Kajian Singkat Al-Muwaththa’ Imam Malik (Bag. Pertama)
Kajian Singkat Al-Muwaththa’ Imam Malik
a) Sekilas tentang Imam Malik
Malik bin Anas bin Abi ‘Amir Al-Ashbahi Al-Humairi lahir tahun 91 H (sebagian menyebutkan hingga tahun 97) dan meninggal dunia tahun 179 H. Ia termasuk salah satu dari 4 imam Ahlu Sunnah.
* Proses kelahiran Imam Malik
Berkenaan dengan proses kelahiran Imam Malik, Dzahabi berkata, “Malik 3 tahun berada di rahim ibunya, yakni ia lahir tiga tahun sepeninggal ayahnya.”[1]
Imam Malik sendiri juga tidak menyembunyikan masalah kelahirannya. Ketika ditanyakan apakah bisa seorang bayi berada di rahim ibunya lebih dari setahun? Imam Malik menjawab, “Kenapa tidak bisa?! Aku sendiri berada di perut ibuku tiga tahun.”[2]
Al-Qarafi dalam kitab Al-Faruq berkata, “Ucapan ini (bayi yang tinggal 3 tahun di rahim ibunya) bertentangan dengan kebiasaan. Kita menerima itu demi menjaga kehormatan dan menghindari penyebutan anak zina.[3]
* Bernyanyi
Imam Malik memiliki keahlian dalam tehnik menyanyi yang dilakukan sejak kecil. Abul Faraj Isfahani dalam “Al-Aghani” menukil sebuah cerita sebagai berikut:
“Seorang lelaki bernama Husain bin Dahman Al-Asyqar menukil, “Suatu hari di siang bolong aku berlalu dari sebuah gang di Madinah. Karena keadaan gang sedang lengang, aku mulai bernyanyi. Tiba-tiba sebuah daun jendela di gang itu terbuka dan seseorang berjenggot merah mengeluarkan kepalanya sambil berkata, “Hai orang fasik! Pertama, buruk sekali engkau bernyanyi. Kedua, engkau telah mengganggu tidurku. Ketiga, engkau sebut-sebut nama perempuan dalam nyanyianmu dan engkau sebarkan aibnya. Nyanyian macam apa itu?”
Kemudian ia sendiri mulai bernyanyi. Sedemikian indah ia bernyanyi hingga aku menyangka Thuwais (penyanyi terkenal di masa itu) yang sedang melantunkan nyanyian. “Dari mana kamu belajar seni ini?” tanyaku. Ia jawab, “Sejak kecil aku menekuninya dan mengikuti para penyanyi terkenal. Aku belajar bernyanyi dari mereka dan menghafalkan nyanyian, namun ibuku berkata, “Jika seorang penyanyi tidak memiliki wajah tampan, nyanyiannya tidak akan menjadi perhatian orang. Tinggalkan nyanyian itu dan tuntutlah ilmu fikih.” Maka aku meninggalkannya dan menekuni fikih hingga aku sampai pada tingkat sekarang ini.””
Husain bin Dahman berkata, “Nyanyikan lagu itu sekali lagi!” Malik menjawab, “Tidak akan pernah aku lakukan, karena (aku khawatir) nantinya engkau mengatakan bahwa lagu ini aku pelajari atau tirukan dari Malik.”
* Ketidaksukaan Malik terhadap Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s.
Ibnu Abdul Barr berkata, “Sekelompok imam Ahlu Sunnah tidak menunjukkan sikapnya berkenaan dengan Ali dan Usman, namun Malik mengatakan bahwa Ali bahkan tidak lebih afdal (utama) dari Usman.[4]
Ketika ditanya tentang berbagai peperangan yang dilakukan oleh Imam Ali, Malik menjawab, “Demi Allah! Seluruhnya dilakukan hanya demi sepotong roti.”[5]
Malik menetapkan garis merah terhadap khulafa’, namun tidak menunjukkan reaksi terkait Imam Ali. Malik berkata, “Barangsiapa mencaci salah seorang sahabat Nabi saw., Abu Bakar, Umar, Usman, Muawiyah, Amr bin Ash dan… wajib dibunuh bila ia dari kaum sesat dan kafir dan diberi adab atau hukuman bila bukan dari kelompok sesat.” Di mana Malik memposisikan Imam Ali?
Pada dasarnya akar pemikiran Ahmad bin Hanbal, Abu Hanifah dan Imam Syafi’i adalah kitab Al-Muwaththa’ Malik. Ahmad bin Hanbal dan Imam Syafi’i juga berada dalam jalur pemikiran ini. Imam Syafi’i berkata, “Ali bin Abi Thalib adalah pemimpin diktator dan tidak jujur dan orang yang memaksakan kekuasaannya.”[6]
Abu Hanifah juga mewasiatkan supaya tidak berdebat dengan orang-orang Syiah dengan mengakui hadis Ghadir karena mereka akan mengalahkanmu.[7]
* Bertentangan dengan sunnah Nabi saw.
Laits bin Sa’d berkata, “Malik telah memberikan 70 fatwa yang semuanya bertentangan dengan sunnah Rasul dan Malik sendiri mengakui hal itu.”[8]
Jika kita pernah mendengar bahwa Abu Hanifah[9] telah menolak 400 hadis Nabi saw.,[10] hal itu tidak mengherankan karena landasar pemikirannya adalah kitab Al-Muwaththa’ Malik.
========================
[1] Siyar A’lam An-Nubala’, 8/132.
[2] Dalam Mizan Adz-Dzahabi –tentang Muhammad bin ‘Ajlan-, Al-Waqidi berkata, “Aku mendengar Malik berkata, “Kehamilan terkadang bisa dua tahun atau lebih. Aku tahu siapa yang dikandung seperti itu –yakni dirinya sendiri-.”
[3] Al-Faruq, 3/2-3.
[4] Malik melihat Imam Ali sama dengan yang lainnya dan menganggap tiga khalifah pertama sebagai orang-orang yang paling utama. Mush’ab, murid Malik meriwayatkan bahwa ia bertanya kepada Malik, “Siapa orang yang paling utama setelah Rasulullah saw.?” “Abu Bakar, lalu Umar, lalu Usman,” jawab Malik. “Kemudian siapa lagi setelah mereka?” tanya Mush’ab. Malik menjawab, “Di sini orang-orang terhenti.”
[5] Saat disebut tentang Usman, Ali, Thalhah, dan Zubair, Malik berkata, “Demi Allah! Mereka tidak berperang kecuali karena sepotong roti.” Usud Al-Ghabah, 48/5.
[6] Allamah Majlisi di bagian akhir jilid 10 kitab Bihar Al-Anwar menukil ucapan Sayid Murtadha dan ungkapan persis Imam Syafi’i.
[7] “لا تقروا لهم بحدیث الغدیر فیخصموکم.” Qamus Ar-Rijal, 3/78.
[8] Jami’ Bayan Al-‘Ilm Wa Fadlih, 2/1080.
[9] Imam Syafi’i mengklaim telah mentelaah 80 dari 120 halaman kitab Abu Hanifah yang isinya bertentangan dengan Alquran dan sunnah atau saling kontradiksi atau bertentangan dengan qiyas.
[10] Tarikh Baghdadi, 13/390. Abu Hanifah sangat percaya diri dan berbesar hati hingga mengatakan, “Jika Nabi masih hidup, pasti akan mengatakan kata-kataku.”
Silahkan merujuk Tarikh Baghdadi yang menyebutkan catatan (negatif) tentang Abu Hanifah dalam 100 halaman. Al-Majruhin, 3/60.