Kajian Singkat Al-Muwaththa’ Imam Malik (Bag. Ketiga)
a) Sekilas tentang Imam Malik Baca di sini
b) Keilmuan dan pandangan-pandangan Imam Malik Klik di sini
* Guru-guru Imam Malik
1- Abu Bakar bin Yazid
2- Ibnu Hurmuz
3- Zuhri
4- Rabi’ah bin Abi Abdurrahman
5- Nafi’ (hamba sahaya Abdullah bin Umar)
6- Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s.[1]
Di sini akan disinggung sekilas tentang salah satu guru Imam Malik, yaitu Nafi’ (hamba sahaya Abdullah bin Umar). Imam Malik menukil banyak hadis darinya.[2] Pada dasarnya, Nafi’ menjadi salah satu tiang penting kitab Imam Malik. Nafi’ termasuk dalam kelompok orang yang melakukan penyerangan ke kota Madinah dalam peristiwa Harrah. Nafi’ menjadi bagian Khawarij dan berpandangan negatif terhadap Ahlul Bait a.s.
Meskipun Almarhum Mamaqani dalam kitab Tanqih menulis: “Ia majhul,” namun harus dikatakan bahwa ia ‘ma’lum al-hal’. Almarhum Namazi dalam Mustadrakat menulis: “Ia madzmum; dari golongan Khawarij.” Dalam nukilan tafsir ‘Ayasyi, beberapa peristiwa dinukil darinya, di antaranya perbincangan Nafi’ dengan Ibnu Abbas, jawaban Ibnu Abbas, sikap buruk Nafi’ di hadapan Imam Husain a.s. dan peristiwa kehadiran Nafi’ di haji bersama Hisyam bin Abdul Malik.
1) Perbincangan Nafi’ dengan Ibnu Abbas
Suatu hari Nafi’ memasuki Masjidil Haram. Saat itu Imam Husain dan Ibnu Abbas sedang duduk di sana. Nafi’ bertanya kepada Ibnu Abbas, “Deskripsikan kepadaku Tuhan yang engkau sembah!” Ibnu Abbas pun mulai memberikan penjelasan tentang sifat-sifat Tuhan.
Saat itu, Imam Husain menoleh ke Nafi’ dan berkata, “Wahai Abu Azraq! Menghadaplah kepadaku, aku akan menjawab pertanyaanmu.”
Tanpa menjaga adab, Nafi’ berkata, “Aku tidak bertanya kepadamu.”
Ibnu Abbas berkata kepada Nafi’, “Diamlah! Yang barusan berkata kepadamu berasal dari keluarga kenabian dan memiliki banyak ilmu.”
Kemudian Imam Husain a.s. mulai menjelaskan panjang lebar tentang sifat-sifat Tuhan. Setelah mendengar penjelasan Imam Husain, Nafi’ menangis. Imam Husain bertanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?”
“Aku menangis karena penjelasanmu yang begitu indah,” jawab Nafi’.
Lalu Imam Husain a.s. berkata, “Aku mendengar bahwa engkau mengkafirkan ayahku, kakakku dan aku!”
Nafi’ menjawab, “Ketika kalian menjadi hakim dan tonggak-tonggak Islam, kami pun bersama kalian, namun saat kalian berpaling, kami pun berpaling dari kalian (menunjuk kepada peristiwa perang Nahrawan)…”[3]
2) Perbincangan Imam Muhammad Al-Baqir dengan Nafi’
Abu Ar-Rabi’ berkata, “Kami pernah menjalankan ibadah haji bersama Abu Ja’far (Imam Muhammad Al-Baqir a.s.) pada satu tahun ketika Hisyam bin Abdul Malik bersama Nafi’, juga pergi berhaji.
Nafi’ melihat Abu Ja’far di satu rukun Ka’bah sedang dikerumuni banyak jamaah haji. Nafi’ berkata kepada Hisyam, “Wahai Amirul Mukminin! Siapakah yang sedang dikerumuni banyak orang ini?”
“Orang ini adalah nabi penduduk Kufah, Muhammad bin Ali,” sahut Hisyam.
Nafi’ berkata, “Saksikanlah! Aku akan mendatanginya dan menanyakan permasalahan-permasalahan yang hanya dapat dijawab oleh seorang nabi atau putera nabi atau washi nabi.”
Hisyam menjawab, “Pergilah kepadanya dan tanyakanlah! Barangkali engkau dapat mempermalukannya.”
Maka Nafi’ mendatangi Abu Ja’far dan berkata, “Wahai Muhammad bin Ali! Aku telah membaca kitab suci Taurat, Injil, Zabur, dan Alquran. Aku telah mengetahui hal-hal yang dihalalkan dan diharamkan di dalamnya. Kini aku datang ingin menanyakan masalah-masalah yang tidak seorang pun mampu menjawabnya kecuali nabi atau washi nabi atau anak nabi.”
Maka Abu Ja’far mengangkat kepala dan berkata, “Tanyalah apa saja yang ada di benakmu!”
Lalu Nafi’ melontarkan berbagai permasalahan dan semuanya dijawab oleh Abu Ja’far. Setelah itu Abu Ja’far berkata, “Wahai Nafi’! Beritahukan kepadaku jawaban dari pertanyaanku ini: Apa yang engkau katakan tentang perang Nahrawan? Jika engkau mengatakan bahwa kebenaran di pihak Amirul Mukminin Ali saat beliau memerangi mereka, berarti engkau telah kembali (berpaling dari Khawarij) dan jika engkau mengatakan bahwa Amirul Mukmin Ali berada dalam kebatilan saat memerangi mereka, berarti engkau telah kafir.”
Lalu Nafi’ berpaling dari hadapan beliau sambil berkata, “Demi Allah! Engkau manusia paling berilmu yang sesungguhnya.”
Nafi’ mendatangi Hisyam. Hisyam bertanya, “Bagaimana, apa yang sudah engkau lakukan?”
“Biarkan aku! Demi Allah! Sungguh dia manusia yang paling berilmu, putera Rasulullah yang sebenarnya dan layak para sahabat (pengikutnya) menyebutnya nabi.”[4]
3) Pengakuan Nafi’ atas kebencian kepada Imam Ali a.s.
Abu Harun Al-Abdi berkata, “Aku sedang duduk bersama Ibnu Umar, tiba-tiba Nafi’ Al-Azraq datang dan berkata, “Demi Allah! Aku membenci Ali.”
Ibnu Umar segera menjawab, “Semoga Allah membencimu karena kebencianmu terhadap seorang lelaki yang satu jasanya saja lebih baik dari dunia seisinya.”[5]
* Murid-murid Imam Malik
Di antara murid-murid Imam Malik yang paling terkenal dapat disebutkan sebagai berikut:
1- Ibnu Juraih Ar-Rumi
2- Sufyan Ats-Tsauri
3- Ibnu Uyainah
4- Abdullah bin Mubarak
5- Imam Syafi’i
6- Imam Auza’i[6]
7- Syu’bah bin Al-Hajjaj
8- Laits bin Sa’d
9- Ibnu ‘Ulaiyah
10- Qa’nabi
11- Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani.
==============================
[1] Berkenaan dengan status Imam Malik sebagai murid Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s., disebutkan dalam kitab Amali: “Ibnu Abi Umair berkata, “Aku mendengar Malik bin Anas, fakih Madinah berkata, “Aku datang ke hadapan Ash-Shadiq Ja’far bin Muhammad. Beliau memberikan bantal sandaran kepadaku dan menghormatiku sambil berkata, “Wahai Malik! Sesungguhnya aku mencintaimu.” Aku sangat gembira dengan itu dan bersyukur kepada Allah.”” (Amali Ash-Shaduq, halaman 143)
[2] Silahkan diperhatikan perbandingan jumlah nukilan hadis-hadis berikut ini: Imam Malik menukil 274 hadis dari Nafi’ dan Ibnu Umar, sementara hanya membawakan 14 riwayat dari Imam Shadiq dan 15 riwayat dari Imam Ali bin Abi Thalib a.s.
[3] Bihar Al-Anwar, 33/423.
[4] Al-Kafi, 8/120.
[5] Peristiwa ini disebutkan dalam kitab-kitab berikut: Syawahid At-Tanzil, Hakim Al-Haskani, 1/30; Al-Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah Al-Kufi, 7/505; Muqaddimah Fath Al-Bari, 298; As-Sunan Al-Kubra, Nasai, 5/138; Khashaish Amir Al-Mukminin, 107.
Dalam Syarh Al-Akhbar, Al-Qadhi An-Nu’man Al-Maghribi, 1/162 disebutkan demikian:
“Seorang lelaki mendatangi Ibnu Umar dan bertanya tentang Ali. Ibnu Umar menjawab, “Jangan engkau tanyakan tentang Ali, tapi lihatlah rumahnya yang termasuk rumah-rumah Nabi saw.”
Lelaki itu berkata, “Sesungguhnya aku membencinya.”
Ibnu Umar berkata, “Semoga Allah membencimu.”
Allamah Majlisi juga menyebutkan peristiwa ini di Bihar Al-Anwar, 72/227.
[6] Auza’i adalah seorang yang pernah berkata, “Pemerintah tidak memberikan hak-hak kami kecuali kami bersyahadah bahwa Ali bin Abi Thalib adalah munafik.” (Siyar A’lam An-Nubala’, 7/130)