Hukum Melukai Diri
Dalam hukum Islam, apapun menjadi mubah selama tiada dalil yang menunjukkan hukum lainnya. Oleh karena itu, mengenai apa yang dilakukan orang-orang Syiah dalam peringatan Asyura (hari kesyahidan al-Husain cucu Nabi saw pada 10 Muharam), seperti menepuk dada, memukulkan rantai di punggung, dan bahkan melukai kepala dengan pedang (yang diistilahkan dengan tathbîr), jika dikatakan haram, maka harus berdalil; dalil naqli (Alquran dan Sunnah) maupun dalil aqli (rasional).
Dalil-dalil yang dibawa oleh klaim yang mengharamkan tindakan melukai itu, ialah:
1-QS: al-Baqarah 195: وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ; “dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam jurang kebinasaan.”, dan ayat-ayat lainnya.
2-Di dalam tindakan tersebut penghinaan bagi mazhab Syiah.
3-Tindakan tersebut menyakiti dan membahayakan diri.
Bantahan
Kemudian dalil yang pertama dibantah bahwa:
-Tak ada kebinasaan di dalam tindakan tersebut. Karena itu tak dapat dikatakan menjerumuskan diri ke dalam kebinasaan.
-Jika membinasakan, maka keharamannya atas penyebab atau kekhawatiran dan atau kemungkinan menyebabkan kebinasaan. Dengan demikian naik mobil, pesawat dan kapal menjadi haram melihat kemungkinan membinasakan di dalamnya lebih banyak dari hal melukai itu.
-Kata tahlukah (kebinasaan) di dalam ayat suci itu ialah di akhirat. Ia membicarakan tentang infak dalam urusan jihad, dan orang yang tidak melakukan infak ini mengantarkan dirinya ke dalam siksaan akhirat. Ayat-ayat lainnya (QS: an-Nur 63 dan Al Imran 28) yang dijadikan dalil juga berkenaan dengan azab di akhirat.
Bantahan atas dalil yang kedua ialah bahwa:
-Keharaman muncul dari sifat pada melukai, yaitu menghinakan mazhab. Sekiranya tindakan melukai itu menimbulkan sebaliknya, yaitu memuliakan mazhab, maka menjadi hal yang dinginkan secara syari.
-Tugas seorang faqih ialah memberitahu hukum syari dengan keterangannya, misalnya dengan mengatakan: Tindakan tersebut menyebabkan penghinaan mazhab, maka hukumnya haram. Lalu mukallaf menerapkan hukum ketika melihat faktanya demikian. Namun jika subyek hukum adalah sebaliknya, yakni memuliakan mazhab, maka kewajibannya adalah berbuat sesuatu yang membawa kemuliaan.
Pandangan faqih tidak mengikat orang lain di dalam penerapannya. Ia pun sama seperti semua orang sebagai mukallaf, yang menerapkan ijtihadnya untuk dirinya sendiri juga. Sementara di dalam penerapan bisa saja salah, dan bisa juga benar. Namun jika ia seorang hakim (pemutus hukum), yang melihat maslahat bagi Islam di dalam pelarangan, hukum yang ia keluarkan memiliki kewenangan mutlak (wila`i). Maka dalam hal ini ia harus ditaati. Walau demikian tetaplah keharaman tindakan melukai itu mengikuti subyek hukum.
-Sampai di “lapangan” ketika kita adalah bagian dari individu-individu masyarakat, klaim penghinaan mazhab sebagai dampak dari melukai itu adalah benar di sebagian masyarakat saja. Tetapi di daerah lain atau di negeri yang mayoritas Syiah khususnya tidak meniscayakan demikian, bahkan bisa sebaliknya menurut sebagian mereka.
Mengenai dalil yang ketiga, dibantah dengan beberapa perkara:
-Jika melukai dan menyakiti diri itu perbuatan aniaya yang berarti buruk dan haram secara syari, maka bekam, khitan tidaklah baik dan tidak menjadi sunnah. Seperti halnya juga bedah medis dan lainnya.
-Tingkat hal melukai itu beragam, dan sebagiannya tidaklah bahaya. Jadi tidak tepat mengeneralkan semuanya untuk dikatakan bahwa dharar (hal berbahaya) itu haram secara mutlak.
-Keharaman dharar juga tak dapat diterima jika alasannya bahwa akal mengharuskan pencegahan apa yang pasti bahkan yang mungkin- membahayakan.
Pandangan Ayatullah Sayed Khamenei
Demikian secara ringkas yang disampaikan oleh Sayed Jafar Murtadha al-Amili pada pasal pertama di dalam bukunya, Marasim Asyura, mengenai dalil-dalil dari klaim yang mengharamkan tindakan-tindakan yang dikatakan menyakiti dan melukai diri itu. Sebelum memasuki permasalahan di atas, ia memberikan sebuah pengantar pada cetakan kedua bagi buku tersebut. Di dalamnya mengatakan:
Sebagian orang terus menyerang peringatan Asyura ini dan ruang-ruang yang di dalamnya terdapat tindakan-tindakan menyakiti diri. Mereka menyerangnya dengan berbagai cara dan sarana, dan selalu mengatakan bahwa itu adalah fenomena-fenomena kebodohan dan keterbelakangan..”
Kemudian ia menyampaikan pandangan Ayatullah Sayed Khamenei, bahwa tak ada larangan latham seperti menepuk dada. Tindakan ini tidak dipandang menyakiti diri yang diharamkan. Bahkan tathbîr (melukai kepala dengan pedang) tidaklah haram secara esensial dan buruk secara rasional. Tetapi beliau mengharamkannya karena membawa penghinaan terhadap mazhab (Islam) di masa kini, yakni dalam kondisi aktual saat ini, sebagai subyek kedua bagi keharaman itu. Pandangan ini sebagaimana yang dikatakan ulama dan para marji.
Referensi:
Marasim Asyura/Sayed Murtadha Amili