Falsafah Pendidikan Gerakan Imam Khumaini: Kritik terhadap Subjektivisme dan Dualisme
Pengantar Buku Prof.Dr. Jamilah Allamulhuda
Fikria Qur’any, M.Ud______Beberapa waktu lalu, isteri presiden Iran hari ini, Prof.Dr. Jamilah Allamulhuda meluncurkan karyanya yang berjudul ashli dalam bahasa Persia Nazariye ye Islam Ta’lim va Tarbiyat yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Teori Pendidikan Islam membahas pendidikan dari tinjauan filsafat Islam. Selain buku itu, terdapat buku lainnya yang juga ditulis oleh Prof.Dr. Jamilah terkait dengan filsafat pendidikan yang merujuk pada pemikiran dari tokoh revolusi Iran yaitu, Imam Khumaini. Pada kesempatan ini, saya menerjemahkan kata pengantar dari pemikiran Imam Khumaini yang ditulis oleh Prof.Dr. Jamilah Allamulhuda dengan judul aslinya, Falsafe ye Tarbiyati Nehzate Imam Khumaini: Naqdi bar Subjektivism dan Dualism.
Gerakan Imam Khomeini (RA) merupakan salah satu fenomena besar sejarah kontemporer, yang didasari oleh karakteristik situasionalnya dan dimensi kehidupan sosial suatu bangsa yang komprehensif, telah mampu menjanjikan terbukanya jalan baru dalam pergerakan kontemporer korban terdampak krisis. Oleh karena itu, menganalisis hakikan dan rahasia dari gerakan baru ini akan menjelaskan pilhan lain dalam beberapa cara memliih generasi mendatang. Berdasarkan hal ini, selama beberapa waktu terakhir ini, sebagai peneliti dengan penuh rasa penasaran saya sibuk menyelidiki tentang dasar-dasar revolusi dari berbagai aspeknya. Akan tetapi, aspek politik revolusi Imam Khumaini lebih dikenal dalam diskursus pemikiran politik daripada aspek lainnya, dikarenakan kebaruan dan orisinalitas pemikiran politiknya. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan berdasarkan tinjauan falsafah politik lebih dominan daripada aspek keilmuan lainnya.
Terlepas dari kondisi dan suasana penelitian di atas, bagi sebagian pemikir bahkan para peneliti, sebelum terjadinya revolusi politik, revolusi Islam merupakan gerakan kebudayaan. Secara mendasar yang membedakan revolusi politik – dari gerakan transformatif lainnya seperti kudeta, pemerintahan boneka, monarki yang kekuasaannya diberikan secara turun menurun atau pergantian kekuasaan partai – ialah, pada tahap awal revolusi, telah terjadi revolusi infrastruktur budaya dalam satu masyarakat. Karena revolusi sosial selalu matang jika didasari oleh revolusi budaya dan setiap revolusi politik juga didasarkan pada perubahan sikap masyarakatnya dan ini adalah sifat alamiah sebuah masyarakat.
Revolusi sosial biasanya memiliki perbedaan yang jelas satu sama lain dari segi tingkatan inklusivitas kehidupan sosial masyarakatnya dan kedalaman transformasi sikap suatu masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, kita bisa melihat dua ciri dalam revolusi Islam yang dapat menjelaskan dua hal tadi yaitu, tingkat kedalaman transformasi sikap suatu masayrakat dan tingkat inklusivitas kehidupan sosialnya, ciri tersebut ialah: (1) adanya kesenjangan besar antara sistem politik revolusi yang ditolak dengan sistem politik yang diterima, (2) memahami perubahan yang terjadi di berbagai elemen kehidupan masyarakat, baik individu maupun sosial.
Penjelasannya, karena jarak antara sistem monarki dan Republik Islam sejauh jarak antara legitimasi tirani tirani dan legitimasi ketuhanan, maka kedalaman perubahan sikap masyarakat sama dengan peralihan dari politeisme dan penyembahan berhala menjadi monoteisme.
«اللَّهُ وَلِی الَّذینَ آمَنُوا یخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُماتِ إِلَی النُّورِ وَ الَّذینَ کفَرُوا أَوْلِیاؤُهُمُ الطَّاغُوت»
Juga, ruang lingkup revolusi telah mencakup semua bidang kehidupan sosial dan menyebabkan berbagai perkembangan di bidang ekonomi, hukum, budaya. adat dan kebudayaan lokal (nasional), hubungan internasional dan lain-lain.
Tentu saja, revolusi tidak pernah diklaim mampu mencapai tujuannya di semua bidang. Malahan sebaliknya, kebanyakan dari revolusi menciptakan konfrontasi, dalam konteks ini kebutuhan Revolusi Islam dengan kondisi objektif dan fasilitas yang ada telah menimbulkan tantangan nyata dan banyak masalah yang muncul dalam kemajuan tujuannya. Mungkin tantangan di bidang kebijakan luar negeri dan masalah ekonomi adalah bukti paling nyata dari ketidaksesuaian antara kondisi objektif dan tuntutan revolusioner.
Bagaimanapun kondisinya, ketidaksesuaian secara menyeluruh antara perubahan sikap dan kebutuhan sosial yang disebabkan oleh revolusi telah menyebabkan sebagian dari masalah sosial serta sebagian dari hambatan dan rintangan rakyat di jalan revolusi Islam. Dengan kata lain, sebagaimana kemunculan revolusi sosial Iran membutuhkan terjadinya revolusi Islam dalam substruktur pemikiran rakyat, kelangsungan sistem sosial ini juga membutuhkan kelangsungan revolusi intelektual tersebut. Kelanjutan gerakan Imam Khomeini tergantung pada kelanjutan pemikirannya; Dan kelanjutan pemikiran Imam juga membutuhkan rumusan dari revolusi intelektualnya. Dengan demikian, memahami filosofi pendidikan revolusi Islam dan menerapkan prinsip-prinsipnya merupakan jaminan untuk mempertahankan revolusi intelektual Imam, yang merupakan dasar dari revolusi sosialnya.
Tidak diragukan lagi, penjelasan tentang teori pemikiran dan sudut pandang intelektual pasti dibangun oleh pondasi pemikiran sebagai substruktur pemikiran berisi landasan dan dasar yang kokoh serta memengaruhi tindakan dan sikap seseorang juga menentukan tujuan dari teori tersebut. Pada hakikatnya, tanpa mengidentifikasi landasan dan dasar-dasar pemikiran dengan tepat, tidak ada satupun penjelasan maupun sikap yang dapat menjelaskannya dengan tepat pula. Berdasarkan hal tersebut, seperti halnya pemikiran politiknya Imam Khumaini, pemikiran pendidikannya dibangun di atas dasar yang kuat yang disandarkan pada prinsip-prinsip agama. Hal tersebut bisa didefinisikan dan disimpulkan apabila landasan dan prinsip dasarnya sama.
Oleh karena itu, penelitian saat ini berusaha untuk mengenalkan setidaknya dua prinsip dasar dalam pemikiran pendidikan Imam, yaitu “penolakan subjektivisme” dan “penolakan dualisme”, agar kemudian dapat dilakukan pengembangan dan penyebarluasan gagasannya dalam berbagai komponen sistem pendidikan, baik formal maupun informal.
Sebenarnya artikel ini ingin menyajikan model pendidikan Islam yang relatif nyata dan terealisasi dengan pengantar pemikiran pendidikan Imam; Menjadi bentuk pendidikan di masyarakat Islam dan menjadi terobosan bagi para peneliti di bidang etika dan ilmu pendidikan. Karena dalam suasana keraguan nyata terhadap pemikiran postmodern, termasuk pendidikan dan pelatihan berdasarkan metode baru untuk kehidupan dan kebahagiaan masyarakat, ada tempat yang baik untuk diskusi baru tentang pemikiran pendidikan yang berbeda dari pemikiran teknologi.
Poin pentingya adalah bahwa analisis pemikiran pendidikan Imam sebagai model pendidikan Islam harus dilakukan secara komparatif dengan pemikiran pendidikan kontemporer; Karena menyelidiki dasar-dasar kedua gagasan ini secara komparatif dapat mengungkapkan poin-poin penting mengenai keunggulan mendasar kedua jenis gagasan pendidikan ini, yaitu pendidikan teknologi dan pendidikan Islam. Pada hakikatnya, karena pengaruh langsung filsafat baru (Barat) pada pengajaran dan pendidikan kontemporer, maka analisis dasar-dasar pemikiran Imam tanpa membahas kondisi pendidikan-filosofis modern dan juga tanpa kritik postmodern pemikiran modern hanya akan menjadi satu analisis yang tidak memadai dan berulang tentang pemikiran karakter/akhlak.
Meskipun pemikiran filosofis-pendidikan kontemporer bisa sangat efektif sebagai gantinya jika dijelaskan secara terpisah; Namun metode ini tidak efektif untuk desain teoritis pemikiran Imam dalam bidang filsafat tambahan. Oleh karena itu, perlu dibangun semacam hubungan antara pemikiran Imam dengan gaya bicaranya yang khusus, dan pemikiran kontemporer dengan gaya bicaranya yang khusus dan kemudian dicari titik dan batas perbedaan mereka yang sebenarnya
Penelitian ini mencoba membangun hubungan antara subjektivisme dan imanensi, dualisme dan dualitas, terlepas dari beberapa perbedaan yang dapat diabaikan, dan kemudian melalui analisis berorientasi pertanyaan filosofis-historis tentang kehidupan pendidikan Imam dan risalah moral-mistis, dia menemukan bahwa: “Penolakan imanensi” dan “Penolakan dualitas” adalah dua basis utama pemikiran pendidikan Imam dan batas nyata pendidikan Imam dari pendidikan teknologi atau yang disebut “pengajaran dan pendidikan baru” berada di dasar filosofis yang berbeda ini. Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa subjektivisme dan dualisme merupakan bagian dari unsur-unsur yang mendasari pemikiran Barat dan telah memberikan konsekuensi yang luar biasa pada pendidikan kontemporer.
[1] Tulisan ini diterjemahkan dari tulisan Prof.Dr. Jamilah Sadat Allamul Huda pada situs فلسفه تربیتی نهضت امام خمینی(س): نقدی بر سوبژکتیویسم و دوآلیسم :: دکتر جمیله سادات علم الهدی (blog.ir) diakses pada 01 Juni 2023, pukul 10.00 WIB.
Fardiana Fikria Qur’any, M.Ud (Dosen Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta)