Kehidupan Sayidah Nargis; Ibunda Imam Mahdi Afs (Part. 3)
Pernikahan Sayidah Nargis
Euis Daryati, MA____ Imam Ali Al-Hadi hidup dikontrol ketat oleh penguasa. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan putranya dan keberlangsungkan garis keimamahan, beliau sangat jarang menunjukkan putranya, Abu Muhammad di hadapan umum.
Sayidah Nargis tinggal di rumah Sayidah Hakimah dan hidup di bawah bimbingannya. Namun, hingga saat itu Sayidah Nargis belum pernah bertemu dengan Abu Muhamad, putra Imam Ali Al-Hadi as yang telah dikenalnya dalam mimpi. Hingga suatu saat Abu Muhamad (Imam Hasan Al-Askari) datang ke rumah bibinya dan bertemu dengan Sayidah Nargis. Sayidah Hakimah berbicara dengan keponakannya. Setelah selesai bicara, kemudian Abu Muhammad pun pamit pulang.
Sayidah Hakimah pergi menghadap Imam Ali Al-Hadi as untuk membicarakan pernikahan Sayidah Nargis dan keponakannya. Setibanya di rumah Imam Ali Al-Hadi, sebelum mulai bicara, Imam as, “Hakimah, bawalah Nargis untuk dinikahkan dengan Abu Muhamad, putraku!”
“Tuanku, untuk urusan ini juga aku datang menghadapmu, ingin meminta ijin kepadamu.” Jawab Sayidah Hakimah.
“Wahai orang yang diberkahi, sesungguhnya Allah mencintaimu, engkau turut mendapatkan pahala ini dan Allah menetapkan kebaikan untukmu.” Lanjut Imam as.
Sayidah Hakimah dengan sangat bahagia keluar dari rumah Imam Ali Al-Hadi as dan pamit pulang. Setibanya di rumahnya, beliau menyampaikan kabar baik tersebut kepada Sayidah Nargis. Sayidah Nargis tak mampu menyembunyikan kebahagiannya. Kemudian Sayidah Hakimah menyiapkan Sayidah Nargis untuk melakukan prosesi pernikahan dengan kemenakannya. Prosesi pernikahan Sayidah Nargis dan Imam Hasan Al-Askari dilakukan dengan sangat sederhana di rumah Sayidah Hakimah.[1] Kemudian setelah itu beliau berdua tinggal di rumah Imam Ali Al-Hadi as dan memulai kehidupan rumah tangganya di rumah yang penuh perkah tersebut.[2]
Kehidupan rumah tangga Sayidah Nargis dan Imam Hasan Al-Askari banyak diterpa kesulitan karena kondisi yang mencekam. Imam Hasan Al-Askari as penerus Imam Ali Al-Hadi as yang syahid karena diracuni dan menjadi imam pada usia 22 tahun yang akan membimbing umat. Sayidah Nargis pun sebagai istri berusaha mempersiapkan dirinya untuk berkorban dan menerima semua bahaya dan ancaman yang akan menimpa suaminya.
Dimulai dari awal masa keimamahannya, penguasa memerintahkan untuk mengontrol dan mengawasi gerak-gerik Imam as dengan ketat. Imam Hasan Al-Askari pun disuruh datang ke istana untuk melaporkan diri pada tiap hari Senin dan Kamis. Tidak cukup sampai di situ, bahkan kemudian surat perintah untuk menahan dan memenjarakan beliau pun dikeluarkan oleh penguasa.
Sayidah Nargis menghadapi semua kesulitan ini dengan ketangguhan dan kesabaran. Pada masa Imam as dipenjara, beliau berusaha menjaga semua rahasia Imam Hasan Al-Askari as dengan baik. Pada masa-masa sulit tersebut, Sayidah Hakimah sering datang menemui Sayidah Nargis untuk menghibur dan berusaha sedikit meringankan beban berat yang ditanggungnya.
Kelahiran Yang Dijanjikan
Pada suatu hari, Isa bin Shubaih yang sepenjara dengan Imam Ali Al-Hadi as, dan juga merupakan pengikutnya, berbicara dengan beliau.
“Tuanku, apakah engkau memiliki seorang putra?” tanya Isa bin Shubaih.
“Sumpah demi Tuhan, tidak akan lama lagi akan dianugrahkan seorang anak kepadaku yang akan memenuhi dunia dengan keadilan. Namun, sekarang aku belum punya anak.” Jawab Imam Ali Al-Hadi as.
Imam Hasan Al-Askari berusaha menyembunyikan berita seorang putra yang akan terlahir darinya di hadapan para musuh, dan membiarkan mereka dalam kebingungan. Namun, beliau memberikan kabar kelahiran putranya yang akan menjadi imam dan pengganti setelahnya kepada sebagian pengikut setianya. Pada suatu hari, Muhammad bin Abdul Jabbar datang menemui Imam Hasan al-Askari as dan berkata, “Wahai putra Rasul, jiwa kami sebagai tebusannya, aku ingin mengetahui imam dan pemimpin setelahmu?”
“Imam dan pengganti setelahku adalah putraku, nama dan gelar(kunyah)nya seperti Rasulullah. Ia adalah penutup hujjah Allah dan khalifah terakhir.” Jawab Imam Hasan Al-Askari as.
“Siapakah ibunya, wahai Putra Rasul?” tanya Muhamad bin Abdul Jabbar.
“Ia adalah putri dari putra kaisar Romawi. Putraku akan lahir ke dunia, kemudian ia akan mengalami kegaiban yang panjang sampai tiba waktu kemunculannya.” Jawab Imam Hasan Al-Askari as.[3]
Keluarga Imam Hasan Al-Askari as dan Sayidah Nargis sangat mengenal kedudukan dan keagungan mereka berdua. Dari keduanya akan lahir sosok yang dijanjikan. Mereka sangat menantikan kelahiran sosok yang dijanjikan tersebut.
Disebutkan dalam menggambarkan kondisi Sayidah Hakimah bahwa ia datang menghadap Imam Hasan Al-Askari as, berkali-kali ia mendoakannya dan mohon agar Allah SWT segera menganugrahkan seorang anak kepadanya.[4] Seorang anak tersebut tidak akan terlahir kecuali dari Sayidah Nargis. Dalam Sahifah Fathimah disebutkan tentang nama ibu dari Al-Mahdi afs.
“Ummuhu jaariyah, ismuha Narjis.”[5]
“Ibunya seorang budak, namanya adalah Nargis.”
Dan pada malam Nisfu Sya’ban (15) dengan proses yang penuh keajaiban lahirnya Imam Mahdi afs, di mana proses kelahirannya Sayidah Nargis dibantu oleh Sayidah Hakimah.
Wafatnya Sayidah Nargis
Setelah Syahid Imam Hasan Al-Askari as, penguasa menangkap Sayidah Nargis dan menahannya dengan ketat dan penuh kesulitan selama dua tahun, kemudian dilepaskan karena penguasa menghadapi berbagai pemberontakan. Setelah lepas dari tahanan penguasa, Sayidah Nargis untuk beberapa waktu menetap di kediaman Hasan bin Jakfar, juru tulis Nubakhti. Beliau karena kemuliaan dan keagungannya menjadi rujukan pecinta Ahlulbait as. Beliau juga berusaha menjawab dan menyelesaikan berbagai permasalahan pecinta Ahlulbait as. Tentu hal ini sangat tidak disukai oleh penguasa yang menyebabkan beliau dijauhkan dari para pecinta Ahlulbait as dan ditahan kembali oleh penguasa hingga beliau wafat pada masa Mu’tamad Abbasi. Pusara Sayidah Nargis berdampingan dengan pusara Imam Hasan Al-Askari, Imam Ali Al-Hadi dan Sayidah Hakimah di Samara.[6]
[1] Ibid, hal 629
[2] Kamaludin, jil 2, hal 426; Biharul Anwar, jil 51, hal 11; Tim Peneliti Baqirul-Ulum, Banwane Nemune, hal.628.
[3] Kasyful Haq, hal. 15; Mustadrak Wasail, jil 12, hal 280; Tim Peneliti Baqirul-Ulum, Banwane Nemune, hal.632.
[4] Biharul Anwar, jil 51, hal 24; Hilyatul Abrar, jil 2, hal 529; ibid.
[5] Kamaludin, jil 1, hal 307; Tim Peneliti Baqirul-Ulum, Banwane Nemune, hal.633.
[6] Fashlname; Banwane Syi’a, hal. 160