Islam Ok, Akhlak No!
Makarimul akhlak (akhlak yang mulia) termasuk karakteristik moral para nabi, shiddiqin (orang-orang yang benar) dan orang-orang yang saleh, dan tujuan utama diutusnya para rasul tersurat dalam sabda Rasulullah saw: “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.”[1]
Ibn Sina masih remaja dan berusia belum genap dua puluh tahun. Namun beliau sudah mempelajari dan menguasai ilmu-ilmu yang terkenal di zamannya, seperti ilmu agama dan ilmu alam serta matematika. Suatu hari, beliau hadir di majelis pelajaran Abu Ali Ibn Maskaweh, seorang ilmuwan yang kesohor di kala itu. Dengan penuh kesombongan, beliau menjatuhkan sebiji kenari di depan Ibn Maskaweh sembari berkata, coba Anda tentukan berapa luas biji kenari ini! Ibn Maskaweh mengambil diktat yang bertemakan akhlak dan Kitab Thaharatu al-A’raq (kesucian keturunan) dan diletakkannya di hadapan Ibn Sina sambil berkata, kamu harus memperbaiki akhlakmu dulu. Setelah itu, aku akan beritahu kamu berapa luas buah kenari ini. Kamu lebih memerlukan perbaikan akhlak daripada saya harus menentukan berapa luasnya biji kenari ini.
Mendengar itu, Ibn Sina sangat malu dan beliau menjadikan petuah Ibn Maskaweh sebagai bimbingan akhlak sepanjang hidupnya.[2]
Bila Anda belajar, mungkin saja Anda menjadi alim. Tetapi Anda harus tahu bahwa antara orang yang tercerahkan jiwanya dengan orang alim itu memiliki jarak yang jauh. Dan setiap pemahaman dan istilah-istilah ilmu yang menumpuk di hati yang hitam dan tidak bermoral maka hijab (tirai) akan semakin bertambah. Dalam jiwa yang tak tercerahkan, ilmu akan menjadi tabir kegelapan. Ilmu mestinya menciptakan cahaya, namun dalam hati yang gelap justru akan memperbanyak kegelapan dan kepekatan.
Tidak keluar dari guci itu kecuali apa yang ada di dalamnya. Seandainya yang ada dalam guci itu minuman keras, maka yang merembes darinya pun adalah minuman keras. Dan jika di dalamnya ada air yang berpasir, maka air yang merembes darinya pun adalah air yang berpasir. Tidak masuk akal jika ada air garam dan air yang pahit dalam guci, lalu air yang merembes darinya adalah air yang manis lagi enak. Seandainya di dalam guci terdapat air yang segar, dingin dan jernih, maka air yang merembes darinya pun adalah air yang dingin dan jernih.
Apabila manusia yang terluka meletakkan obat di atas lukanya, maka bisa saja obat itu berpengaruh sehari atau dua hari dan meredakan luka secara sementara, tetapi luka akan segera membusuk dari akar (dalam). Kalau memang ada dokter yang pandai, tentu dia tidak akan memberikan obat yang dapat menyembuhkan luka secara sementara, karena tidak banyak manfaatnya mengusap luka dengan menggunakan olesan luar dan hanya memperlihatkan bagian luarnya.
Muhaqqiq Al-Naraqi berkata dalam kitab Jami’ as-Sa’adat tentang orang-orang yang memiliki penampilan luar yang meyakinkan dan tampak religius, tetapi hati mereka tidak sehat: Mereka bagai kuburan orang yang membusuk di dalamnya, tetapi kalian membangun dan selalu membersihkan permukaan kuburan. Dan bagai toilet-toilet umum yang setiap kalian menghiasinya dan meletakkan mawar dan bunga-bunga di dalamnya, maka kerusakan atau kotoran di dalamnya tidak akan hilang, mengapa? Karena dasarnya rusak.[3]
Ya, ada tiga intisari ajaran Islam: Akidah, syariat (fikih) dan akhlak. Bila salah satu dari tiga intisari tersebut tidak ditemukan pada seorang Muslim maka keberagamaannya dipertanyakan dan dipersoalkan. Dengan kata lain, Islam kâfah adalah Islam yang mengandung tiga pilar di atas secara baik dan benar.
Sering kita temukan dalam realita kehidupan sehari-hari orang yang begitu menghayati akidah Islam dan berusaha keras untuk memurnikan keyakinannya dari bau kesyirikan dan bid’ah dan ia tergolong orang yang ahli ibadah (ahli puasa senin-kamis dan shalat malam) namun akhlaknya tidak mencerminkan akidah dan ibadahnya. Seolah-olah orang seperti ini gagal menemukan relasi antara ibadah dan akhlak. Inilah tipikal orang yang busuk hatinya, dan tidak keluar darinya kecuali ujaran kebencian, cacian dan permusuhan.
Mestinya semakin tinggi dan berkualitas ibadah seseorang maka semakin toleran terhadap sesama, terutama keluarga, sahabat dan saudara seiman. Semakin murni dan hebat tauhid seseorang maka semakin sayang ia terhadap makhluk Allah. Muwahid (seseorang yang bertauhid) hakiki adalah seseorang yang menjadi pantulan dan manifestasi asma rahmanniyyah dan rahimiyyah Allah Swt. Muslim yang bertauhid adalah seseorang yang orang lain akan selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Muslim muwahhid adalah yang senantiasa menjaga lingkungan (binatang dan tanaman), kehormatan dan harta seorang Muslim. Tapi ironisnya, kita saksikan sebagian orang yang begitu getol dalam beribadah tapi juga gampang memfitnah. Output dari ibadah itu harusnya menciptakan insan yang sayang, bukan malah melahirkan insan yang garang. Zikir itu mengorbitkan manusia yang toleran, bukan malah menghadirkan orang yang intoleran.
Jadi, tauhid tanpa akhlak adalah tauhid-tauhidan (tauhid palsu). Ibadah tanpa akhlak adalah ibadah yang tak bernyawa alias kehilangan ruhnya. Sehebat-hebat orang yang bertauhid dan beribadah maka ia tidak akan pernah mampu menandingi iblis dari sisi senioritas dan pengalaman ibadah. Iblis adalah—sesuai penuturan Sayidina Ali—karramallah wajhah—dalam kitab Nahjul Balaghah—mantan ‘abid yang menghabiskan 6 ribu tahun dalam ibadah. Tapi apa yang membuat Iblis terusir dari rahmat Allah dan beralih dari predikat rahim (yang disayang) ke rajim (yang terkutuk dan terusir dari rahmat Ilahi)? Penyebabnya adalah karena Iblis gagal mempertahankan akhlak dalam dirinya. Watak abâ (menentang) dan istakbara (bersikap sombong dan menganggap paling hebat/paling suci) yang menjerumuskan Iblis dalam jurang kehancuran abadi.
Demikianlah urgensi akhlak dalam keberagamaan seseorang, dan agama yang dibangun tanpa akhlak adalah ibarat membangun rumah tanpa pondasi. Sehingga rumah yang berdiri tanpa pondasi kejatuhan dan kerobohannya hanya tinggal menunggu waktu saja. Bangunan Islam berdiri atas dasar akidah, syariat dan akhlak. Dan seorang Muslim harus menghiasi dirinya dengan tiga dasar tersebut, sehingga keislamannya sempurna dan tidak cacat.
Oleh: Syekh Muhammad Ghazali
Pemerhati Masalah Sosial-Keagamaan
Sumber :
-
Hadis Abi Hurairah, diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Malik dan Imam Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad dan al-Hakim dan al-Baihaqi dalam asy-Sya’ab.
-
Dastan Rastan, Majmu’ah Atsar Ustad Muthahari, juz 18, hal. 236
-
Berkenaan dengan kriteria orang yang zuhud, Sayidina Ali Bin Abi Thalib berkata: “Mereka melihat ahli dunia mencemaskan kematian jasad mereka, sementara mereka lebih mencemaskan kematian hati orang-orang yang hidup diantara mereka. (Nahj Al-Balaghah, Khutbah 230)