Hitam-Putih Asyura: Mengapa Kita Baca Kisah Karbala dari Halaman Hitamnya Saja? (Bagian Kedua)
Kata hamasah bermakna kekuatan dan ketegaran, juga berarti keberanian dan keteguhan pendirian. Dan Imam Husain adalah pria hamasi (penuh spirit dan berpendirian kokoh). Dan menurut Murtadha Muthahari, hamasah adalah kunci kepribadian Imam Husain. Oleh karena itu, pernyataan-pernyataan dan syair-syair yang dinukil dari Sayidina Husain bersumber dari hamasah dan spirit Ilahi serta insani.
Spirit Husain jauh di atas Kaisar Napoleon Bonaparte. Coba Anda amati dan telaah kembali setiap pernyataan Husain dari awal gerakannya menuju Karbala. Tidak ada satu pun pernyataan yang mengisyaratkan kelemahan sikap dan keraguan dalam menganbil keputusan serta tidak ada sedikitpun rasa frustasi. Bahkan Sayidina Husain justru semakin merasakan kehadiran dan bantuan Tuhan di saat-saat kritis. Syukur dan tawakal yang didemontrasikannya di Padang Karbala sulit dilukiskan dengan kata-kata. Dalam salah satu kesempatan Sayidina Husain berkata: ahmaduhu fi as sarra’ wa ad-dharra’ (aku memuji Allah dalam kondisi suka dan duka). Husain seolah-olah menganggap segala sesuatu (udara, pasukan dan peralatan perang) semua mendukungnya dan tidak ada kekurangan sedikit pun. Bandingkan dengan Napoleon Bonaparte. Apakah Napoleon tidak frustasi saat suasana dan alam tidak mendukungnya?
Sedikit sekali pembicaraan yang dinukil dari Sayidina Husain bin Ali, namun yang sedikit ini pun menunjukkan kekuatan spiritnya. Beliau pernah diminta untuk menyampaikan hadis yang pernah didengarnya dari Nabi saw. Perhatikan,bagaimana Husain memilih sekian banyak riwayat dari kakeknya, Rasul saw dan hadis mana yang dipilihnya. Dari sini Anda akan mulai memahami bagaimana kepribadian Husain. Sayidina Husain mengatakan: Hadis yang aku dengar dari Nabi saw adalah:
«انَّ اللَّهَ تَعالى يُحِبُّ مَعالِىَ الْامورِ وَ اشْرافَها وَ يُكْرِهُ سَفْسافَها»
Sesungguhnya Allah Swt menyukai segala sesuatu yang superior dan terbaik dan membenci inferioritasnya (kerendahan mutu).
Penyair Arab yang kesohor, Mutanabbi mengatakan:
وَ اذا كانَتِ النُّفوسُ كِباراً | تَعِبَتْ فى مُرادِهَا الْأجْسامُ |
Bila jiwa memang membesar (menguat)
Badan merasa letih dalam menuruti obsesinya
Husain adalah pemilik jiwa yang besar. Selama perjalanan menuju Karbala, Husain seolah-olah tidak menunjukkan keletihan badan sedikit pun. Tekad jiwanya yang kuat mampu mengatasi kelemahan fisiknya dan badannya tunduk terhadap kemauan jiwanya.
Apakah sejarah Asyura hanya berisi satu halaman hitam ini? Apakah hanya syair duka dan kepedihan? Apakah hanya jeritan dan musibah? Kesalahan kita justru dalam sudut pandang ini. Sejatinya, sejarah Asyura justru memiliki halaman lain yang pahlawannya bukan putra Muawiyah,bukan putra Ziyad,bukan putra Sa’ad dan bukan pula anak Syimir. Di sana pahlawannya adalah Husain bin Ali bin Abi Thalib. Tidak ada kriminalitas pada halaman putihnya, tidak ada tragedi, tapi yang ada adalah spirit dan kisah epik; yang menonjol adalah kebanggaan dan cahaya serta penampakan kebenaran dan kemanusiaan dan manifestasi kesetiaan pada kebenaran.
Bila halaman hitamnya yang kita telaah maka manusia tampak menjijikkan dan memuakkan serta mereka wujud konkrit dari ayat:
«قالوا اتَجْعَلُ فيها مَنْ يُفْسِدُ فيها وَ يَسْفِكُ الدِّماءَ وَ نَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَ نُقَدِّسُ لَكَ”
“Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”
Saat mendengar pengumuman dari Allah Swt:
«انّى جاعِلٌ فِى الْأرْضِ خَليفَةً»
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi,” tentu Malaikat Jibril yang terpercaya tidak bertanya. Yang mempersoalkan keputusan Allah ini adalah sekolompok malaikat yang hanya melihat”halaman hitam” manusia dan tidak memperhatikan halaman putihnya. Sehingga karena itu mereka bertanya kepada Allah, mengapa Engkau ciptakan makhluk yang berpotensi membuat kerusakan di muka bumi dan menumpahkan darah? Dan Allah menjawab:
«انّى اعْلَمُ ما لا تَعْلَمونَ»
Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.
Halaman yang diprotes oleh malaikat adalah halaman hitam yang menunjukkan keterpurukan manusia, sedangkan halaman putih yang mereka abaikan adalah halaman yang mengisyaratkan kebanggaan dan kemuliaan.
Allamah Murtadha Muthahari memandang bahwa selama ini banyak orang yang membaca kisah Karbala hanya dari aspek hitamnya saja. Sehingga yang ditampilkan dan ditonjolkan kejahatan, kezaliman, dan penderitaan serta musibah dari cerita ini. Asyura hanya menjadi kegiatan dan ritual tahunan yang datang dan pergi begitu saja tanpa meninggalkan pelajaran yang berharga. Jadi, melalaikan sisi putih Karbala—menurut Muthahari—adalah cara pandang yang kurang dan tidak benar.
Kalau hanya sisi gelap dan hitam Karbala yang dieksploitasi yang menurut Muthahari tidak kurang dari duapuluh satu (21) bentuk kejahatan dan kehinaan terjadi di sana, bahkan apa yang terjadi pada Perang Salib dan apa yang dilakukan orang-orang Eropa di Andalusia pun tidak dapat menandinginya maka kita cuma duduk dalam keadaan meratap, menangis dan menjerit sambil membaca syair-syair duka.
Karena mengabaikan aspek putih kisah Karbala yang seratus kali lebih kuat dan lebih dahsyat daripada aspek hitamnya, maka tidak jarang kita temukan orang-orang yang menangis haru dan sedih saat dibacakan ma’tam dan maqtal namun dalam kehidupan sehari-hari mereka justru jadi pecundang, penculas, dan pendosa. Mengapa demikian? Orang-orang ini gagal menghidupkan ruh dan spirit Husain dalam dirinya.
Ya, peristiwa Karbala harus kita baca secara proporsional. Aspek putih kisah Karbala harus mendominasi aspek hitamnya. Mereka yang mengatasnamakan pengikut dan pencinta Sayidina Husain harus menunjukkan spirit yang berbeda dengan mereka yang sama sekali tidak mengenal Husain atau mereka yang memandang sebelah mata terhadap kisah Karbala atau kurang mengapresiasinya.