Fitrah Cinta Kebaikan dan Benci Keburukan, Sebagai Menteri Akal
Fitrah Cinta Kebaikan dan Benci Keburukan, Sebagai Menteri Akal
Sebuah riwayat yang sanadnya Imam Khomeini bawakan di dalam kitab karya beliau, “al-Arba’in”, bersambung sampai Syaikh Kulaini penulis kitab hadis sahih al-Kafi. Isinya cukup detail -sarat makna yang dalam tentunya- menceritakan tentang akal dan jahal sebagai lawannya, dan tentang penciptaan serta kedudukan keduanya.
Dalam pengkajian ilmu apabila mengangkat hadis sebagai dalil atas perkara yang ingin dikukuhkan, pertama yang dipertanyakan oleh para pengkaji ialah menyangkut kesahihan sanadnya. Masalah ini ditunaikan dengan baik sesuai kedisiplinan ilmu dan tradisi keilmuan –pastinya- oleh seorang alim besar seperti Imam Khomeini. Tak sekedar mengutip begitu saja dari sumber-sumber terpecaya, penukilan hadis-hadis Nabi saw dan Ahlulbaitnya secara lisan -langsung dan hidup- dari para sahabat mereka dan ulama besar kepada murid-murid khusus mereka (dalam bentuk matarantai yang tak putus), berlaku dari sejak masa awal Islam sampai hari ini.
Setelah urusan sanad diselesaikan, barulah Imam Khomeini melangkah pada masalah dilâlah hadis. Yakni, makna-makna yang dimaksud dari teks riwayat, yang hal ini juga tak mudah dicapai tanpa penguasaan ilmu dan pengalaman spiritual melalui jihad nafs yang beliau sendiri sering menekankannya di berbagai kesempatan.
Keharusan Membersihkan Diri
Di satu ceramahnya beliau mengungkapkan –yang kira-kira demikian artinya:
“Jika tahdzib (penyucian diri) tak dilakukan, ilmu tauhid menjadi tak berguna. Ilmu adalah penghalang terbesar. Betapapun banyaknya ilmu seseorang, termasuk ilmu yang paling tinggi, yaitu bidang tauhid, yang dia miliki, tetapi jika dirinya tidak dibersihkan, ilmunya itu justru semakin menjauhkan dirinya dari Allah..
Orang yang bersorban di kepala (rohaniawan) bila jiwanya tak dibersihkan, keburukannya lebih banyak dari siapapun. Diterangkan dalam riwayat bahwa: “sebagian penguni neraka bahkan tersiksa oleh kebusukan sebagian rohaniawan, dan di dunia pun juga demikian..”
Di dalam kitab beliau berjudul “Syarh Hadits Junud ‘Aql wa Junud al-Jahl”, pun disampaikan poin-poin terkait pentingnya masalah ini. Dua poin antaranya:
1-Ilmu fikih dengan semua permasalahannya merupakan pendahuluan bagi amal ibadah, dan amal ibadah adalah pendahuluan bagi pencapaian ma’rifat sebagai pendahuluan untuk sampai pada tauhid. Oleh karena itu, Alquran dan Sunnah juga dalam rangka penjernihan akal dan penyucian jiwa, agar jiwa manusia mencapai derajat tauhid.
2-Ilmu akhlak, banyak permasalahan yang ditulis di berbagai kitab dengan nama akhlak, tetapi tidak menunjukkan akarnya, tidak memberi solusi dan tidak mengantarkan pada tujuan tersebut. Kitab akhlak ialah dengan menelaahnya, si pembaca yang gelap jiwanya menjadi terang. Penulisnya yang alim, di dalam arahannya mengantarkan ke tujuan dan tentang solusi yang ia sampaikan memperbaiki jiwa. Kitab yang dia tulis mengobati, bukan menyajikan resep-resep yang tak bisa diamalkan.
Hadis tentang Akal dan Jahal
Imam Ja’far Shadiq berkata: “Kenalilah akal serta pasukannya dan jahal serta pasukannya niscaya kamu mendapat petunjuk”
Sama’ah bin Mihran mengatakan, “Tuanku, kami tidak akan mengetahui kecuali apa yang telah Anda ajarkan kepada kami”
Imam berkata, “Sesungguhnya Allah menciptakan akal, ia adalah makhluk yang pertama di antara alam para ruh di sisi kanan arasy dari cahaya-Nya. Lalu Dia katakan kepadanya, “Berbaliklah!”, maka ia berbalik. Kemudian Dia katakan kepadanya, “Menghadaplah!”, maka ia menghadap. Dia berkata, “Aku telah menciptakan engkau sebagai makhluk yang agung dan memuliakan engkau di atas seluruh makhluk-Ku.
Setelah itu Dia menciptakan jahal dari laut asin yang gelap. Lalu Dia katakan kepadanya, “Berbaliklah!”, maka ia berbalik. Kemudian Dia katakan kepadanya, “Menghadaplah!”, tapi ia tidak menghadap. Maka Dia berkata kepadanya, “Kamu telah membangkang!”, maka Dia menjauhkannya.
Kemudian Dia menetapkan bagi akal tujuhpuluh lima tentara. Melihat apa yang telah Allah karuniakan kepada akal dalam memuliakannya, jahal menyimpan permusuhan terhadapnya dan berkata, “Tuhanku, makhluk ini seperti aku. Engkau telah menciptakan dia, memuliakan dan menguatkannya. Sedangkan aku adalah lawannya tak berdaya terhadapnya. Berilah aku juga pasukan seperti yang telah Engkau berikan kepadanya!”
. “Ya”, jawab-Nya. “Bila sesudah itu kamu berbuat kesalahan niscaya Aku mengeluarkanmu beserta pasukanmu dari rahmat-Ku.”
“Aku rela”, sahutnya.
Maka Dia memberinya tujuhpuluh lima pasukan.”
Akal adalah daya spiritual yang condong pada kebaikan, kesempurnaan, keadilan dan ihsan. Diterangkan dalam riwayat: “Dikaruniakan kepada akal tujuhpuluh lima tentara khair (kebaikan) sebagai menterinya, dan lawannya adalah syarr (keburukan) sebagai menteri jahal (kebodohan).” Khair yang dimaksud –dalam penjelasan Imam Khomeini:
1-Hakikat fitrah yang disinggung dalam QS: ar-Rum 30. Yaitu, fitrah mukhammarah (yang tak terhijab) dalam makna bahwa Allah swt memberi dua macam naluri:
Yang pertama, ashliyah; ialah fitrah cinta kesempurnaan, kebaikan dan kebahagiaan yang mutlak, terbentuk (secara esensial).
Yang kedua, tabi’iyah; ialah fitrah benci (menjauhi) kecacatan, keburukan dan kesengsaraan, terbentuk secara aksidental, dalam diri manusia.
2-Selain tak terhijab, tidak diperintah oleh alam (tabiat; materi). Sekiranya cenderung pada alam, maka dikuasai olehnya dan terhijab dari spiritualitas serta menjadi sumber keburukan dan kesengsaraan.
Jadi, khair yang –sebagai menteri akal- membawahi semua tentara akal- adalah fitrah mukhammarah yang cenderung pada spiritualitas dan posisi sejatinya. Sedangkan syarr –sebagai menteri jahal yang diikuti oleh semua tentara jahal- adalah fitrah yang terhijab dengan hukum alam (thabi’ah; materi).
Referensi:
Syarh Hadits Junud al-‘Aql wa Junud al-Jahl/Almarhum Imam Khomeini