Jika Allah Pemberi Rezeki, Mengapa Banyak Anak Mati Kelaparan?
Perbedaan adalah sebuah kemestian penciptaan supaya Allah menguji umat manusia dalam menunaikan tugas-tugas mereka. Tetapi, ujian tidak selalu serupa. Allah menguji umat manusia dalam kondisi yang berbeda dan dengan cara yang berbeda pula. Kemiskinan dan kekayaan adalah dua kondisi yang selalu dianggap bertentangan oleh opini masyarakat kita, dan bahkan sebagian orang menganggap bahwa kekayaan adalah tolok ukur kehormatan seseorang. Padahal cara pandang semacam ini sangat berbeda dengan cara pandang yang telah ditanamkan oleh ajaran Islam.
Berikut adalah wawancara reporter Kantor Berita Shabestan dengan Abdul Husain Talei salah seorang anggota Departemen Ilmiah Unversitas Qom dan juga ahli bidang al-Quran dan hadis sehubungan dengan rezeki dan kemiskinan yang menimpa sebagian penghuni dunia:
– Dalam teks agama kita, Allah disebut sebagai Tuhan pemberi rezeki. Tetapi mengapa sebagian orang malah ditimpa kelaparan dan meninggal dunia lantaran kelaparan?
Untuk mencerna masalah ini, kita harus merenungkan beberapa poin berikut ini:Poin pertama, di samping sifat pemberi rezeki, Allah juga memiliki sifat penyembuh penyakit. Lalu mengapa sebagian orang malah ditimpa penyakit dan meninggal dunia lantaran sakit?
Poin kedua, rezeki bukan hanya bersifat materi. Rezeki spiritual adalah juga rezeki. Untuk itu, ketika seseorang mengadukan kemiskinan kepada Imam Shadiq as, beliau mengatakan, engkau memiliki sebuah modal besar yang kamu sendiri tidak menyadarinya. Ketika engkau berada di atas jalan hidayah, ini adalah sebuah modal besar yang kamu miliki.
Jangan sampai kita lupakan bahwa dunia hanyalah tempat singgah, bukan untuk menetap. Kesulitan dan kegampangan hidup pasti cepat berlalu, serta semuanya akan terlupakan. Kesenangan, rasa sakit, kegembiraan, dan kesedihan akan sirna. Yang akan tersisa hanyalah modal besar kita; yakni petunjuk. Kadang-kadang kita menjuluki seseorang miskin lantaran ia tidak memiliki harta. Jika ia menjadi salah satu anggota ISIL dan bergelimangan harta, maka tetap ia disebut miskin dari sisi spiritualitas.
Poin ketiga, kita harus cermat. Allah adalah pemberi rezeki. Apakah saya mau menerima rezeki tersebut atau tidak, ini adalah masalah lain. Sebagai contoh, saya mengatakan sedang haus kepada seseorang. Lalu ia memenuhi gelas yang ada di tangan saya. Saya bisa meminum air tersebut dan juga bisa membuangnya ke atas tanah. Jika air itu terbuang di atas tanah, maka siapakah yang bersalah? Jelas sayalah yang bersalah.
Sebenarnya, masalah ini sangat sederhana sekali. Berfoya-foya tanpa batas kadang-kadang bisa membuat rezeki musnah.
Poin keempat, umat manusia memiliki banyak perbedaan: ada yang gemuk, ada yang kurus, ada yang tinggi, ada yang pendek, ada yang cerdas, ada yang lamban berpikir, dan lain sebagainya. Ini semua termasuk sunah penciptaan dan rezeki dari Allah. Perbedaan-perbedaan ini ditujukan supaya Allah menguji setiap insan. Tentu, ujian Allah tidak pernah sama. Untuk satu insan pun, Dia tidak pernah menguji dengan ujian yang sama dalam dua kondisi yang berbeda. Orang yang memiliki harta lebih banyak akan dituntut oleh Allah untuk berinfak lebih banyak. Untuk itu, ini bukan sebuah kezaliman, karena ujian tidak pernah sama.
Poin kelima, Allah tidak pernah merampas ikhtiar dari manusia. Untuk itu, Dia tidak pernah mengikat tangan orang yang lalim.
Kadang-kadang Allah tidak pernah menutup pintu rezeki. Tetapi seorang yang lalim menutup pintu ini.
Seseorang pernah berkata kepada Imam Shadiq as, “Bukankah kita memiliki ayat yang menyatakan bahwa Allah memberikan kerajaan kepada siapa saja yang Dia kehendaki?” “Ya,” jawab beliau pendek. “Lalu bagaimana dengan kerajaan Bani Umaiyah?” tanyanya lagi. Imam Shadiq bertanya, “Jika seseorang mencuri bajumu, apakah Allah telah memberikan baju itu kepadanya ataukah ia mencurinya?”
Poin keenam, jika kita membatasi rezeki kita sendiri dengan aneka ragam alasan seperti berlebih-lebihan, malas, dosa, dan lain-lain, maka yang bersalah adalah kita sendiri. Kita sendiri berkewajiban mencari jalan-jalan yang halal untuk memperoleh rezeki yang halal. Jika kita tidak menemukannya, maka bukan Allah yang bersalah.
Poin ketujuh, jika rezeki terbatas, maka faktornya mungkin salah satu dari beberapa hal ini: ujian Ilahi, kelaliman seorang yang lalim, atau dosa kita sendiri. Kita tidak tahu. Imam Mahdi as mengetahui faktor tindakan setiap orang, karena beliau memperoleh laporan tentang itu semua pada malam Lailatul Qadr. Beliau mengetahui berapakah kadar rezeki material dan spiritual yang akan dianugerahkan Allah kepadanya. Beliau juga mengetahui seberapa jauh peran yang ia miliki dalam menutup rezeki.
Poin kedelapan, ada perbedaan antara qadha’ dan keridaan. Jika seorang yang zalim telah melakukan sebuah dosa, maka ini adalah sebuah qadha’ dari Allah, tetapi jelas bukan keridaan-Nya. Qadha’ adalah kekuasaan Allah yang senantiasa dominan dalam setiap hal dan tidak akan pernah sirna. Tetapi, qadha’ Allah tidak selamanya sebagai manifestasi keridaan-Nya. Seorang anak kecil yang kelaparan adalah sebuah qadha’ Ilahi, tetapi jelas Dia tidak rida dengan kondisi ini.
– Mungkinkah kelaparan yang menimpa umat manusia memiliki faktor lain selain beberapa faktor di atas?
Kita asumsikan bahwa kelaparan anak kecil itu tidak memiliki faktor lain kecuali kehendak Allah. Yakni kita melakukan asumsi yang paling buruk dalam hal ini. Tetapi karena kita yakin bahwa Allah tidak akan pernah berbuat zalim, kelaparan dunia fana ini pasti akan disimpan untuk dunia baka kelak.
Sumber ; Shabestan.net