Ijma Dalam Perspektif Ahlussunnah dan Syiah (Bagian Pertama)
Sumber hukum yang disepakati dalam madzhab Ahlussunnah selain al-Quran dan as-Sunnah adalah Qiyas dan Ijma, dalam pembahasan yang lalu kita telah mendiskusikan tema qiyas dan perbedaan pendapat antara para ulama Islam berkaitan dengan qiyas. Pada makalah ini kita akan membahas sumber hukum yang keempat yaitu ijma.
Dalam rangkaian dalil-dalil tinjauan istinbat hukum ahlussunnah, ijma ditempatkan pada posisi ketiga setelah Al-quran dan hadits.
Pengertian Ijma
Ijma’ menurut bahasa
Pengertian ijma secara etimologi ada dua macam,yaitu:
Ijma berarti kesepakatan atau konsensus, pengertian ini dijumpai dalam surat Yusuf ayat 15,yaitu:
فلما ذهبوا به و اجمعوا ان يجعلوه في غيبت الجب
Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur.
Pengertian etimologi kedua dari ijma’ adalah العزم علي شيئ (ketetapan hati untuk melakukan sesuatu). Pengertian kedua ini ditemukan dalam surat Yunus ayat 71, yaitu:
فاجمعوا امركم وشركاءكم
Maka bulatkanlah keputusanmu dan kumpulkanlah sekutu-sekutumu…
Kata ijma’ secara bahasa berarti “kebulatan tekad terhadap suatu persoalan” atau “kesepakatan tentang suatu masalah”. kata ijma’ merupakan masdar (kata benda verbal) dari kata أجمعyang artinya memutuskan dan menyepakati sesuatu. Menurut istilah ushul fiqh, seperti dikemukakan ‘Abdul Karim Zaidan, adalah “kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat Islam tentang hukum syara’ pada satu masa setelah Rasulullah wafat”.[1]
Ijma Menurut Istilah Dalam Ahlussunnah
Secara terminologi, ada beberapa rumusan ijma’ yang dikemukakan oleh ulama Ahlussunnah. Ibrahim Ibnu Siyar Al-Nazzam, seorang tokoh mu’tazilah, merumuskan ijma’ dengan ”Setiap pendapat yang didukung oleh hujjah, sekalipun pendapat itu muncul dari seseorang.”[2] Akan tetapi, rumusan al-Nazzam ini tidak sepaham dengan pengertian etimologi di atas.
Imam al-ghazali, merumuskan ijma’dengan “kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama.umusan al-ghazali ini memberikan batasan bahwa ijma’ harus dilakukan umat Rasulullah SAW[3], Al-Ghazali pun tidak memasukkan dalam definisinya bahwa ijma’ harus dilakukan setelah wafatnya Rasulullah.
Al-amidi menambahkan, ijma’ harus dilakukan dan dihasilkan oleh seluruh umat Islam, karena suatu pendapat yang dapat terhindar dari suatu kesalahan hanyalah apabila disepkati oleh seluruh umat[4].
Jumhur ulama ushul fiqh, sebagaimana dikutip Wahbah al-Zuhaili, Muhammad Abu Zahrah, dan ‘Abdul Wahhab khallaf, merumuskan ijma’ dengan “kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad SAW. pada suatu masa, setelah wafatnya rasulullah SAW. Terhadap suatu hukum syara’.”Muhammad Abu Zahrah menambahkan diakhir definisi tersebut dengan kalimat: ”yang bersifat amaliyah,”. Hal tersebut mengandung pengertian bahwa ijma’hanya berkaitan dengan persoalan-persoalan furu’ (amaliyah praktis).[5]
Menurut Muhammad Abu Zahrah, para ‘ulama sepakat bahwa ijma’ adalah sah dijadikan sebagai dalil hukum. Sungguhpun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai jumlah pelaku kesepakatan sehingga dapat dianggap sebagai ijma’ yang mengikat ummat islam.
Namun Imam Malik bin Anas tidak mensyaratkan ijma dengan kesepakatan seluruh mujtahid muslim, beliau membatasi hanya kepada ulama Madinah saja.
Memang benar, jika kita mensyaratkan ijma harus merupakan kesepakatan dari semua ulama Islam maka ini bisa dipastikan sangat mustahil terutama pada masa lalu, ketika jalur komunikasi belum begitu cepat dan terbuka seperti sekarang, belum lagi terkadang beberapa ulama merevisi fatwa dan pendapatnya dan kadang hal itu luput dari pengetahuan ulama lainnya, oleh karena itu Imam Ahmad bin Hanbal sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hazm pernah mengatakan,”[6]Apa yang didakwakan orang bahwa itu adalah ijma adalah bohong, siapa yang mengaku bahwa pendapatnya adalah ijma maka ia adalah pembohong, karena barangkali ada ulama yang berbeda pendapat namun ia tidak mengetahuinya”.
Dalil Ijma
- Al-Quran
Firman Allah SWT:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Artinya: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”.[7]
Pada ayat di atas terdapat perkataan “sabilil mu’minin” yang berarti jalan orang-orang yang beriman. Jalan yang disepakati orang-orang beriman dapat dirtikan dengan ijma. Ayat ini menjadi dalil paling kuat bahwa Ijma menjadi hujjah dlm hukum agama yang wajib diikuti.
- Hadits
Sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:
أُمَّتِيْ لَاتَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ
Umatku tidak akan bersepakat atas suatu kesesatan.
Posisi Ijma’ Menurut Pandangan Ulama
Para mujtahid Imamiyah, Hanafi, Maliki, Syafi’I, Auziyah, Tsauriyah, thabariyah, Nakha’iyah, Ibn Abi Laila dan masih banyak yang lainnya, mengatakan bahwa ijma’ adalah salah satu sumber dalil syar’i.[8] terlihat bahwa sebenarnya antara ulama ahlussunnah dan syiah tidak memperselisihkan validitas ijma sehingga keduanya mengatakan bahwa ijma’ adalah salah satu dalil syar’i.
Hanya saja keduanya memposisikan ijma dengan posisi yang berbeda, yakni apakah ijma dapat diposisikan sebagai dalil yang independen layaknya Al-quran dan hadits, atau hanya sebagai semacam stimulus atau jalan untuk menuju kepada pengungkapan dalil syar’i yang lain? Ulama ahlussunnah mengatakan bahwa ijma adalah dalil independen selama tidak bertentang dengan Al-Quran dan hadits, dengan tidak mengharuskan bahwa ijma harus mengungkap dalil syar’i lainnya.
Sedangkan ulama syiah berpendapat bahwa ijma hanya sebagai wasilah atau sarana untuk mengetahui dalil syar’i lainnya, maka dari itu ijma’ dapat dijadikan sebagai rujukan/hujjah. Pada makalah kedua insyaallah kita akan paparkan konsep ijma dalam madzhab Syiah.
Wallâhu a’lam bi al-shawâb
[1] H. Satria Effendi. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media 2005. Hal 125
[2] Tajuddin ‘Abdul Wahhab ibn al Subki, jam’u al jawami’ jilid II, hlm., 156
[3] Abu Hamid al-Ghazali,Al Mustashfa fi ‘ilm al ushul,(Dar al Kutub al ‘ilmiyah, Beirut: 1983)jilid 1, hal.110
[4] Saifuddinal-Amidi, al Ihkkam Fi Ashul Al Ahkam, (Dar Al Fikr, Beirut: 1983), jilid, 1 hlm., 9
[5] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, (Dar Al Fikr, Beirut: 1986) jilid 1,hal.490
[6] Al-Ihkam karya al-Amidi, jilid 1, hal.284
[7] An-Nisa 115
[8] Muhammad Ibrahim Jannati, Fiqih Perbandingan Lima Madzhab (Jakarta: Cahaya, 2007) Hal: 52