka analisis kita tidak bisa dilepaskan dari keberadaan aktor-aktor tadi. Misalnya ketika ingin menganalisis konflik Suriah, maka tidak bisa yang kita analisis hanya Suriahnya saja. Harus dipertimbangkan pengaruh kekuatan-kekuatan eksternal terhadap konflik di sana. Sama dengan kasus di Iran juga. Kalau kita lihat beberapa bulan terakhir ini, terjadi aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan sejumlah kelompok, dan itu tidak banyak yang berdemonstrasi menolak hijab, lalu kemudian juga demonstrasinya menginginkan perubahan sistem. Peristiwa ini tidak bisa dilihat dengan sifat lokal saja, kita harus melihat aktor-aktor kuat apa yang mereka lakukan terhadap Iran, sehingga muncul aksi demonstrasi tersebut.” Lanjutnya.
“Analisa seperti ini juga kerap disampaikan oleh Pakar Timur Tengah Raymond A. Hinnebusch, penulis buku The International Politics of the Middle East, yang buku ini kerap saya pakai sebagai panduan utama dalam menganalisa. Dia mengatakan, kekuatan imperialis telah membagi Timur Tengah menjadi banyak negara lemah yang bergantung pada negara pusat, yaitu Amerika Serikat dan Barat. Timur Tengah hari ini terjebak dalam sistem yang didominasi oleh negara-negara kuat, sehingga negara-negara Timur Tengah sebagian besarnya tidak bisa mengambil keputusan sendiri demi nasibnya sendiri. Ketika ada satu negara yang ingin mengambil keputusan sendiri, demi kepentingan rakyatnya, contohnya Iran ingin mengembangkan tekhnologi nuklir untuk kepentingan sipil, langsung diganggu oleh kekuatan global. Sehingga, sekali lagi, tidak ada analisis yang komprehensif mengenai Timur Tengah kalau tidak melibatkan dan mempertimbangkan kehadiran negara-negara besar, yang secara umum kita sebut Barat.” Papar penulis sejumlah buku mengenai kajian Timur Tengah ini.
Dalam lanjutan materinya, Dina Sulamen berkata, “Oleh karena itu, ketika kita melihat kondisi geopolitik Timur Tengah hari ini, kenapa kok ada 40 pangkalan militer Amerika Serikat di kawasan itu?. Apakah negara-negara Timur Tengah itu mengancam AS? letaknya kan juga jauh dari AS? artinya, siapa sebenarnya yang terancam?. Begitu juga di Irak mengapa hari ini AS masih terus ada di sana?. Jawabannya tentu saja, kekuatan imperialis masih ingin tetap mempertahankan pengaruh dan dominasinya, alasannya setidaknya ada dua faktor, yaitu ingin tetap menguasai sumber daya alam di kawasan tersebut dan yang kedua adalah hendak menjaga eksistensi Israel. Israel sendiri sengaja diciptakan di Timur Tengah, agar kawasan tetap berada dalam situasi konflik. Situasi konflik tentu saja membuat negara-negara di kawasan tetap berada dalam keadaan lemah sehingga mudah untuk terus dikuasai.”
“Mearsheimer salah seorang professor terkemuka Amerika Serikat dan terkenal sebagai ahli hubungan internasional, mengakui sendiri bahwa kebijakan luar negeri AS adalah menyebarkan nilai-nilai liberalisme. Karena menurutnya, AS sangat percaya dengan liberalisme, yang wujudnya adalah demokrasi. Sehingga AS dengan segala cara menyebarkan nilai-nilai demokrasi ke sejumlah negara, termasuk ke Timur Tengah. Jadi, kalau ada pemerintahan di Timur Tengah yang tidak demokratis dan liberal, maka AS akan menggulingkannya dengan berbagai cara. Karena kalau sudah terguling rezimnya, yang menurut AS tidak demokratis ini, ada dua keuntungannya, yaitu nilai-nilai liberal akan tersebar dan akan muncul pemimpin yang pro Barat.” Lanjutnya.
“Terus dengan cara apa AS melakukan penggulingan rezim tersebut? Yang mereka lakukan adalah menggerakkan rakyat yang berada dalam negeri itu sendiri. Jadi bukan AS yang kirim pasukan langsung, kecuali untuk beberap kasus, misalnya di Irak pada tahun 2003 yang AS mengirimkan pasukan militer langsung. Cara menggerakkan rakyat melawan pemerintah adalah dengan menghembuskan nilai-nilai demokrasi tadi.” Tambahnya lagi.
Menyinggung Iran, akademisi yang meraih gelar doktoral Hubungan Internasional di Unpad ini mengatakan, “Untuk khusus kasus Iran, ada hal yang menggelikan. Bukankah revolusi Islam Iran itu menggulingkan monarki, bukankah monarki itu tidak demokratis? kemudian rakyat Iran menggulingkan monarki dan dibentuklah republik. Republik itu kan demokratis yang dibentuk dari hasil pemilu. Berdirinya Republik Islam Iran dari awalnyapun melalui proses demokratis. Misalnya, dimulai dari referendum dengan rakyat ditanya dulu, setuju tidak dengan berdirinya Republik Islam, yang ternyata 98 persennya setuju. Kemudian UUnya dibentuk, yang juga sebelumnya draftnya disepakati melalui referendum. Bukankah ini demokrasi?. Begitu juga disetiap lapisan lini kepemimpinannya, ditentukan melaui pemilu. Bahkan pemimpin tertingginya pun terpilih melalui proses pemilu sebelumnya. Tetapi upaya penggulingan rezim yang dilakukan AS di Iran dan juga banyak negara lain dengan menggunakan isu demokrasi. Untuk di Iran, isu ketidak demokrasian rezim Iran yang dihembuskan AS adalah isu mengenai perempuan. Dengan wacana perempuan dipaksa mengenakan jilbab, artinya itu tidak demokratis. Itulah trik-trik AS dan Barat yang mereka jadikan serangan dan ini menjadi tantangan untuk memberi jawaban.”
“Trik Barat lainnya, adalah dengan penerapan sanksi atau embargo. Yang menjadi korban embargo AS bukan hanya Iran, Rusia termasuk korban embargo AS pasca Rusia menginvasi Ukraina. Iran mendapat sanksi dari AS sebanyak empat ribu sanksi sementara Rusia mendapat 14 ribu sanksi. Negara lain yang mendapat sanksi AS selain Iran dan Rusia adalah Suriah, Korea Utara, Belarusia, Myanmar dan Venezuela. Mengapa negara-negara ini mendapat sanksi? Ketika AS menerapkan sanksi atas negara-negara tersebut, akibatnya kan rakyat menderita? nah penderitaan rakyat itulah yang kemudian dijadikan isu untuk menggulingkan rezim. Sehingga, demokrasi yang diusung AS sebenarnya bukan demokrasi yang hakiki. Apa benar AS menginginkan suara rakyat yang berkuasa? Bukankah dengan menerapkan embargo dan sanksi, AS telah membuar rakyat disebuah negara yang tidak disukainya menjadi menderita. Suriah hari ini kondisinya sangat buruk dengan penerapan sanksi yang sedemikian lama dari AS. Diantara sanksinya, pesawat tidak boleh mendarat di bandara Damaskus. Kalau mendarat beresiko kena sanksi juga. Karena itu, negara-negara yang mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Suriah, hanya negara-negara yang berani saja, seperi Irak, Iran, Aljazair dan termasuk Indonesia. Pemerintah Indonesia berhasil mendaratkan dua pesawat yang membawa bantuan ke Damaskus, menunjukkan pemerintah RI memiliki kemandirian dalam hal ini.” Tambahnya.
“William Blum sampai menulis, bahwa demokrasi yang diekspor AS, adalah demokrasi yang mematikan. Jadi yang terjadi hari ini adalah pergeseran geopolitik, dengan berbagai kesulitan yang dialami Iran dan negara-negara lain yang berusaha melawan hegemoni AS seperti Rusia, China dan Venezuela, dan mereka benar-benar berusaha melakukannya dengan membuat poros ekonomi baru. Terbentuklah misalnya, BRICS yang beranggotakan Brasil, Rusia, China, India dan Afrika Selatan. Iran juga ingin masuk ke dalamnya, begitupun Arab Saudi. Karena mereka melihatnya sebagai kekuatan ekonomi baru dengan AS sudah mulai menurun. Kekuatan baru ini sudah mulai muncul dan telah berani meninggalkan dollar.” Paparnya lagi.
Di bagian akhir penyampaiannya, Dina Sulaeman mengatakan, “Salah satu cara untuk menghentikan hegemoni AS adalah dengan menghentikan penggunaan dollar dan sejumlah negara telah berani melakukannya. Iran saat ini telah melakukan pendekatan yang intens dengan China. Baru-baru ini Presiden Raisi mengunjungi China dan menandatangani banyak sekali perjanjian. Yang mengkhawatirkan AS, China dan Iran ingin kembali membangun jalur sutra, yang tentu saja akan menjadi poros ekonomi baru. Pepe Escobar salah seorang pengamat politik mengatakan, dunia multipolar yang baru, dunia yang porosnya tidak lagi ke Barat, melainkan ke Rusia, China dan Iran.”
Hal tersebut disampaikan direktur Indonesia Center for Middle East Studies (ICMES) ini
Seminar yang dimulai pukul 14.00 wib tersebut menghadirkan empat narasumber, yaitu, Dr. Tim Anderson (Director of Centre for Counter Hegemonic Studies, Australia) sebagai pembicara pertama yang menyampaikan materi dengan tema, “Reaksi Dunia, Khususnya Amerika Serikat dan Sekutu-Sekutunya terhadap Revolusi Islam Iran”.
Narasumber kedua, Dr. Dina Y. Sulaeman (Direktur Indonesia Center for Middle East Studies)/ (ICMES) yang menyampaikan materi “Tantangan Geopolitik Revolusi Islam Iran”. Dr. M. Najih Arramadloni (Sekretaris Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme MUI) hadir sebagai pembicara ketiga dengan menyampaikan materi, “Revolusi Islam Iran dan Geopolitik Timur Tengah: Krisis Suriah”. Serta pembicara terakhir Dr. Asep Kamaluddin Nashir (Ketua Umum Asosiasi Ilmuwan HI) yang menyampaikan “Proyek Nuklir Iran dalam Perspektif Politik Internasional: antara Prestasi dan Tantangan”.
Seminar Internasional yang dimoderatori oleh Ammar Fauzi, Ph.D tersebut digelar di Auditorium Al-Mustafa Gedung STAI SADRA Jakarta dengan dihadiri kurang lebih seratus peserta dari kalangan akademisi, peneliti dan mahasiswa, termasuk sejumlah mahasiswa Indonesia di Iran yang hadir secara online. Tampak hadir diantaranya, Dr. Khalid al Walid, M.A (Ketua STAI Sadra Jakarta). Siaran seminar ini dapat disaksikan ulang melalui chanel Youtube IKMAL TV Indonesia.
Sumber : Dr. Dina Sulaeman: Konflik Timur Tengah Sengaja Dirawat Barat – purnawarta