Isyarat Ekonomi Islami
Manusia itu makhluk homo ekonomikus, yaitu tunduk kepada undang-undang ekonomi dan bersifat ekonomis. (Ruslan, 2014) manusia juga bersifat sosial. Tidak bisa hidup sendiri selalu membutuhkan keberadaan manusia lain. Satu dengan yang lain saling mendukung saling membutuhkan. Aristoteles (384-322 SM) seorang ahli filsafat Yunani kuno menyatakan dalam ajarannya, bahwa manusia adalah zoon politicon artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk, pada dasarnya selalu ingin bergaul dalam masyarakat. Karena sifatnya ingin bergaul satu sama lain, maka manusia disebut sebagai makhluk sosial. [1]
Manusia adalah satu-satunya makhluk Allah yang mendapat amanah berupa akal. Tidak ada makhluk lain yang mampu mengemban amanah ini kecuali manusia.
Manusia dengan sifat ekonominya berinteraksi satu dengan yang lain. Manusia dan konsep ekonomi adalah dua hal yang tidak mungkin terpisah. Pada era kehidupan awal pun manusia berekonomi walau dengan cara barter. Karena belum memiliki alat tukar.
Manusia berekonomi sebagai bentuk realitas Khalifah Allah di muka bumi. Menjadi Khalifah Allah adalah memerankan pengemban amanah pengelolaan bumi. Berekonomi adalah satu upaya mewujudkan cita-cita mulia menjadi Khalifah Allah yang layak dan terakreditasi terbaik dimata Allah.
Ulama menilai masalah ekonomi sebagai masalah mendasar, sebagai bagian dari ilmu fikih, ilmu ekonomi dibahas dibawah payung ilmu iqtisad. Dalam hal ini karya besar iqtishaduna layak menjadi satu titik acuan. Sebuah bentuk nyata keseriusan seorang ulama dan ilmuwan di bidang ekonomi.
Hal yang penting dalam dunia ekonomi adalah sikap tidak rakus terhadap dunia. Berbisnis dengan sifat rakus, tidak memiliki rasa syukur, tidak bersedekah akan menjadikan bisnis sebagai belenggu duniawi. Bisnis yang semestinya menjadi alat tapi beralih fungsi menjadi pengatur jadwal dan waktu seorang atau sebagian besar manusia. Alih alih menyampaikan kepada ridha Allah, bisnis semacam ini akan menjauhkan dia dan memperbudaknya tanpa ampun.
Bisnis semestinya dilandaskan pada keadilan dan keberkahan dengan mengharap Ridha Allah SWT. Jadi berbisnis tetap menjaga koridor tidak menzalimi dengan menipu baik kuantitas atau pun kualitas, tetap didasarkan untuk kemaslahatan bersama.
Ketika kita dapati ekonomi yang amburadul itu tidak lain karena hanya didasarkan pada kepentingan pribadi atau kelompok semata. Orang lain diposisikan sebagai objek untuk diambil dan diperah hasil dan keuntungannya. Bukan menjadi partner yang saling mengisi dan mendukung.
Bahkan penggunaan uang kertas kita ketahui menuai pro-kontra. Amerika sebagai sesama manusia bisa memiliki nilai uang negara yang lebih tinggi dibandingkan mata uang yang lain. Pencetakan uang harus dibarengi dengan adanya emas dengan berat tertentu setara dengan nilai jumlah uang yang akan dicetak.
Amerika sendiri bukan pemilik tambang emas, jumlah dolar yang beredar jelas membutuhkan jumlah berat emas dengan jumlah sangat besar. Kenyataan yang tidak mungkin dilakukan oleh negara miskin kekayaan alam dan tambang seperti Amerika Sirikat itu.
Kerakusan Amerika untuk memiliki jumlah uang berlimpah lambat tapi pasti akan memakan mereka sendiri. Jutaan dolar harus dibakar setiap saat demi memenuhi kebutuhan tentara di pusat pusat kemiliteran mereka. Jutaan dolar dibutuhkan untuk rehabilitasi tentara yang baru pulang perang apalagi yang mengalami cidera. Belum lagi sekarang Covid-19 menghajar negara Paman Sam ini sehingga membuat kita melek atas ketidakadilan dan ketidak pedulian pemerintah rakus ini kepada rakyatnya sendiri. Bisnis jual beli senjata api dengan selalu menciptakan area sengketa tidak akan memberikan keuntungan sama sekali. Dari usah ini yang didapat hanya tumpukan kerugian demi kerugian.
Apa yang dilakukan negara Amerika adalah contoh nyata sistem ekonomi yang tidak manusiawi. Akhlak az ki amukhti, az biadaban. Darimana kamu belajar akhlak, dari orang-orang yang tidak berakhlak.
Islam menawarkan ekonomi yang manusiawi. Bisnis dengan asas keadilan.Ekonomi demi menyalurkan barang ke tempat yang jumlah barang ditempat itu sangat minim, sehingga kebutuhan masyarakat bisa tercukupi. Walau memang imbalan atas jerih payah tetap harus diberikan sebagai uang lelah. Berikan upah pekerja sebelum keringat mereka mengering. Inilah indahnya islam. Betapa dahsyat kalau ikatan ini dibangun antara tuan pemilik toko dengan para pekerjanya. Ikatan harmonis penuh kecintaan dan penghormatan.
Berbisnis bukan untuk menumpuk kekayaan karena kekayaan akan diaudit oleh pesuruh Allah swt. Dari mana, dan dihabiskan untuk apa. Kekayaan dengan jumlah nisab tertentu dikenai zakat. Jika tidak membayar maka dikenakan denda, dia juga harus menanggung dosa.
Berbisnis tetap harus berlabelkan wama khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun. Tidak kami ciptakan manusia kecuali agar mereka menjadi penyembah (Ku). Jadi berbisnis demi sebuah penghambaan kepada Allah swt.
[1] Herimanto dan Winarno, 2012, Ilmu Sosial & Budaya Dasar, Jakarta Timur: PT Bumi Aksara,
hal.44.