Etika Politik
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia akhlak diartikan sebagai budi pekerti; kelakuan. Adapun politik dijelaskan sebagai (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan); segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain.
Lalu, apa relasi antara akhlak dan politik? Apakah mungkin seorang politikus (orang yang berkecimpung di bidang politik) dituntut dan diharuskan untuk bertindak sesuai dengan pedoman akhlak? Apakah akhlak yang notabene adalah persoalan individual dan politik yang merupakan masalah sosial dapat dipertemukan?
Kita menyebut seseorang sebagai politikus bila yang bersangkutan cerdas dan mampu memanfaatkan pelbagai potensi dan kesempatan yang ada untuk mengukuhkan kekuasaannya. Dan kita menyatakan seseorang berakhlak bila ia berpegangan dengan nilai-nilai moral dan sikap-sikapnya melampaui sekat-sekat individual, sehingga ia lebih mengutamakan orang lain daripada dirinya serta menghormati hak-hak sesama.
Sejak zaman Plato dan muridnya Aristoteles sampai masa yang baru, politik senantiasa didefenisikan dalam cakupan atau bingkai akhlak. Bahkan pada prinsipnya, dalam pandangan tradisional terhadap akhlak, politik itu diletakkan dan dibahas dalam bagian akhlak praktis yang bermakna tadbir mudun (manajemen kota). Sehingga dalam perspektif tradisional ini, akhlak dianggap sebagai pilar dan pondasi politik.
Seluruh nasihat yang ditulis dan disampaikan oleh para ulama terhadap umara (penguasa) berdasarkan sudut pandang ini terkait hubungan antara politik dan akhlak. Namun dalam masa yang baru, tepatnya dari zaman Machiavelli terjadi perubahan pandangan yang mendasar dan bahkan kontradiksi dengan pendapat Plato dan Aristoteles terkait hubungan antara politik dan akhlak [1]. Dengan kata lain, hubungan antara akhlak dan politik mengalami kerenggangan dan keretakan.
Bila merujuk pada pandangan klasik yang politik didefenisikan dalam bingkai akhlak maka para politikus diharuskan untuk menetapkan dan mengambil kebijakan publik berdasarkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai moral. Namun politik dalam defenisi yang baru dipahami sebagai ilmu dan seni yang terkait dengan pengaturan aspek lain dari kehidupan manusia yang di luar aspek dan cakupan akhlak.
Machiavelli seolah mengklaim menemukan suatu penemuan yang besar, yaitu penemuan yang menyebabkan akhlak diamputansi dari hingar-bingar politik, dan politik dikeluarkan dari cakupan defenisi akhlak. Sebab, politik itu adalah ilmu mendapatkan kekuasaan, sedangkan akhlak tidak ada kaitannya dengan kekuasaan, bahkan dalam banyak kasus, nilai-nilai etika dianggap berseberangan dengannya.
Selanjutnya,apa itu akhlak? Perbuatan apa saja yang kita sebut berakhlak? Masalah apa saja yang menjadi tema akhlak? Apa parameter perbuatan yang berakhlak? Apakah tindakan politik termasuk dari persoalan yang bernuansa akhlak?
Adalah jelas bahwa akhlak masuk dalam cakupan perbuatan manusia sebagai makhluk yang bebas (memilih) dan yang memiliki iradah (keinginan) dan kekuatan memilih. Dengan kata lain, hukum-hukum akhlak tidak berlaku dalam perbuatan-perbuatan yang tidak menyertakan ikhtiyar dan pilihan manusia. Oleh karena itu, perbuatan dan tindakan binatang tidak masuk dalam tema akhlak karena bertumpu pada naluri dan tanpa adanya iradah. Maka, setiap perbuatan yang berdasarkan ikhtiyar dan pilihan kiranya dapat dijadikan penilaian akhlak.
Akhlak itu memiliki hubungan yang sangat erat dengan keadilan, bahkan sejatinya esensi akhlak adalah keadilan. Dalam etika Aristoteles, keadilan dianggap sebagai prinsip penilaian akhlak. Dengan demikian, setiap perbuatan manusia itu perlu ditimbang dengan keadilan sehingga ia memiliki nilai akhlak atau tidak. Karena itu, sebagian menggunakan parameter yang sama untuk menetapkan suatu perbuatan dianggap berakhlak atau berkeadilan. Dengan kata lain, setiap perbuatan yang berakhlak pasti berkeadilan dan begitu juga sebaliknya.
Dalam sebuah wasiat,Sayidina Ali berkata kepada putranya, Sayidina Hasan:
یا بُنَیَّ إجعَل نَفسَکَ میزاناً فیما بَینَکَ و بَینَ غَیرِکَ، فأََحبِب لِغَیرِکَ ما تُحِبُّ لِنَفسِکَ، وَ أَکرِه ما تَکرَهُ لَها
Wahai anakku, jadikanlah dirimu sebagai parameter (timbangan) antara dirimu dan orang lain. Sukailah apa yang ada pada orang lain sebagaimana engkau suka itu ada padamu, dan bencilah sesuatu yang ada pada orang lain sebagaimana engkau benci bila itu ada padamu.[2]
Surat Sayidina Ali tersebut dapat dijakan acuan kebijakan politik, sehingga setiap keputusan politik tidak merugikan rakyat kecil. Etika politik bermakna seorang politikus berupaya melakukan aktifitas politik yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Ia tidak hanya berpikir untuk melanggengkan kekuasaannya, tapi ia melihat kelanggengan kekuasaanya adalah bagian dari khidmat kepada kemanusiaan dan upaya menegakkan keadilan.
Sudah saatnya sekarang mengembalikan defenisi politik dalam bingkai dan koridor akhlak. Karena kita sudah sering melihat betapa mudarat dan bahayanya politik minus akhlak. Kegaduhan dan kegalauan politik yang sering terjadi di hadapan kita karena dipicu adanya politikus yang tidak berakhlak. Bahkan mestinya setiap orang yang mau mencalonkan dirinya sebagai pejabat, baik kepala daerah maupun anggota dewan, ia harus terlebih dahulu belajar akhlak dan memiliki nilai akhlak dalam pola pikir dan pola sikapnya.
Akhlak adalah jantung politik sehingga politik tanpa akhlak adalah kematian politik. Akhlak tidak bisa diamputansi dari politik. Sekecil apapun kegiatan politik harus bertumpu pada nilai-nilai akhlak. Maka bila menginginkan percaturan politik kita aman, damai, dan berkah serta sejahtera maka politikus-politikus kita harus berakhlak. Sebab, selama menjadi manusia yang perbuatannya merdeka, maka seseorang dituntut untuk berakhlak, sedangkan tikus yang memang bertindak berdasarkan naluri dan tanpa iradah tidak perlu berakhlak. Jadi, politikus itu harus berakhlak.
Oleh: Syekh Muhammad Ghazali
Pemerhati Masalah Sosial-Keagamaan
Sumber:
[1] Niccolò Machiavelli lahir di Florence, Italia, 3 Mei 1469 – meninggal di Florence, Italia, 21 Juni 1527 pada umur 58 tahun) adalah diplomat dan politikus Italia yang juga seorang filsuf. Sebagai ahli teori, Machiavelli adalah figur utama dalam realitas teori politik, ia sangat disegani di Eropa pada masa Renaisans.
[2] Nahjul Balaghah, surat ke-31.