Kepemimpinan: Antara Konsep dan Praktik
Huru-hara yang terjadi di Tanah Air tentang kasus kepemimpinan, membuahkan polemik panjang tentang wacana kepemimpinan dalam Islam. Selain karena faktor murni politis, juga dikarenakan kerancuan konsep kepemimpinan dalam mazhab Islam yang mereka anut. Lagi-lagi agama dijadikan kedok, bahkan ayat Al-Qur’an diperjualbelikan untuk mencari keuntungan politik.
Sebagai muslim yang mengakui argumentasi Al-Qur’an, semuanya harus dikembalikan kepada Al-Qur’an, sebagai sumber otentik yang sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin. Tentu dengan penafsiran yang bersifat rasional, sesuai kaidah-kaidah tafsir yang ada.
Berdasarkan fitrah, tidak seorangpun dari muslim yang tidak menginginkan pemimpinnya –mutlak pemimpin- adalah orang yang ideal; memiliki kapasitas, kapabilitas, kredibilitas dan tentunya, ia seorang muslim (beragama Islam). Hanya saja, ketika hal itu belum dapat ditemui, apakah pemimpin non-muslim pun dapat diterima? Ini yang akan dibahas dalam tulisan ringkas ini.
Jika kembali kita amati, betapa Al-Qur’an dalam penggunaan kata ‘wali’ seringnya diartikan sebagai ‘pemimpin muslim yang ideal’. Kenapa? Karena berkaitan dengan ‘kepemimpinan umat’ secara luas, yang mampu menjamin kebahagiaan dan keselamatan abadi, dunia dan akherat. Oleh karena itu, dalam surat Al-Maidah ayat 55 disebutkan, “Sesungguhnya Wali kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, (yaitu) yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk (ruku’ kepada Allah)”.
Semua sepakat, bahwa asbabun-nuzul ayat ini tertuju kepada sosok pribadi agung seperti Ali bin Abi Thalib KW, di mana kita mengetahui bahwa Ali bukan sekedar ‘pemimpin biasa’ (administratif), namun sebagai ‘pemimpin umat’ (khalifah Rasul SAW). Bagaimana mungkin apa yang terdapat dalam ayat 51 pun dihukumi sama dalam ketentuan hukumnya? Sehingga dari sini kita harus membedakan antara dua bentuk kepemimpinan; ‘kepemimpinan umat’ dan ‘kepemimpinan administrasi’.
Al-Qur’an dan ‘Kepemimpinan Umat’
Dalam banyak ayat Al-Quran dengan tegas menyatakan pelarangan untuk menjadikan seorang muslim fasik sebagai pemimpin, apalagi seorang kafir (baca: non-muslim). Sebagai contoh, apa yang telah disinggung dalam ayat 23 dari surat Al-Mumtahanah, di mana Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian jadikan bapak-bapak kalian, dan saudara-saudara kalian sebagai Wali jika mereka lebih menyukai kekufuran daripada keimanan. Barangsiapa diantara kalian yang menjadikan mereka sebagai Wali maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Dalam ayat tersebut dengan jelas menyatakan bahwa seorang Wali tidak boleh orang yang lebih cenderung mendahulukan ‘kekafiran’ daripada ‘keimanan’. Di mana dalam bahasa agama kita orang tersebut disebut ‘Fasik’, yaitu orang yang tidak memprioritaskan hukum Allah SWT, bahkan meremehkannya. Jika dalam menjadikan Wali kita dilarang memilih orang ‘fasik’, apalagi orang ‘kafir’. Karena kedua kelompok manusia tersebut –muslim fasik & kafir- dikategorikan sebagai ‘musuh Allah’. Hal itu dikarenakan mereka tidak berhukum dengan hukum Allah, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai ‘pemimpin umat’. Ini yang dinyatakan dalam surat Al-Mumtahanah ayat 1, dimana Allah Swt berfirman, “Wahai orang-orang beriman! Janganlah kalian menjadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai Wali sehingga kalian sampaikan kepada mereka (berbagai berita) karena kasih sayang (kalian terhadap mereka), padahal mereka telah ingkar kepada kebenaran yang disampaikan kepada kalian…”
Jadi jelaslah bahwa Islam dalam masalah penentuan pribadi yang layak menduduki sebagai ‘pemimpin umat’ sangat selektif. Hanya berbekal ‘penganut Islam’ saja tidaklah cukup untuk menjadi pemimpin umat, apalagi yang jelas-jelas non-muslim. Hanya orang-orang seperti Rosulullah SAW, Ali bin Abi Thalib KW, ataupun pribadi yang memenuhi kriteria ‘mirip’ Rosulullah SAW dan Ali bin Abi Thalib KW saja yang dapat menduduki kedudukan sakral tersebut.
Islam dan ‘Kepemimpinan Administratif’
Yang dimaksud dengan ‘pemimpin administratif’ disini adalah, sebagai “penanggungjawab dan koordinator sebuah lembaga”, baik berupa administrasi kemasyarakatan dari tingkat RT sampai ke atas, perusahaan, organisasi, atau selainnya yang tidak ada kaitannya dengan ‘keselamatan dan kebahagiaan abadi’. Ini merupakan ‘kepemimpinan umum’ (yang dipahami masyarakat awam), berbeda dengan ‘kepemimpinan umat’ (khalifah).
Dalam konsep kepemimpinan umum/administratif ini, seorang pemimpin ‘tidak wajib’ memiliki kriteria seselektif dalam ‘kepemimpinan umat” (khalifah Rasul). Dikarenakan ranahnya berbeda, maka kriteria dan tuntutannya pun berbeda. Hanya saja, ada satu tuntutan dan kriteria yang sama, yaitu harus bersikap ‘adil’. Kata ‘adil’ merupakan kata kuncinya. Pemimpin apapun –pemimpin umat ataupun administratif- harus bersikap adil. Ini yang disinggung dalam ayat 58 surat An-Nisa’: “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan jika kalian menetapkan hukum diantara manusia hendaknya kalian menetapkannya dengan adil…”
Sisi Kesamaan dan Perbedaan ‘Pemimpin Umat’ dan ‘Pemimpin Administratif’
Sebagaimana yang sudah disinggung, ‘pemimpin umat’ memiliki kriteria yang cukup ketat. Karena tugasnya juga cukup berat, yaitu menjamin keselamatan umat secara abadi, maka kepastian dan ketegasan dalam penerapan kriteria sangat dibutuhkan. Untuk itu, kriteria hanya yang bisa diambil dari Allah secara langsung melalui wahyu, ataupun pribadi-pribadi yang memiliki hubungan langsung dengan Allah saja. Tidak ada istilah ‘musyawarah untuk mencapai mufakat’ dalam hal ‘kepemimpinan umat’. Karena firman Allah, “…Janji-Ku tiada mengenai orang-orang pendzalim” (QS Al-Baqarah: 124)
Berbeda dengan kasus ‘kepemimpinan administrasi’ yang dikarenakan tugas dan tanggunjawabnya tidak terlalu berat, hanya mengatur administrasi masyarakat saja, maka kriterianya pun tidak terlalu ketat, sesuai dengan ‘hukum kesepakatan’ yang berlaku. Adapun masalah prosedur dan teknis pemilihannya kembali ke ayat; “adapun terkait perkara mereka maka musyawarahkan diantara mereka” (QS As-Syura: 38). Sehingga terkait siapa yang terpilih, tergantung hasil PEMILU yang menjadi bagian dari ‘kesepakatan’ diantara masyarakat. Apakah masyarakat menghendaki pemimpin muslim yang adil, muslim yang fasik, kafir yang adil, ataupun kafir yang dzalim, semua itu tergantung kesepakatan hasil PEMILU antar masyarakat. Yang jelas, siapa memilih siapa, masing-masing memiliki konsekuensi masing-masing.
Dari sini jelaslah sudah bahwa menuntut ‘pemimpin administrasi’ wajib beragama Islam dengan menggunakan ayat 51 surat Al-Maidah, tidak tepat, apalagi di negara yang tidak berlandas ‘syariat Islam’ seperti Indonesia. Secara umum, pemilihan ‘pemimpin administratif’ di negeri yang berdiri diatas “4 Pilar Kebangsaan” ini harus sesuai dengan perundang-undangan yang telah disepakati & diberlakukan yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.
(Mukhtar Luthfi.MA)