Idul Fitri dan Tradisi Halal Bihalal
sumber image: http://75caramudah.blogspot.co.id
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan halal bihahal sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dan sebagainya) oleh sekelompok orang”.Walaupun kata halal bihahal dari bahasa Arab, tapi orang Arab sendiri tidak akan memahami makna sebenarnya halal bihalal karena istilah halal bihalal bukan dari Al-Quran dan Sunnah (Hadis), tetapi kata majemuk tersebut merupakan budaya khas dan hasil kreativitas bangsa Indonesia. Ada istilah dan ungkapan yang mendekati halal bihahal, yaitu ungkapan “thalab halaliyyah” (meminta kekhalalan dan permohonan maaf kepada korban).
Tradisi “thalab halaliyyah” ini pertama kali dilakukan oleh Nabi saw. Peristiwanya begini: Dikisahkan bahwa di akhir-akhir masa kehidupannya, Nabi saw datang ke Masjid dan duduk di atas mimbar sembari berkata: Setiap orang yang memiliki hak yang belum aku penuhi maka hendaklah ia mengambil hak itu dariku. Mendengar ucapan Nabi saw tersebut, para sahabat menangis sambil berkata: Apakah mungkin kami punya hak yang belum engkau penuhi? Rasul saw bersabda: Terbukanya aib di sisi Allah jauh lebih berat daripada tersingkapnya aib di hadapan kalian. Bila memang kalian memiliki hak yang belum aku tunaikan maka datanglah kepadaku dan ambillah hak kalian dan jangan sampai hal tersebut akan membebani aku pada hari kiamat.
Manusia agung yang Malaikat Jibril membanggakan persahabatan dengannya kini tidak bercanda terkait dengan hak manusia. Beliau begitu serius jangan sampai di suatu tempat dan di suatu waktu karena kelalaiannya ada hak seseorang yang dilecehkannya.
Rasulullah saw menyampaikan “thalab halaliyyah” tersebut dua kali sampai tiga kali.
Lalu ada seorang yang berdiri sambil berkata: Ya Rasulullah saw, aku punya hak yang belum engkau penuhi. Suatu hari engkau menunganggi ontamu lewat di sebelahku yang saat itu aku juga mengendarai onta. Ontaku mendekati ontamu lalu engkau mengarahkan tongkatmu pada onta tersebut tapi sayangnya tongkatmu mengenai perutku dan saya menuntut balas atas halini.
Lalu Nabi saw menyingkap bajunya sambil berkata: Sekarang juga lakukan kisas dan jangan sampai aku dihukum di hari kiamat.
Masyarakat terheran-heran melihat sikap lelaki tersebut dan bertanya-tanya: apa benar orang ini tega mau mengkisas Rasul saw?
Nabi saw memerintahkan seseorang untuk mengambil tongkat yang dipakainya untuk memukul onta. Lalu beliau berkata: Ambillah tongkat ini dan pukulkanlah pada perutku. Kemudian lelaki tersebut maju. Ia bersimpuh di hadapan Nabi saw dan berusaha mencium perut beliau sambil berkata: Ya Rasulullah saw, dengan menyentuh badanmu maka aku berharap selamat dari api neraka.
Setiap datangnya hari lebaran Idul Fitri biasanya kaum muslim di Indonesia mengadakan acara Halal Bi Halal. Acara ini dilakukan usai shalat Idul Fitri. Anggota keluarga satu sama lain akan bersalam-salam dan meminta maaf, bahkan keluarga yang jauh akan didatangi dan ada juga tradisi sungkem terhadap orang tua.
Menurut sebuah versi, penggagas pertama istilah “halal bi halal” ini sebenarnya adalah KH. Abdul Wahab Chasbullah yang juga merupakan pelopor berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama. Ceritanya begini: Setelah Indonesia merdeka 1945, pada tahun 1948, Indonesia mengalami gejala disintegrasi bangsa. Para elit politik terlibat pertengkaran dan perselisihan yang tajam. Padahal komunis dan pelbagai pemberontakan terjadi di pelbagai tempat. Dalam kondisi instabilitas bangsa yang mengkhawatirkan tersebut, Kyai Wahab memberikan solusi dan menggagas halal bi halal antar elite bangsa:
“Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah ‘halal bi halal’”, tegas Kyai Wahab.[1]
Menurut versi lain, tradisi halal bihalal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.
Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam, dengan istilah halal bihalal.[2]
Menurut hemat saya, kita tidak perlu pertentangkan kebenaran asal usul tradisi halal bihalal. Yang jelas, tradisi ini bukan hanya tidak bertentangan dengan nafas dan inti ajaran Islam bahkan tradisi ini sejatinya meneguhkan pesan perintah memaafkan dan silaturahmi yang sangat ditekankan oleh Al-Qur’an sebagaimana ayat:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh” (QS. Al-A’raf:199)
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا- النساء : 1
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. ( QS. An-Nisa ; 1
Rasulullah saw juga menegaskan perihal urgensi silaturahmi dalam sabdanya:
“Siapa saja yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan pengaruhnya, maka sambunglah tali persaudaraan” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Di samping itu, halal bihalal—menurut hemat penulis—adalah bentuk lain dari “thalab halaliyyah” yang dipraktikkan oleh Nabi saw sebagaimana dikisahkan di atas. Wallahu a’lambi shawab.
Syekh. M.G
[1] http://www.kabarmakkah.com/2015/07/asal-usul-tradisi-halal-bi-halal.html
[2] http://www.risalahislam.com/2014/07/asal-usul-dan-pengertian-halal-bihalal.html