Filosofi Perbedaan Hukum Lelaki dan Perempuan (1)
Islam memiliki filosofi tersendiri terkait hak-hak lelaki dan perempuan. Islam tidak meyakini satu jenis hak, satu jenis kewajiban dan satu jenis hukuman bagi lelaki maupun perempuan dalam semua ihwal dan peristiwa. Islam memandang seperangkat hak dan kewajiban dan hukuman lebih pantas untuk lelaki dan seperangkat lain lebih pantas untuk perempuan. Karena itu, dalam beberapa hal, Islam mengambil sikap dan langkah yang sama terkait perempuan maupun lelaki, dan pada sebagian lainnya mengambil langkah dan sikap yang berbeda.
Kenapa demikian? Apa yang jadi landasannya? Apakah Islam -seperti beberapa agama lain – memiliki pandangan-pandangan diskriminatif dan kurang menguntungkan terkait dengan perempuan? Apakah Islam menganggap perempuan sebagai manusia kelas dua dan spesies inferior? Ataukah Islam memiliki alasan-alasan lain dalam hal ini?
Mungkin kita sering mendengar propaganda para pengusung feminisme yang berkiblat ke Barat dan menganggap hukum Islam yang terkait mahar, nafkah hidup, perceraian, warisan dan lainnya sebagai hukum yang merendahkan kaum perempuan. Di mata mereka, Islam telah mendikriminasikan perempuan dalam hukum-hukum tersebut. Dengan berbagai cara dan trik, mereka berusaha menciptakan kesan bahwa ketentuan-ketentuan hukum Islam telah membuktikan bahwa lelakilah yang mendapat pelakuan istimewa dalam Islam.
Mereka mengatakan semua peraturan dan hukum di dunia sebelum abad ke-20 berdasarkan ide atau konsep bahwa lelaki – karena jenis kelaminnya – lebih mulia dari perempuan. Kaum hawa diciptakan semata-mata untuk kemanfaatan dan kepentingan lelaki karena hak-hak dalam Islam masih di seputar orbit kepentingan dan kemanfaatan lelaki.
Mereka mengatakan Islam adalah agama untuk lelaki karena Islam tidak mengakui kalau perempuan itu manusia yang lengkap dan Islam tidak menetapkan hukum untuk perempuan yang sesuai keperluan manusia.
Masih menurut mereka, seandainya Islam mengukur perempuan sebagai manusia yang lengkap dan sempurna, tentu Islam tidak akan mendukung poligami, tidak akan memberikan warisan pada perempuan setengah dari bagian warisan lelak, tidak memberikan hak cerai pada lelaki, tidak menjadikan kesaksian dua perempuan sama dengan kesaksian satu lelaki, tidak membenarkan jika perempuan dihargai dengan mahar. Mereka berkesimpulan bahwa Islam memandang perempuan hanya sekedar sarana reproduksi saja, untuk melahirkan keturunan saja. Karena reproduksi akan gagal tanpa peran wanita. Mereka mengatakan, meski Islam adalah sebuah agama persamaan dan menjunjung tinggi persamaan riil dalam situasi-situasi lain, namun dalam kasus perempuan dan laki-laki, Islam tidak memperhatikannya.
Kesimpulan mereka ini – jika menggunakan ilmu logika seperti pola logika Aristoteles — mungkin akan seperti ini; Seandainya Islam memandang perempuan sebagai manusia yang lengkap dan sempurna seperti lelaki, tentu Islam akan menetapkan persamaan hak bagi perempuan. Tapi Islam tidak melakukan hal itu. Jadi, Islam tidak memandang perempuan sebagai manusia sempurna sebagaimana lelaki.
Sebelum membahas satu per satu hak dan hukum untuk lelaki dan perempuan maka sebaiknya kita menjawa terlebih dahulu secara global. Di sini, kita mengajukan beberapa pertanyaan. Pertama, apakah lelaki dan perempuan sama persis hingga keduanya harus disamakan dalam segala hal? Tentu jawabannya tidak, karena lelaki dan perempuan di samping memiliki kesamaan juga memiliki perbedaan. Sebagai manusia, lelaki dan perempuan memiliki derajat yang sama; sama-sama manusia. Yang satu tidak lebih tinggi dari yang lain. Di sisi lain, mereka juga memiliki perbedaan; yang satu bergender lelaki dan lainnya bergender perempuan. Hal ini membuat lelaki dan perempuan keduanya memiliki perbedaan baik secara fisik, emosional, maupun kejiwaan. Semua orang sudah mengetahui hal ini tanpa perlu mengadakan penelitian ilmiah karena semua perbedaan nyata di hadapan manusia.
Lalu pertanyaannya, adilkah dua hal yang memiliki persamaan dan perbedaan diperlakukan sama persis atau identik? Justru hal ini akan memicu kezaliman terhadap perempuan. Jika di masa-masa sebelumnya perempuan terzalimi karena diperlakukan secara tidak adil, tidak dianggap manusia dan tidak mendapatkan hak-haknya meski sedikit maka jika perempuan diperlakukan sama persis dan identik dengan lelaki, perempuan juga telah menghadapi kezaliman dalam bentuk lain. Dalam kondisi ini, perempuan tetap diperlakukan bukan sebagai perempuan. Sebagai contoh, karena perempuan dan lelaki adalah sama maka perempuan diizinkan melakukan pekerjaan berat dan kasar yang biasa dilakukan lelaki, seperti mengangkut bahan bangunan atau mengebor sumur. Padahal, kita tahu bahwa fisik wanita umumnya lebih lemah dibanding fisik lelaki. Mengizinkan wanita bekerja seperti ini berarti kita telah menzalimi tubuhnya yang lemah.
Karena itu, langkah yang tepat bukanlah persamaan antara perempuan dan lelaki tetapi keadilan atas hak-hak. Adil belum tentu berarti sama, begitu juga sebaliknya sama belum tentu berarti adil. Amirul Mukminin Imam Ali as pernah mengungkapkan definisi adil. Beliau mengatakan bahwa adil adalah “Wadh’u syain fi mahallih”atau meletakkan sesuatu pada tempatnya. Atau “I’tha’u dzi Haqqin haqqah” yaitu memberikan hak kepada orang yang berhak. Jadi, jika kita ingin memperlakukan perempuan dengan adil maka perempuan harus ditempatkan sesuai pada tempatnya; di satu sisi memiliki kesamaan dengan lelaki dan di sisi lain memiliki perbedaan dengan lelaki. (Bersambung)
[Euis Daryati]