Islam Agama Pembebasan Kaum Tertindas Bag 1
Annisa Eka Nurfitria.Lc
“Orang-orang yang mengikuti rasul, Nabi yang ummi, yang mereka dapatkan namanya tercantum di sisi mereka dalam Taurat dan Injil, yang memerintahkan yang ma’ruf, melarang hal yang munkar, menghalalkan at-tayyibat, mengharamkan al-khabaits, melepaskan dari mereka beban dan belenggu-belenggu mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, yang mendukungnya, yang menolongnya, dan yang mengikuti cahaya yang diturunkan besertanya: orang-orang itulah yang berbahagia.” (QS 7: 157).
Ayat di atas menjelaskan tiga tugas para rasul dan pengikut-pengikutnya. Tugas pertama ialah mengajak pada perbuatan yang ma’ruf dan meninggalkan perbuatan yang munkar. Hal ini berarti melarang orang melakukan perbuatan buruk dan mengajak kepada orang untuk beramal shaleh. Tugas kedua ialah menjelaskan sesuatu yang haram dan sesuatu yang halal. Ini berarti menjelaskan kepada orang tentang syariat agama. Dan tugas ketiga adalah – yang sering luput dari kebanyakan orang – membebaskan manusia dari beban penderitaan atau dalam bahasa Al Quran, melepaskan manusia dari belenggu yang menindih kuduk mereka.
Banyak yang mengira bahwa dakwah sudah selesai dan berhasil dengan menggunkan tolok ukur pengajian yang menyampaikan hukum taharah, junub, wudhu, tayammum dll. Majlis-majlis taklim dianggap sukses kalau jama’ahnya banyak membludak memenuhi ruangan masjid sampai ke jalan, kalau sudah banyak orang melantunkan Al Quran, kalau musabaqah tilawatul Qur’an sudah tersebar sampai di perkampungan. Padahal di saat yang sama, terbentang jelas gubuk-gubuk reyot, rumah-rumah tak layak huni, para gelandangan merintih kelaparan, anak-anak putus sekolah, orang miskin yang tak memiliki akses fasilitas kesehatan, wanita-wanita yang terpaksa mengorbankan kehormatannya demi mempertahankan keberlangsungan hidup. Dalam hal ini kita mempertanyakan di mana peran Islam sebagai agama pembebas kaum tertindas.
Islam sebagai agama menurut para pakar sejarah bukan saja dianggap sebagai agama baru, melainkan juga sebagai liberating force – suatu kekuatan pembabas umat manusia. keberpihakan kepada kamu tertindas inilah yang menyebabkan Islam dahulunya begitu cepat tersebar di nusantara terutama Indonesia. Islam datang di saat Indonesia dipimpin oleh sistem kerajaan yang feudal, saat itu rakyat harus membayar upeti kepada raka-raja, bahkan harus kerja banting tulang untuk memenuhi kebutuhan operasional kerajaan. Islam datang melaui jalur laut, mengajarkan kesetaraan dan persamaan derajat manusia di hadapan Tuhan, tidak ada yang memiliki privilege di atas yang lain karena suku, ras, keturunan, warna kulit atau asal usul. Karena alasan ini masyarakat Indonesia saat itu jatuh cinta dengan agama yang baru ini. Di India, karena alasan ini pula, diberitakan bahwa ribuan, bahkan jutaan, kelompok Harijan – suatu kelompok outcast yang terasing dari kasta-kasta lainnya – berbondong-bondong masuk Islam. Hal ini yang sempat menjadi ancaman bagi Indira Gandhi dan tokoh-tokoh politik di India, sehingga terjadilah di sana pembantaian besar-besaran terhadap pemeluk Islam.
Orang yang membuat lemah disebut mustadh’if. Orang yang dibuat lemah atau yang dibuat tidak berdaya, atau yang dibuat sengsara disebut mustadh’af. Istilah mustadh’af berasal dari akar kata dha’fun yang berarti lemah. Di dalam Al Quran, selain istilah ini, ada istilah lain yang juga sering digunakan yaitu dhuafa (bentuk tunggalnya dha’if), berarti orang yang lemah, baik karena dilemahkan orang lain mapun karena dirinya sendiri memang lemah. Dalam terjemahan bahasa Inggris, mustadh’afin kadang-kadang diterjemahkan sebagai the oppressed (yang tertindas). Sedangkan dhuafa biasanya diterjemahkan dengan the weak (orang-orang yang lemah). Sebagai ilustrasi, orang-orang kaya tidak termasuk ke dalam kelompok dhuafa. Tapi mustadhafin boleh jadi juga meliputi orang kaya tertentu.
Al Quran banyak sekali bercerita tentang perjuangan kaum tertindas, seperti halnya dalam QS 28: 1-4:
“Tha Sin Mim. Inilah ayat-ayat Kitab Allah yang jelas. Akan Kami bacakan kepadamu kisah Musa dan Fir’aun dengan sebenar-benarnya. Supaya jadi pelajaran bagi kaum beriman. Sesungguhnya Fir’aun berlaku sebagai tiran di bumi. Dipecah-pecahnya penduduk menajdi berbagai golongan, lalu dibuatnya lemah segolongan di antara mereka. Dia sembelih laki-laki, dan dia hidupkan wanita-wanita mereka. Dia sesungguhnya termasuk orang-orang yang suka merusak, (bukan orang-orang yang suka membangun).”
Dalam QS 28: 5, Allah berfirman;
“Dan Kami bermaksud memberikan karunia kepada orang-orang yang ditindas di bumi. Akan Kami jadikan mereka pemimpin dan pewaris bumi ini.”
Dr. Ali Syaritai, seorang ahli sosiologi agama, membagi kelompok Nabi ke dalam dua golongan. Pertama, Nabi-Nabi Ibrahimiah, dan kedua, Nabi-Nabi non-Ibrahimiah. Yang dimaksud Nabi-Nabi dari kalangan Ibrahimiah adalah Nabi-Nabi yang bermula dari Nabi Ibrahim as, yaitu Nabi-Nabi Islam. Sedangkan Nabi-Nabi non-Ibrahimiah antara lain adalah Siddharta Guatama, Konghucu, Lao Tse, Zarathustra dan sebagainya. Syariati menemukan ada perbedaan dari kedua golongan tersebut. Pertama, Nabi-Nabi non-Ibrahimiah, mereka berasal dari lingkungan elite istana. Misalnya Siddharta Guatama, sejak semua ia adalah anak raja, kemudia mengasingkan diri sampai akhirnya memperoleh wahyu (petunjuk), dan belakangan kembali ke lingkungan istana. Konghucu juga adalah anak dari seorang pembesar, dan akhirnya menjadi penasehat sang raja. Zarathustra (Zoroaster) juga berasal dari keluarga istana, kemudian mengajarkan agama baru dengan pengikut pertama juga orang-orang yang berasal dari istana.
Nabi-Nabi Ibrahimiah sebalikya, mereka berasal dari lingkungan rakyat jelata, berdakwah bermula dari kalangan rakyat jelata, dan pengikut-pengikut pertama mereka juga datang dari kalangan rakyat jelata. Mislanya histori Nabi Ibrahim as yang menentang Raja Namrud. Nabi Musa as lahir dari rakyat jelata, membela kelompok yang tertindas – saat itu orang-orang Israel yang dianiaya dan ditindas – dan selalu menentang kerajaan. Bahkan dalam Al Quran diceritakan Nabi Nuh as diejek: “pengikutmu hanyalah aradziluna (orang-orang gembel diantara kami).” Kemudia Al Quran juga menegaskan, “Setiap Kami menurunkan pemberi peringatan kepada suatu kaum, maka yang paling pertama menentangnya ialah orang-orang mutraf (kaya) yang berkata, “Kami yang paling banyak memiliki kekayaan dan pasukan. Dan kami kafir terhadap apa yang diwahyukan kepadamu” (QS 34: 34-35).
Bersambung…