Haji Sebuah Suasana Ideal bagi Pendekatan dan Persatuan
Oleh : Ayatullah Muhammad Ali Taskhiri*
Persatuan Islam sesungguhnya adalah merupakan karakteristik umat Islam yang sangat penting karena tanpa karakteristik ini, tidak dapat
terbayangkan adanya sebuah umat yang berintegritas tinggi. Tanpa persatuan, umat ini akan kehilangan banyak karakteristik lainnya, bahkan tidak mustahil akan kehilangan karakteristik keimanan yang murni kepada Allah Yang Maha Agung dan ciri ke- Islamannya. Persatuan ini tidaklah berarti penyatuan segala bentuk ide dan penyeragaman segala corak pemikiran dan gaya hidup, karena itu merupakan hal yang mustahil. Persatuan yang dimaksud oleh Islam adalah persatuan dalam menjalankan segala aktivitas keislaman yang telah digariskan Allah swt, dan membentuk suatu umat yang bias membangun keseimbangan antara dua hal berikut ini:
Ø Pertama, bahwa keberagaman yang terjadi antara rasa, kemampuan berinteraksi, kapasitas keilmuan, kemampuan berfikir, perbedaan budaya, perbedaan dalil-dalil, cara pengambilan hokum dan kesanggupan untuk merealisasikan hukum, merupakan sebabsebab alami yang akan melahirkan perbedaan, dan ini sudah dibahas oleh para ulama sejak beberapa abad lalu.
Ø Kedua, keharusan untuk memiliki sikap yang sama atas beberapa macam persoalan seperti, diantaranya yang terpenting adalah :
1. Asas-asas ke-Islaman yang utama, yang menempati posisi tidak bisa ditawar dalam agama Islam. Maka untuk hal ini umat islam harus mempunyai keseragaman pemikiran.
2. Kode etik umum yang merupakan karakteristik bersama lainnya, dimana setiap muslim wajib memiliki kode etik ini atau minimal sebagian umat Islam memilikinya secara utuh.
3. Penerapan syariat Islam pada setiap segi kehidupan, dan ini bisa dianggap merupakan bagian dari fiqh Islam karena merupakan kebutuhan hidup yang dibawa oleh para nabi agar manusia bias menerapkannya.
4. Keseragaman sikap politik dalam permasalahan internasional, khususnya dalam menghadapi musuh, seperti kaum musyrik, munafiq dan mereka yang menyombongkan diri, serta melakukan pembelaan terhadap kemuliaan Islam. Keempat poin di atas adalah bidang-bidang bidang di mana umat Islam harus memunyai kesamaan dalam cara pandangnya. Jika hal ini sudah terwujud, maka ada baiknya kita kembali ke pokok pembicaraan kita bahwa umat Islam harus merealisasikan keseimbangan antara dua garis besar tadi, dimana di satu sisi akan menjamin bermunculannya pemikiran dan ide-ide yang serius serta ijtihad yang berguna, dan dalam waktu bersamaan menjamin terciptanya keseragaman sikap dalam bidang-bidang tersebut di atas. Terdapat beberapa program yang bisa dilakukan untuk menciptakan keseimbangan ini, namun saya tidak bisa membahasnya secara detil di sini karena ruang lingkupnya yang sangat luas. Dalam kesempatan ini saya akan menyebutkan prinsip-prinsip Islam dalam mencipatakan persatuan umat, yaitu sebagai berikut.
· Persatuan yang dibawa oleh Islam adalah persatuan yang berlandaskan akidah dan perasaan yang sama, yang diistilahkan dengan kesatuan hati. Aqidah Islamiyyah pada dasarnya telah menjamin terjalinnya kesatuan ini tanpa perlu mengimajinasikannya dengan penggambaran yang berlebihan.
· Sistem Islam meletakkan kaum muslimin pada tempat yang sama tanpa ada diskriminasi, dan memberikan kepada mereka tanggungjawab bersama tanpa terkecuali.
· Islam menghapuskan segala bentuk keistimewaan materi, dan hanya mengakui adanya satu keistimewaan dalam bentuk rohani yaitu (ketakwaan, ilmu pengetahuan, jihad dan karya nyata), dan dengan ini Islam telah menyiapkan persatuan.
· Ada beberapa bidang konkret yang membuat kaum muslimin merasakan adanya persatuan di antara mereka, yaitu hal-hal yang telah ditetapkan oleh syariat Islam mengenai kepemilikan umum.
· Tatacara peribadatan Islam merupakan faktor penting yang dapat membawa kepada pendalaman rasionalitas, keseimbangan, kedekatan dan persatuan umat Islam. Sebagai contoh, dalam ibadah haji, kaum muslimin dari seluruh penjuru dunia berhenti dan berada pada satu tempat yang sama (di Arafah), pada waktu yang sama, menuju ke tempat yang sama, melantunkan dzikir yang sama, melakukan perbuatan yang sama, dan terikat dengan syarat-syarat yang sama. Dalam ritual haji itu pula, pada saat yang sama, umat Islam (jamaah haji) memasuki proses pendidikan tahunan terbesar selama satu bulan untuk membangkitkan kembali sisi-sisi kemanusiaan mereka serta mengokohkan dasar-dasar keimanan. Kini marilah kita membahas lebih lanjut mengenai haji sebagai wahana pendidikan yang sangat indah. Dalam haji, para wakil umat Islam dari seluruh penjuru dunia berkumpul untuk melatih diri mereka dalam menangani berbagai macam persoalan dan mengambil manfaat yang sangat banyak sekali untuk kehidupan rohani dan jasmani mereka. Melalui pelatihan ini, tertanamlah makna persatuan di dalam hati-hati yang menyembah Allah Yang Maha Esa, dan membangkitkan penolakan mutlak pada sistem ciptaan manusia serta penghambaan kepada berhala. Mereka pun dilatih untuk selalu berpegang teguh kepada garis-garis yang telah ditetapkan Allah, menjauhi hal-hal yang dapat memecah-belah persatuan di antara manusia baik moril maupun materil, serta berbagai manfaat lain yang langsung didapatkan pada saat melakukan ibadah haji. Terciptanya persatuan Islam melalui ibadah haji juga terkait dengan berbagai karakteristik ibadah ini, yaitu sebagai berikut.
– Kondisi tempat, di Mekah terdapat “bayt at tawhîd’, yang telah Allah khususkan dengan beberapa kekhususan ketika menciptakan bumi. Bayt at tauhid ini dibangun oleh bapak para muwahhid (kaum monoteis) Nabi Ibrahim as . Di setiap sisinya terkandung ciri-ciri ajaran para nabi, dan yang paling terdepan adalah ciri Islam dan pemimpinnya yang agung.
-Kondisi zaman, yaitu bulan al harâm (Dzulhijjah) dan sepuluh hari pertama yang diberikan oleh Allah Swt untuk manusia agar bersiap-siap menerima risalah ilahiyyah dan memasuki kondisi tersebut.
– Hari raya (al ‘ied), yaitu hari di mana manusia kembali kepada Tuhannya dan hari kasih sayang Allah Swt kepada hamba-Nya.
– Manasik haji yang sarat dengan makna-makna yang sangat indah, yang setiap geraknya melambangkan pengorbanan yang besar, kedermawanan dan kerendahan hati seperti ihram, thawaf, wukuf di Arafah, penyembelihan, cukur rambut, lempar jumrah dan lain-lain sebagainya.
– Dzikir dan do’a yang berjalan seirama dengan ritual peribadatan serta menciptakan tujuan yang diharapkan. Ada lima karakteristik haji yang terkait dengan lokasinya (Ka’bah/ al Bayt al Haram/ Baitullah), yang memiliki makna-makna sosial yang sangat dalam, yaitu sebagai berikut. Pertama, haji diselenggarakan di al Bayt al Haram dan tempat suci yang berada di sekitarnya. Tempat suci ini merupakan pusat pergerakan bumi, dan jika manusia menginginkan dirinya aman dari segala bentuk hawa nafsu negatif dan tuhan-tuhan yang semu (kemusyrikan) serta kesesatan, maka hendaklah mereka melakukan thawaf di al Bayt ini serta mengamalkan syariat. Keamanan yang hakiki adalah keamanan yang ada pada al Bayt ini, dan muncul dari keyakinan yang kuat kepada Allah Taala dan menjadikan-Nya sebagai tempat berlindung. Dengan demikian, haji akan menyadarkan manusia bahwa hanya Allah-lah yang betul-betul memberikan kasih dan sayang kepada hamba-Nya, sehingga kita tidak perlu risau dan takut menghadapi masa depan serta tidak sedih dengan apa yang terjadi di masa lalu. Rasa aman karena berlindung kepada aturan Allah swt dan membebaskan diri dari kesesatan aturan yang dibuat oleh manusia, serta rasa aman karena berlindung kepada keridhoan Allah, adalah sebuah pembebasan diri dari segala macam jeratan materialisme yang telah merusak dan mencabik-cabik sisi kemanusiaan. Haji juga memberikan rasa aman karena terjadi pertemuan di antara jiwa-jiwa yang ikhlas, yang beramal untuk menciptakan karakteristik umat Islam yang sempurna. Haji juga memberikan rasa aman bagi generasi-generasi muslim yang datang secara bergantian ke Baitullah, karena mereka berada dalam satu jalur yang sama untuk melaksanakan perintah-perintah Allah, sebagaimana para malaikat yang terus berthawaf di sekeliling Arsy Allah taala. Haji memberikan rasa aman bagi mereka yang membawa ilmu-ilmu Allah dan panji-panji Islam yang hanif. Seluruh makna yang bersumber dari hukum Allah ini terpatri hidup dalam jiwa orang-orang yang mengunjungi Baytullaah. Dalam hal ini Amirul Mukminiin Imam Ali r.a berkata, “Dan Allah telah mewajibkan atas kamu mengunjungi Baytullah al Haram yang Dia jadikan sebagai arah kiblat bagi manusia. Mereka mendatanginya sebagaimana hewan ternak datang kepada tuannya, dan mereka bergegas menuju ke arahnya. Dan Allah telah menjadikannya sebagai tanda kerendahan hati dan ketundukan mereka terhadap keagungan Allah, dan telah memilih dari hamba-hamba-Nya orang-orang yang mendengar, memenuhi dan menjawab panggilan-Nya serta membenarkan kalimat-Nya. Mereka berdiri di tempat para nabi berdiri dan menyerupai para malaikat yang berthawaf di sekeliling Arsy Allah Taala untuk mendapatkan keuntungan berjual beli dalam beribadah kepada Allah Taala. Mereka itu bergegas-gegas menuju ampunan-Nya. Allah jadikan (al Bayt itu) sebagai bendera bagi Islam dan tempat yang mulia bagi orang-orang yang berlindung kepada- Nya. Telah Allah wajibkan kepada kamu semua untuk menunaikan haknya serta mengunjunginya”
Dari penjelasan itu kita mendapatkan beberapa poin penting :
* Ikatan emosional manusia kepada al Bayt al Haram sebagai wujud ketundukan terhadap keagungan Allah taala.
* Taufiq dari Allah Swt yang telah memilih sekelompok manusia dari berbagai belahan bumi untuk mengikuti masa pelatihan yang waktunya ditentukan dari langit.
* Mereka yang terpilih akan merasakan bahwa mereka sedang memenuhi panggilan Allah taala, membenarkan perkataan-Nya, dan berjalan sesuai jalan yang ditempuh para nabi-nabi (khususnya ketika membayangkan bagaimana para nabi mengunjungi al Bayt ini).
* Mereka pun menyerupai para malaikat yang mengelilingi singgasana Allah (dari sisi melaksanakan perintah Allah Taala dan mengajak alam semesta seluruhnya untuk mentaati-Nya). Dan mereka juga menggunakan musim haji ini untuk menyuburkan penghambaan dalam diri mereka dan memperoleh ampunan Ilahi. Kedua, haji memberitahukan kepada manusia tentang betapa pentingnya bagi manusia untuk memiliki sebuah tempat yang menjadi pusat; tempat dimana setiap muslim bisa mengungkapkan katakatanya (keinginannya) secara bebas, dan setiap mukmin – tanpa
memandang warna kulit serta status sosialnya – bisa melakukan tukar pikiran tanpa harus merasakan adanya penguasa yang keras yang mengawasi kegiatan mereka secara ketat. Pada saat itulah haji menjadi sebuah konferensi internasional dimana para wakil bangsa-bangsa berkumpul serta saling mempelajari kondisi mereka serta masyarakatnya dan situasi yang mereka hadapi berupa bahaya, ancaman, dan problematika yang harus dicarikan solusinya. Mereka juga saling mengetahui sarana dan cara yang dilakukan setiap muslim untuk menunaikan kewajibannya terhadap orang lain. Di saat ini pula mereka mempelajari tentang konspirasi dan rencana-rencana jahat yang dibuat oleh kekuatan-kekuatan yang mengancam ketauhidan mereka serta membuat langkah-langkah untuk menghadapinya. Barangkali disini kita bisa mengambil makna tadi dari ayat yang berbunyi, “Dan ingatlah Kami jadikan al Bayt itu sebagai tempat mencari pahala dan keamanan bagi manusia.” Hakikat ini banyak diisyaratkan oleh mereka yang mempelajari dan mendalami kegiatan ke-Islaman ini, sehingga haji pun disebut sebagai Konferensi Internasional Tahunan bagi kaum muslimin diseluruh dunia. Sejarah mencatat bahwa al Haram telah menjadi tempat yang suci di mana setiap orang bisa mengungkapkan pendapatnya secara bebas, bahkan sejak zaman jahiliyyah dulu. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh Rasulullaah saww untuk memproklamirkan secara bebas ajaran Islam yang diberkahi oleh Allah Swt. Beliau memanfaatkan keagungan al Bayt yang telah dibangun oleh Nabi Ibrahim as. untuk menghidupkan ajaran tauhid dan menghapuskan serta membuang kesesatan orang Yahudi dan Nasrani. Ketiga, haji mengenalkan kepada manusia tentang keterpaduan
antara kesucian dan keamanan di bawah naungan hukum Ilahi. Jika al Haram itu adalah milik Allah Swt – dan karenanya menjadi tempat yang aman dan suci –maka demikian pula dengan apa yang ada di langit dan bumi merupakan milik Allah Swt juga, dan cahaya Allah ini akan terus terpancar ke seluruh permukaan yang tampak maupun yang tidak tampak. Karena itu, tidaklah mungkin kaum yang beriman kepada Allah Sang Penguasa Alam semesta untuk melakukan pembangkangan kepada-Nya, atau melakukan teror dan kejahatan terhadap orang-orang yang juga beriman kepada Allah Swt. Kaum muslim wajib berusaha memperluas daerah-daerah yang aman dari pembangkangan dan kejahatan sehingga Islam tegak sempurna di muka bumi.
Keempat, dua sifat utama di atas (suci dan aman), boleh jadi menjadi rahasia mengapa setiap jiwa selalu merasa rindu kepada tempat yang suci ini. Sesungguhnya setiap jiwa merindukan untuk datang ke tempat suci ini untuk mensucikan diri di bawah bimbingan
Allah Swt. Setelah selesai melakukan peribadatan haji, maka ia akan kembali lagi ke dalam kehidupan sosialnya dengan menjauhkan diri dari kerakusan terhadap materi. Dia akan memperoleh rezeki dari Allah Swt melalui jalan yang bersih, yang dengannya
ia berjalan menebarkan kasih sayang dan kelembutan di tengah masyarakatnya.
Kelima, bahwa rasa aman yang yang diberikan kepada manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan bumi di tempat suci ini merupakan gambaran yang sangat indah tentang perpaduan alami antara unsurunsur alam semesta untuk menciptakan tujuan besar dan utama dari setiap manusia. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa ketika Rasulullaah saww kembali dari perang Tabuk dan hampir sampai di kota Madinah beliau bersabda, “…Ini lah Thaba dan bukit Uhud. Mereka mencintai kita dan kita juga mencintai mereka…” Diriwayatkan pula dari al Kulainiy dengan sanad dari Jabir dari Abi Ja’far, beliau berkata, “Nabi Musa berihram dari padang pasir Mesir melewati ar Rawha’. Sambil berihram beliau menuntun ontanya yang diselimuti dengan dua kain yang terbuat dari kapas. Beliaupun melafalkan talbiyyah maka serta merta gunung-gunung
pun menyahuti ucapannya…”. Diriwayatkan pula dari Imam Muhammad bin Ali al Baqir as. Dia berkata, “ Amirul Mukminiin Ali bin Abi Thalib berkata, “Tidaklah seseorang melafalkan talbiyah kecuali bertalbiyah pula siapa yang berada di kiri dan kanannya, dan dua malaikatpun berkata kepadanya, ‘Bergembiralah wahai hamba Allah, dan Allah tidak memberikan kabar gembira kecuali dengan surga…’. ” Sesungguhnya makna-makna ini memberikan pengaruh yang besar dalam pandangan manusia terhadap alam semesta dan kehidupan, dan akan mengingatkannya bahwa alam semesta selalu bersamanya dan berjalan bersama dalam garis kenabian. Semua itu mewujudkan konsekwensi-konsekwensi khilafah Ilahiyyah di bumi dan membangun masyarakat muslim yang selalu beribadah kepada Allah. Demikianlah, haji telah menjadi model dari suasana ideal yang bias mendekatkan beberapa pemikiran dan menciptakan persatuan dalam sikap praktis, keseimbangan, kemoderatan, dan rasionalitas yang diharapkan. Semuanya itu dalam satu kerangka yang menakjubkan berupa penghambaan yang tulus dan pensucian diri indah.
DISKUSI: