Hari Al-Quds: Menggugat Kejahatan Israel terhadap Perempuan
Dr. Otong Sulaeman
Genosida yang dilakukan Rezim Zionis Israel terhadap warga Gaza Palestina sejak awal dijustifikasi oleh para politisi Israel dan Barat dengan tuduhan pemerkosaan. Para pejuang Palestina yang melakukan operasi Taufan Al Aqsa 7 Oktober dituduh melakukan rudapaksa pada wanita-wanita Zionis. Media-media massa pro-Israel terus-menerus menyebarluaskan isu ini selama enam bulan terakhir. Seolah dengan tuduhan ini, Israel sah-sah saja membalas dengan melakukan pembantaian besar-besaran kepada warga Gaza.
Sudah banyak bantahan dan klarifikasi yang dilakukan jurnalis independen terhadap tuduhan pemerkosaan 7 Oktober itu. Sebenarnya, media-media itu sendiri secara terbuka mengakui bahwa laporan mereka “tidak merinci jumlah kasus yang telah didokumentasikan” atau “tidak mengidentifikasi korban” atau bahkan tidak mengungkap, apakah mereka sebenarnya telah berbicara langsung dengan para korban atau tidak. Bahkan, ada narasumber (orang Israel) yang dikutip New York Times untuk membenarkan isu pemerkosaan ini, kemudian menolak apa yang ditulis di NYT itu. Sangat banyak kejanggalan dalam laporan-laporan itu, namun tetap saja, isu ini disebarluaskan seolah fakta yang tidak terbantahkan.
Pada bulan Februari, tim PBB merilis laporan yang dengan janggal menyatakan ‘ada alasan yang masuk akal untuk mempercayai bahwa telah tejadi pemerkosaan’ selama serangan Hamas pada tanggal 7 Oktober 2023. Padahal di laporan yang sama juga diakui secara terbuka, keterbatasan penyelidikan itu karena tidak bertemu langsung dengan satu pun korban, dan karena Israel tidak mau bekerja sama dalam penyelidikan itu.
Di saat yang sama, laporan-laporan kejahatan Israel terhadap perempuan Palestina sudah terdokumentasikan sejak puluhan tahun yang lalu, dan semakin banyak terjadi pasca 7 Oktober. Laporan-laporan ini jauh lebih valid dan terverifikasi, namun dunia seolah tak peduli. Baru-baru ini, Reem Alsalem, Pelapor Khusus PBB untuk Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Perempuan, mengatakan terdapat bukti setidaknya dua kasus pemerkosaan, selain kasus penghinaan seksual dan ancaman pemerkosaan lainnya pasca 7 Oktober. Alsalem juga menekankan bahwa jumlah kekerasan seksual yang sebenarnya sangat mungkin jauh lebih tinggi.
Bila kita membaca dokumen, buku, atau menyimak berbagai film dokumenter terkait peristiwa Al Nakba, kita akan mendapati bahwa orang-orang Zionis sangat banyak melakukan kejahatan kepada perempuan. Sejarawan terkemuka Israel, seperti Ilan Pappé, telah mendokumentasikan bahwa selama era pengusiran dan pembunuhan menjelang dibentuknya “negara” Israel (Tragedi Nakba) 1948, serdadu Zionis terlibat dalam banyak pemerkosaan, baik kolektif maupun individu, terhadap perempuan Palestina.
Pemerkosaan yang dilakukan orang-orang Zionis Israel merupakan upaya untuk menghapus secara permanen kehadiran penduduk asli Palestina. Rabbi-Rabbi Yahudi-Zionis mengkhotbahkan kebolehan untuk membunuh dan memerkosa perempuan Palestina. Di antaranya, Eyal Karim, pejabar ketua Rabbi militer Israel. Ia pernah menyatakan bahwa tentara boleh memperkosa perempuan di masa perang. Mantan menteri Israel, Ayelet Shaked, pada tahun 2014, pernah terbuka mengatakan bahwa “ibu-ibu Palestina harus dibunuh, rumah tempat mereka berada juga harus dihancurkan karena di rumah-rumah itu, mereka ‘memelihara ular-ular’ yang kelak akan melawan Zionis.”
Narasi-narasi kekerasan yang diungkap terbuka itu menjadi bagian dari upaya entitas kolonial Zionis untuk mencapai tujuan utamanya, yaitu memberantas seluruh kehadiran warga Palestina. Dengan demikian, penggunaan kekerasan seksual terhadap perempuan Palestina merupakan bagian integral rezim ilegal Zionis. Penggunaan kekerasan seksual merupakan bagian sentral dari proyek kolonial Zionis. Misalnya, David Ben-Gurion, tokoh penting dalam gerakan Zionis dan perdana menteri pertama rezim Israel, mendokumentasikan dalam buku hariannya praktik kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan Palestina, yang ia anggap sebagai ancaman bagi kelangsungan hidup koloni Zionis (Villar, 2024).
Pasca 7 Oktober 2023, semakin banyak laporan mengenai kekejaman Israel terhadap perempuan Palestina. Euro-Med Human Rights Monitor menerbitkan dokumen kesaksian dari para tahanan perempuan Palestina di Gaza tentang kekerasan seksual, penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi, penggeledahan telanjang, pelecehan seksual, dan lain-lain yang dilakukan oleh serdadu Zionis.
Budaya Memerkosa di Israel
Kejahatan rezim Zionis terhadap perempuan Palestina, sangat koheren dengan kondisi masyarakat Israel sendiri yang ternyata sangat permisif terhadap pemerkosaan. Menurut Laporan dari Asosiasi Pusat Krisis Pemerkosaan di Israel, sembilan dari 10 kasus pemerkosaan ditutup oleh jaksa tanpa dakwaan. Pada tahun 2018, polisi Israel membuka 6.220 investigasi terhadap dugaan kejahatan seksual dan pelecehan, termasuk 1.166 dugaan pemerkosaan, yang berarti peningkatan sebesar 12% dibandingkan tahun sebelumnya dan peningkatan sebesar 40% dari tahun 2013. Organisasi tersebut juga menemukan bahwa lebih dari separuh (52%) pelaku kejahatan seks yang dipenjara tidak menerima perawatan psikologis (artinya, ketika keluar dari penjara mereka cenderung mengulangi kejahatan yang sama).
Pedofilia juga marak di Israel. Terbukti bahwa sebagian besar korban (63%) dari pemerkosaan berkelompok yang dilaporkan pada tahun 2018 adalah anak perempuan di bawah umur yang berusia antara 12 dan 18 tahun. Kasus-kasus perkosaan dan kejahatan seksual juga terjadi di militer Zionis, ada 1.706 pengaduan diajukan pada tahun 2018 (meningkat 15% dibandingkan tahun 2017). Namun, hanya 165 kasus yang diselidiki oleh otoritas militer terkait. Dengan demikian, militer Israel membiarkan terjadinya perkosaan terhadap perempuan-perempaun di dalam militer Israel sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa mereka memiliki cara pandang dan budaya kekerasan terhadap perempuan.
Kembali kepada kondisi bangsa Palestina, dengan adanya rekam jejak keji orang-orang Zionis seperti ini, kita perlu mempertanyakan, mengapa kaum feminis liberal yang selama ini sering menyerang negara-negara Muslim (termasuk Iran) dengan tuduhan ‘menindas perempuan’ kini seolah diam? Diamnya mereka merupakan bentuk keterlibatan dalam genosida Israel di Gaza. Selain itu, diamnya mereka membuktikan bahwa seruan-seruan kebebasan dan HAM mereka selama ini hanya dipakai untuk menyerang pihak-pihak yang berseberangan dengan pengusung liberalisme Barat.
Dunia harus terus disadarkan terkait absurditas yang sedang terjadi di Palestina. Berbagai aksi demonstrasi yang telah dilakukan masyarakat sipil menunjukkan bahwa kesadaran itu sudah semakin terbangun. Tentu saja, momentum tersebut harus terus dijaga, salah satunya adalah dengan menggelar aksi Hari Al-Quds internasional pada tanggal 5 April 2024 mendatang; demi pembelaan terhadap kaum perempuan Palestina, demi mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan di dunia.
Referensi:
https://www.timesofisrael.com/9-out-of-10-rape-cases-in-israel-closed-without-charges-study/