Inilah ‘Arif Hakiki

sufi sejati
Berkaitan dengan defenisi ‘arif (penempuh jalan spiritual), dalam kitab Misbah al-Syari’ah disebutkan, ‘arif adalah orang yang pribadinya bersama manusia dan hatinya bersama Allah Swt dan andaikan hatinya lupa dari Allah sesaat saja maka ia akan mati karena kerinduan kepada-Nya. ‘Arif adalah orang kepercayaan yang menjaga titipan-titipan Allah, khazanah rahasia-rahasia-Nya dan tambang cahaya-nya, petunjuk rahmat-Nya terhadap makhluk-N, kendaraan ilmu-ilmu-Nya, timbangan keutamaan dan keadilan-Nya. Ia tidak butuh kepada makhluk, obsesi dan dunia. Tiada penghibur baginya selain Allah Swt. Dan tiada pembicaraan, isyarat dan nafas kecuali dengan Allah, untuk Allah, dari Allah dan bersama Allah.
Ia selalu mondar-mandir di antara taman-taman kesucian-Nya, dan membekali dirinya dengan kelembutan-kelembutan keutamaan-Nya. Dan makrifat itu adalah pokok/dasar dan cabangnya adalah iman.[1]
Diriwayatkan dalam kitab al-Kafi dan kitab at Tauhid bahwa Imam al-Shadiq berkata: Sesungguhnya ruh orang mukmin sangat lengket (dekat/menempel) dengan ruh Allah Swt, bahkan melebihi lengketnya pantulan cahaya matahari dengan matahari.
Dalam hadis Qudsi yang disepakati oleh seluruh mazhab Islam, disebutkan bahwa Allah Swt berfirman: Tiadalah seorang hamba yang berusaha mendekatkan dirinya kepada-K dengan sesuatu yang lebih aku cintai daripada apa yang telah aku wajibkan baginya. Dan sesungguhnya dia berusaha mendekatkan diri kepada-K dengan amalan-amalan sunnah. Sehingga Aku mencintainya dan ketika Aku mencintainya maka Aku akan menjadi pendengarannya yang dipakainya untuk mendengar dan Aku menjadi matanya yang dipakainya untuk melihat dan Aku menjadi lisannya yang dipakainya untuk berbicara dan Aku menjadi tangan yang dipakainya untuk menggerakkan sesuatu. Jika ia berdoa kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya dan jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, niscaya Aku akan memberinya.[2]
Khajah Nashiruddin berkata: Ketika seorang ‘arif putus dari dirinya dan berhubungan dengan al-Haq (Allah Swt) maka ia melihat segala kekuasaan tenggelam dalam kekuasaan-Nya yang selalu terkait dengan seluruh yang bisa dikuasai, dan segala ilmu tenggelam dalam ilmu-Nya dimana tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari ilmu-Nya dari seluruh maujud, dan segala iradah tenggelam dalam iradah-Nya dimana tidak ada satupun dari makhluk yang terlepas dari iradah-Nya, bahkan setiap wujud itu berasal dari-Nya dan selalu mendapat curahan karunia-Nya.
Bila demikian adanya, maka Allah Swt akan menjadi matanya yang dipakainya untuk melihat, pendengarannya yang dipakai untuk mendengarkan dan kekuasaannya yang dengannya ia melakukan sesuatu dan ilmunya yang dengannya ia mengetahui dan wujudnya yang dengannya ia berada. Dan saat itu seorang ‘arif akan berakhlak dengan akhlaknya Allah secara hakiki.[3]
Dalam kitab Misbah al-Syari’ah, disebutkan, bahwa: Orang yang rindu tidak bernafsu untuk memakan sesuatu dan tidak merasa nikmat untuk meminum sesuatu dan tidak merasa nyaman untuk beristirahat atau tidur dan tidak merasa terhibur dengan adanya sahabat; tidak merasa perlu untuk bernaung di suatu rumah, tidak membangun suatu bangunan dan tidak memakai pakaian yang lembut dan tidak merasa tenang. Ia menyembah kepada Allah Swt sepanjang malam dan siang dengan harapan supaya ia sampai kepada apa yang dirindukannya dan dia memanggil-Nya serta berdialog dengan-Nya dengan lisan kerinduannya dengan mengungkapkan apa yang ada pada lubuk hatinya yang paling dalam sebagaimana Allah Swt menceritakan tentang Musa bin Imran saat ia berjanji dengan Tuhannya dengan mengatakan kepada-Nya dan bersegera menujumu wahai Tuhan pengaturku, supaya Engkau ridha.
Nabi saw menceritakan keadaannya dengan mengatakan bahwa, beliau tidak makan dan tidak minum dan tidak tidur dan tidak bersemangat untuk melakukan apapun dari hal-hal tersebut saat pergi-pulang selama empat puluh hari karena kerinduan kepada Tuhannya.
Jika engkau memasuki medan kerinduan maka ucapkanlah takbir kematian atas keinginanmu dari dunia dan tinggalkanlah hal-hal yang menyebabkan keintiman/keakraban dan cegahlah dirimu dari selain sesuatu yang engkau rindukan dan penuhilah panggilan Ilahi antara kehidupan dan kematian, dan Allah menetapkan pahala agung bagimu. Dan perumpamaan seseorang yang rindu kepada Allah Swt, seperti orang yang tenggelam dimana seluruh pikiran dan kegelisahannya hanya terfokus kepada keselamatannya, dan segala sesuatu selainnya dilupakannya.[4]
[1] Misbah asy Syariah, bab 95.
[2] Al Kafi, 2/352.
[3] Syarah kitab Isyarat Ibn Sina, Maqamat al ‘Arifin, delapan halaman terakhir. Di dalamnya terdapat penjelasan pengarang yang mengatakan, Isyarah: ‘Irfan (mistik) dimulai dengan pembedaan, kontradiksi, peninggalan dan penolakan. Perhatian secara mendalam terhadap komprehensifitas, yaitu komprehensifitas sifat-sifat al Haq terhadap zat-zat yang berkehendak kepada ash sidq (kebenaran) dan berakhir pada al wahid (yang satu) lalu wuquf (berhenti).
[4] Misbah al Syariah, bab 98, hal. 65. Dalam redaksi yang dicatat oleh Musthafawi, seorang alim yang mulia disebutkan seperti ini, “wawadi’ jami al ma’lufat” (dan berpisahlah dengan segala hal yang mendatangkan keakraban), sedangkan dalam teks Almarhum Maliki disebutkan, “wada’” (dan tinggalkanlah). Kami pun menukil dan menerjemahkan sesuai dengan yang terakhir ini.