Jangan Melampaui Batas dalam Agama!
Jangan Melampaui Batas dalam Agama!
يا أَهْلَ الْكِتابِ لا تَغْلُوا في دينِكُمْ وَلا تَقُولُوا عَلَى اللهِ إِلاَّ الْحَقَّ
Hai ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. (QS: an-Nisa 171)
Adalah larangan dari Allah bagi hamba yang bertindak ghuluw dalam keagamaan, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya (1/589). Meski ayat suci tersebut tertuju kepada Ahlulkitab, tetapi ia menyinggung selain mereka juga. Karena, sesungguhnya mukhatab (lawan bicara) Alquran adalah manusia seluruhnya di manapun dan kapanpun.
Terkandung dalam pesan itu kira-kira ialah bahwa jangan sampai umat Islam menjadi seperti orang-orang yang melampaui batas dalam keagamaan.
Agama Islam -yang terdiri dari ushul dan furu’– memiliki batasan terlarang atau garis merah yang tidak boleh dilampaui. Hal melampaui batas ini bukannya tidak terjadi di tengah masyarakat. Di sana telah ada orang-orang yang disebut dengan kelompok radikal mengkafirkan muslimin. Karena itu perlu adanya hal saling mengingkatkan masalah takfiri yang sedang dihadapi oleh umat Islam kini.
Di dalam agama Islam terdapat perkara-perkara gamblang yang diistilahkan dengan “dharuriyatuddin”. Yakni, perkara-perkara yang sudah maklum disepakati seluruh muslimin, seperti iman kepada Nabi Muhammad dan tiada nabi sesudah beliau saw, kewajiban shalat lima waktu dan rukun-rukun lainnya dalam agama. Adapun masalah-masalah yang tidak segamblang itu, yang masih diperselisihkan dan dalam perbedaan pandangan di antara ulama, bukanlah bagian dari batas-batas terlarang atau garis merah tersebut.
Faktor-faktor dan Dampak-dampak Takfir
Orang mengatakan “syirik”, misalnya, terhadap sebagian muslim yang mengadakan maulid Nabi saw, ziarah kubur dan lainnya yang dibid’ahkan oleh sebagian muslim lainnya, dalam arti menyekutukan Tuhan, berarti telah mengkafirkan mereka. Maka hal ini -sebagaimana ayat di atas- merupakan tindakan yang berlebihan dan melampaui batas dalam agama. Sebab, masalah yang dibid’ahkan (oleh kaum takfiri) itu, tidak dibid’ahkan oleh ulama muslimin. Mereka bahkan -berdasarkan dalil-dalil Alquran dan Sunnah- menganjurkan maulid dan ziarah kubur. Justru para pembid’ah lah yang patut dipertanyakan, bahwa bukankah mengatakan syirik itu adalah tindakan ghuluw dalam agama?
Dalam ayat di atas setelah dilarang bertindak ghuluw, diperingatkan: “Jangan berkata kecuali yang benar!”. Maka jangan sampai dari umat Islam menjadi seperti kaum yang berlebih-lebihan (ghuluw) dalam beragama, sehingga menjadi tidak benar dalam perkataan dan melampaui batas. Akan tetapi, disayangkan bahwa, bukankah tindakan yang dilarang oleh agama ini telah terjadi dan mewabah di tengah masyarakat kita?
Melihat dampak-dampaknya yang sangat buruk dan merusak tatanan masyarakat, tindakan takfir (mengkafirkan) terhadap sesama muslim itu hendaklah tidak disepelekan. Peristiwa bom bunuh diri yang terjadi berulang kali di negeri kita yang damai ini, adalah contoh dari dampak-dampaknya.
Pengkafiran yang dilontarkan kaum radikal itu adalah berarti menghalalkan darah dan harta semua orang yang tak sepaham dengan mereka, dan menjadi musuh mereka. Telah kita saksikan fenomenanya seperti yang telah terjadi di Suriah dan negeri-negeri Islam lainnya, betapa banyak dan besar kerugian yang ditanggung oleh umat manusia! Kemanusiaan menjadi tertindas. Darah penduduk yang teka berdosa ditumpahkan dan hak-hak milik mereka terampas. Semua ini adalah akibat tindakan melampaui batas yang dilakukan oleh kelompok radikal seperti ISIS dan semacamnya. Cukuplah demikian menjadi bukti nyata, betapa seriusnya masalah ghuluw ini.
Demikian itu telah diperingatkan oleh Rasulullah saw pada empat belas abad yang lalu, sebagaimana riwayat dari Ibnu Mas’ud dalam Sahih Muslim (4/2055), beliau saw bersabda: هلك المتنطعون; (“Binasalah mutanathi’ûn!”).
Siapakah mereka itu? Imam Nawawi dalam Syarah Muslim (16/220) mengatakan: “Adalah kaum yang melampaui batas dalam ucapan dan perbuatan mereka.”
Dalam riwayat tersebut diterangkan bahwa Nabi saw mengucapkan: “Binasalah mutanathi’ûn!”, sampai tiga kali, menunjukkan
penekanan yang kuat dan masalahnya sangat serius. Oleh karena itu, kita perlu mengkaji akar masalahnya, mengapa mereka itu sampai bertindak melampaui batas?
Selain hal menuruti hawa nafsu, yang disinggung oleh QS. Al-Maidah 77 setelah larangan bertindak ghuluw kemudian mengatakan: “Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu!”, faktor utama lainnya adalah kebodohan. Yakni, terkait dengan penafsiran terhadap teks-teks keagamaan, oleh oknum oknum yang bukan ahlinya. Setidaknya, dua hal inilah yang menyebabkan tindakan melampaui batas dalam agama, dan berdampak kerusakan di tengah masyarakat.