Kaitan Erat Pemilihan Parameter Kebahagiaan Dengan Tingkat Indeks Kebahagiaan Seseorang
By : Suparno
Bahagia secara bahasa memiliki sinonim dengan kata gembira, senang, bahagia. Dalam bahasa inggris kata ini memiliki padanan kata dengan kata happy, kebahagiaan sendiri memiliki padanan kata dengan happiness, beatitude,bliss, dan felicity.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhan mu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, nescaya Aku akan menambah (nikmat) kepada mu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS, Ibrahim 14: 7)
Dalam hidup ini ada dua takdir yang pasti kita alami, dua takdir berupa keadaan. Manusia pasti memiliki satu dari dua keadaan ini, pertama keadaan bahagia dan kedua keadaan susah. Bahagia karena merasa memiliki kecukupan rizki, kedua susah yakni sebaliknya ketika dalam keadaan merasa kekurangan rizki, memiliki kebutuhan yang sangat mendesak. Jadi jumlah rizki yang dimiliki tidak sebanding dengan kecukupan yang dibutuhkan.
Pada keadaan pertama orang yang kaya yaitu orang yang cukup dan dia merasa bahwa rizki yang ada sudah cukup baginya. Orang dengan tipe ini memiliki tipe hidup lebih tenang, berwibawa, sederhana, terpola, memiliki planning dan cerdas. Dia tidak pernah menjadi galau dan gelisah disebabkan tingkat kebutuhannya pada kuantitas maupun kualitas rizki. Dia lebih dewasa dibanding keadaan yang dihadapi.
Keadaan kedua yaitu keadaan Fakir, keadaan fakir dapat dibagi menjadi dua fakir positif dan fakir negatif, pertama fakir positif itu tidak mengeluh, tidak mempublikasikan kesusahannya, dia bekerja sungguh-sungguh dalam mencari rizki, dia tidak pernah sedih. Dia selalu yakin kepada Allah, tidak pernah putus asa terhadap rahmat Allah. Kedua Fakir negatif, fakir ini senantiasa dalam himpitan-himpitan yang sering dia ciptakan sendiri, dia hanya mengutuk keadaan tanpa semangat usaha keras maupun kerja cerdas.
Jadi dalam islam kita diajari untuk menjadi orang kaya, yakni menjadi orang yang cukup. Dalam islam juga dianjurkan untuk menjadi orang fakir, menjadi orang yang sangat mendesak kebutuhannya. Fakir disini maksudnya menjadi sangat butuh kepada Allah swt, merasa bahwa dirinya benar-benar tidak bisa menjadi ada kalau tanpa kehendak Allah swt, dia tidak bisa lepas dari Allah swt walau dalam waktu sekejap. Keadaan yang tidak berkaitan dengan nominal dan kuantitas rizki yang dimiliki manusia.
Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri, (Qs, Al Hadid (57):23)
Ini cara yang diajarkan Allah SWT dalam Quran tentang bagaimana menyikapi kepemilikan sementara di alama fana ini. Kita dilarang terlalu gembira atas apa yang kita dapati, apa yang kita miliki, termasuk ketika kita menjadi punya setelah sebelumnya serba kekurangan, menjadi kaya harta benda, ini sangat berguna karena sesuatu yang diamanahkan kepada kita pasti akan diminta kembali sama pemiliknya, yakni Allah swt.
Keberadaan seorang Nabi dan Rasul adalah bukti bahwa Allah swt menginginkan agar manusia dan jin bahagia. Allah swt memberikan rambu-rambu, tatacara dan bahkan memberikan contoh sosok riil untuk dicontoh bagaimana cara menapaki liku-liku menuju kebahagiaan. Bagaimana menjadi manusia yang bahagia.
Allah swt memberiakan apresiasi manusia untuk memilih hal-hal yang membahagiakan dan untuk menjadi bahagia. Fitrah manusia sebagai pasangan erat dari Nabi dan Rasul juga senantiasa mengajak manusia kearah ini. Selalu membimbing manusia untuk memilih jalan bahagia. Walau memang visi misi fitrah kadang tersendat beberapa hal seperti hawa nafsu, cinta dunia, cinta kekuasaan dan semacamnya.
Seorang anak dalam kehidupan rumah tangga dengan melihat kedua orangtuanya akan langsung memberikan penilaian, bagaimana indeks kebahagiaan yang diutamakan kedua orangtuanya. Dari omongan, cita-cita, dan harapan orang tua, semua itu memberikan satu parameter yang secara tidak langsung ditawarkan kepada anaknya, agar anaknya juga berminat pada parameter itu.
Sebagaimana kesengsaraan yang bisa kita ciptakan sendiri, kebahagiaan pun sama bisa kita ciptakan. Dan hal ini berpengaruh besar dengan bagaimana kita menjalani kehidupan ini, berpengaruh bagaimana kita berperilakau kepada orang-orang disekitar kita.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhan mu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, nescaya Aku akan menambah (nikmat) kepada mu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS, Ibrahim 14: 7)
Menanggapi ayat ini hanya ada satu pilihan, yakni kita disuruh bersyukur, dan dalam konteks kebahagiaan, tidak mungkin orang yang sedih dan murung bisa bersyukur pada Allah swt. Orang yang bahagialah yang bisa bersyukur kepada Allah swt, wallahu a’lam