Inilah Fatimah
Mekah, seperti biasa, tampak sibuk. Orang-orang keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan harian mereka. Jutaan harapan dan angan-angan menggelinding di atas penghuni Ummul Qura. Ada di antara mereka yang sibuk menghitung-hitung keuntungan perdagangannya; ada yang sibuk mengurusi pohon kurma; ada yang asyik dalam menggembala domba-domba lucu dan menggemaskan; ada yang memikirkan hari tua mereka sambil menggelus-elus jenggot dan cambang mereka; ada yang terlena dalam keindahan syair dan pantun; ada yang hanyut dalam derasnya fanatisme kesukuan yang memang tidak mudah hilang dari kehidupan mereka meskipun pasca terbitnya fajar Islam; dan ada penguburan anak perempuan hidup-hidup, baik secara rahasia atau terang-terangan yang diwarnai dengan aroma kental jahiliah.
Di tengah-tengah hiruk-pikuk kota kelahiran Ismail itu, ada seseorang yang sedang menanti kedatangan anaknya. Orang itu tidak banyak mempunyai harapan dan keinginan. Hanya satu keinginannya: melihat anaknya lahir ke dunia dengan sehat dan selamat. Inilah harapan satu-satunya.
Mengapa hanya ini yang menjadi harapannya? Tidakkah ia mempunyai harapan lainnya? Iya, hanya itu harapnnya. Harapan-harapan lainnya bermuara pada Harapan ini. Dengan kata lain, harapan ini adalah Harapan besarnya, sedangkan harapan lainnya adalah harapan kecilnya.
Harapan inilah yang ketika terwujud akan menjadi mutiara kehidupannya. Harapan inilah yang ketika ia berwujud maka wujudnya menjadi sarana untuk datangnya para malaikat yang membawa jamuan dari surga. Harapan inilah yang menjadi padanan terserasi bagi pemuda gagah berani yang mengorbankan jiwanya di malam yang mencekam demi menyelamatkan hidup sang kekasih. Harapan inilah yang menjadi perantara lahirnya dua mahkota pemuda surga. Harapan inilah yang dengan lancar berdialog di alam rahim dengan ibundanya sehingga melekatlah gelar al-Muhaddatsah baginya.
Harapan inilah yang rumahnya menjadi tempat lalu-lalang para malaikat, khususnya malaikat tersakti Jibril as. Harapan inilah yang menjadi ibu bagi ayahnya. Harapan ini adalah anugerah terbesar Allah SWT bagi utusan tercinta dan termulia-Nya. Harapan ini adalah al-Kautsar yang dengannya keturunan orang-orang mulia dan suci terjaga dan tak terputus alias abtar. Harapan tidak lagi menjadi harapan, tapi fakta, ketika pada tanggal 20 Jumadil Akhir ia menerangi kota Mekah dengan kelahirannya yang suci.
Demikianlah Fatimah az-Zahra. Ia adalah wanita termulia sejagad bagi yang mengenalnya dengan baik dan benar. Semua keutamaan yang dimiliki oleh pria terdapat di dalam diri wanita ini. Semua model kesempurnaan manusiawi dan malakuti terlukis dalam diri istri wali Allah ini.
Fatimah adalah nama yang mencerminkan keindahan dan kebesaran. Betapa tidak, dengan usia yang begitu singkat selama ia berlabuh di dunia, ia mencetak record yang menakjubkan. Fatimah menggarungi lautan derita dengan penuh ketabahan dan kesabaran. Ia menikmati penderitaan di usianya yang masih kanak-kanak saat ayahnya dan keluarganya dikepung dan diboikot oleh kaum musyrik dan kafir. Fatimah tidak sempat merasakan indahnya bermain boneka dan aneka permaian anak kecil lainnya karena ia harus menghadapi tekanan-tekanan hidup yang superberat sebagai konsekuensi logis dari “profesi” ayahnya sebagai mu’allim (guru) manusia di tengah-tengah kedunguan dan kebutaan kaum Jahiliah. Bahkan tidak jarang Fatimah harus menangis tersedu-sedu ketika melihat penghinaan dan perlakuan buruk para alumni Universitas Berhalaisme terhadap ayah tercintanya.
Dan prestasi besar lainnya yang dicetak oleh Fatimah yang langsung didirekam oleh Al-Qur’an adalah keikhlasannya dalam menyedekahkan semua makanannya saat ia berpuasa nazar selama 3 hari yang karenanya Allah SWT menghujaninya dengan bertubi-tubi pujian (untuk lebih jelasnya silakan Anda membaca Asbab Nuzul surat al-Insan).
Adalah salah besar kalau ada yang mengira bahwa pujian Allah dan Rasul-Nya terhadap ibu Hasan dan Husein ini semata-mata karena “basa-basi”. Allah SWT dan Nabi-Nya tidak pernah mengenal kata basa-basi terhadap siapapun. Sehingga karena itu, misalnya, ketika Rasul saw bersabda: “Allah ridha dengan keridhaan Fatimah dan marah karena kemarahannya,” maka sabda beliau ini tidak mempunyai unsur basa-basi atau nepotisme. Beliau berbicara sejujur-jujurnya bahwa demikianlah kedudukan sesungguhnya anaknya di sisi Allah, tidak kurang dan tidak lebih. Orang yang menganggap Rasulullah saw berbasa-basi dalam sikap dan tutur katanya adalah orang yang seratus persen tidak mengenal kedudukan beliau saw. Bukankah Al Quran mengatakan: “Ia (Muhammad) tidak pernah berbicara atas kemauan hawa nafsunya. Apa saja yang diucapkannya berdasarkan wahyu (dari Tuhannya).” (QS. An Najm: 5)
Adalah benar bahwa Nabi saw sebagai ayah, ia memiliki hubungan yang begitu erat dengan Fatimah, anak semata wayang yang bertahan hidup dengan beliau. Adalah benar bahwa Fatimah adalah harapan besar ayahnya. Namun perlu dicatat bahwa seorang Nabi adalah ayah yang terbaik buat anaknya sebagaimana ia penasihat yang terbaik bagi umatnya. Ia tidak mungkin melakukan kesalahan mendasar dalam mendidik anaknya. Seorang nabi, misalnya, tidak mungkin memanjakan anaknya secara tidak rasional yang mungkin bisa dilakukan oleh ayah biasa (selain Nabi).
Alhasil, pendidikan Nabi adalah pendidikan yang terbaik dan termulia sehingga seorang Nabi tidak mungkin pernah salah dalam mendidik umatnya, apalagi anaknya sendiri. Jadi, kata salah asuh harus kita buang jauh-jauh dari kamus kehidupan seorang Nabi. Berdasarkan hal ini, semua pujian atau mungkin kecaman Nabi (seperti dalam kasus anak Nabi Nuh) terhadap anaknya sendiri pun pasti benar dan tidak basi basi.
MA