Epistemologi Agama (4)
Epistemologi Agama (4)
Oleh: Andi Mahdi
Nafs al-Amr (baca: affair of the truth)
Dalam bahasan filsafat, terdapat satu bab yang mengupas “affair of the truth” secara detail. Sebagai singgungan, kajian “affair of the truth” merupakan bahasan ontologis yang terkait-erat dengan epistemologi. Di mana, “affair of the truth” merupakan wadah pengembalian seluruh jenis proposisi yang dimiliki oleh manusia. Lebih lanjutnya, manusia memiliki pengetahuan yang terdeskripsikan dalam bentuk proposisi-proposisi. Proposisi-proposisi tersebut berbeda antara satu dengan lainnya berdasarkan objeknya. Objek-objek tersebut beragam secara gradual.
Proposisi adalah sekumpulan gagasan yang terdiri dari subjek dan predikat serta menjelaskan predikasi, baik afirmatif atau pun negasi. Predikasi itulah penentu bagi hubungan antara subjek dengan predikatnya, yang kemudian menjadi pengetahuan. Pengetahuan manusia harus memiliki tolok-ukur benar dan salahnya, sehingga manusia mendapatkan jaminan atas apa yang dimilikinya sebagai pengetahuan.
Dalam pembahasan epistemologi, hal yang paling menarik perhatian para pakar adalah kajian tentang tolok-ukur benar dan salah. Diskursus tolok-ukur benar dan salah menyeret mereka untuk menuangkan teori tentangnya. Banyak teori telah mereka sodorkan, mengingat bahwa pengetahuan manusia harus mendapatkan jaminan, sehingga layak disebut pengetahuan dan berbeda dengan informasi yang belum terverifikasi. Dari sisi inilah, mengapa kaji tentang epistemologi menjadi sangat urgen.
Dari sisi lain, pengetahuan terverifikasi adalah yang dapat dikembalikan pengetahuan tersebut kepada pemiliknya, fakta. Tentunya, berbicara tempat pengembalian pengetahuan kepada pemiliknya akan menyeret kita memasuki bahasan tentang Nafs al-amr (baca: affairs of the truth).
Berdasarkan “teori korespondensi”, kesesuaian mental dengan eksternal, terdapat “affairs of the truth”, “wadah” pengembalian seluruh proposisi yang dimiliki manusia dalam mentalnya. “wadah” sebagai pemilik proposisi-proposisi dengan segala jenis dan tingkatannya.
Bahasa Wahyu
Agama mewartakan diri dan apa yang diembannya kepada manusia dengan meminjam media bahasa. Terdapat dua sisi tinjauan terhadap bahasa wahyu; tinjauan kebahasaan, dengan menggunakan bahasa Arab; tinjauan bahasa manusia, di mana wahyu berbicara kepada manusia dengan ukuran-ukuran fitrah dan nalarnya.
Bahasa merupakan media pemahaman. Melahirkan apa yang tersembunyi dalam benak. Kehendak dan keinginan yang batin menjadi lahir dengan peran bahasa, sehingga muncul kepahaman antara dua belah pihak; pembicara dan pendengar. Maka, dari sinilah dipahami bahwa hubungan antara kehendak dengan bahasa seperti hubungan antara zahir dan batin.
Sekilas intermezo, salah satu bahasan dalam ushul-fiqih tentang bahasa menjelaskan bahwa terdapat dua denotasi; sederhana; tersusun. Denotasi (baca: al-dilalah) sederhana adalah pendengar hanya sekedar mendengar satu kata “gelas”, baik dari manusia atau pun selainnya, secara spontan akan tergambar di dalam benaknya makna gelas sebagai wadah dan alat untuk minum. Pada fase ini bahasa dan makna terhubung dengan peletakan berdasarkan teori “keseiringan yang erat” ala Sadr. Denotasi tersusun terbagi menjadi dua: primer dan sekunder. Denotasi tersusun primer adalah ketika seorang pembicara berkeinginan menyiratkan makna satu kata kepada pendengar, namun tidak diiringi oleh kesungguhan dan keseriusan kehendak. Keseriusannya hanya sekedar dalam penggunaan kata pada maknanya seperti, ketika bersendagurau. Walau pun, dalam fase ini terjadi pemahaman, namun tidak menunjukkan keseriusan dan kesungguhan pembicara. Denotasi tersusun sekunder adalah merujuk pada keseriusan dan kesungguhan pembicara atas makna yang diinginkan. Pada fase ini, penggunaan bahasa tidak lagi merujuk pada peletakan bahasan, akan tetapi menitikberatkan pada penggunaan yang terkait dengan kehendak juga keinginan.
Melihat dua model denotasi di atas, dapat disimpulkan bahwa denotasi sederhana memfokuskan pada peletakan dan kesepakatan bahasan dan makna. Sedangkan pada denotasi tersusun menitikberatkan pada penggunaan dan kehendak.
Bahasa wahyu dapat ditinjau dari dua sudut denotasi di atas. Ketika dalam Alquran disebutkan kata “’arabiyan” menitikberatkan pada denotasi sederhana yaitu, bahasa yang digunakan untuk menciptakan pemahaman adalah bahasa Arab. Namun, di kala Alquran menggunakan kata “mubina” ingin menerangkan denotasi tersusun sekunder. Di mana, terdapat kesungguhan dan keseriusan pembicara untuk menjelaskan hakikat-hakikat serta realitas-realitas kepada manusia agar dapat dimengerti. Tentunya, dengan sebuah kesadaran bahwa tingkat dan kadar manusia menangkap penjelasan yang menghantarkan pada hakikat dan realitas tersebut beragam.
Mengingat kadar dan tingkat kemampuan manusia dalam memahami penjelasan wahyu tentang hakikat juga realitas beragam, maka bahasa wahyu, walau pun memiliki keindahan sastrawi, dapat dimengerti berdasarkan jenjang pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Semakin luas dan beragamnya pengetahuan yang dimiliki manusia sangat berperan dalam memahami bahasa wahyu.