Kesucian Ahlulkitab
Pengertian kâfir” dalam fikih adalah orang yang dipandang non muslim oleh seorang faqih -berdasarkan sumber-sumber dan prinsip-prinsip hukum Islam. Ia menjadi kafir dikarenakan faktor-faktor yang menyebabkannya demikian, dan kemudian membawa konsekuensi-konsekuensi hukum bagi seorang muslim di dalam kehidupan dan keberagamaannya.
Sebagai mukadimah, ingin penulis ketengahkan beberapa prinsip umum sebagai berikut:
1-Siapapun yang memenuhi syarat taklif (balig, akal dan mampu), yang disebut mukallaf oleh syariat Islam, dikenai tugas-tugas keagamaan. Shalat fardhu misalnya, pada hakikatnya tak hanya berlaku bagi yang muslim saja, bahwa perintah shalat, puasa dan taklif syari lainnya adalah ditujukan kepada setiap orang dari umat ini. Hanya saja dalam pelaksanaan syariat tersebut, kemusliman menjadi syarat utama bagi mukallaf.
2-Di dalam Islam terdapat hak-hak yang dimiliki oleh setiap orang, baik yang muslim maupun yang non muslim. Salah satunya adalah hak karâmah, sebagaimana firman Allah: وَ لَقَدْ كَرَّمْنا بَني آدَمَ وَ حَمَلْناهُمْ فِي الْبَرِّ وَ الْبَحْرِ وَ رَزَقْناهُمْ مِنَ الطَّيِّباتِ وَ فَضَّلْناهُمْ عَلى كَثيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنا تَفْضيلاً
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami utamakan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS: al-Isra 70)
Ia sebagai manusia atau anak Adam tanpa melihat agamanya- memiliki hak untuk dihormati dan dimuliakan oleh sesamanya, dan hak-hak universal lainnya.
3-Kendati di satu sisi semua manusia memiliki persamaan hak, di sisi lain Islam membedakan antara pemeluknya dan yang bukan pemeluknya, sebagaimana ajaran agama lainnya juga memandang demikian. Yakni, yang muslim di posisinya dan yang non muslim di posisinya yang lain. Dengan kata lain, Islam -agama rahmatan lil alamin yang berprinsip keadilan- terkadang menempatkan seorang muslim di posisi yang sama dan terkadang di posisi yang berbeda dengan yang non muslim.
Penyebab Kekafiran
Diterangkan dalam kitab Tahiri al-Wasilah karya Imam Khomeini, di pembahasan najâsah, mengenai sejumlah faktor yang menempatkan seseorang di posisi sebagai orang kafir. Mungkin dapat diringkas menjadi dua sebab:
Pertama, karena ia menganut (agama lain) selain Islam.
Kedua, bukan dikarenakan itu, tetapi dikarenakan tindakan-tindakan yang melawan prinsip-prinsip ajaran Islam, antara lain:
1-Telah mengingkari satu di antara dharuriyatiddin (perkara-perkara yang diketahui dengan jelas dalam agama), yang bila hal ini meniscayakan pengingkaran terhadap risalah Islam.
2-Telah mendustakan Nabi saw.
3-Telah merendahkan syariat Islam yang suci.
4-Telah keluar dari dirinya berupa ucapan atau perbuatan yang membawa kekufuran.
5-Telah bertindak ghuluw (melampaui batas prinsip-prinsip akidah, seperti menuhankan orang suci,-penerj), yang keghuluwannya ini meniscayakan pengingkaran terhadap ketuhanan atau ketauhidan Allah swt atau kenabian rasul-Nya.
Dampak Hukum dari Kekafiran
Kekafiran seseorang dikarenakan faktor-faktor tersebut, membawa konsekuensi atau dampak-dampak hukum syari, baik bagi seorang muslim maupun bagi orang itu. Di sini yang dapat disampaikan sebagai contoh di antaranya, yaitu kenajisan orang itu dalam kaitannya dengan pelaksanaan ibadah yang bersyarat thaharah bagi seorang muslim. Ia dipandang najis berdasarkan nash, di antaranya firman Allah:
Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. (QS: at-Taubah 28)
Pensyarah kitab Tahrir al-Wasilah dalam kitabnya, Tafshil asy-Syariah, mengungkapkan bahwa: “Mayoritas Ahlussunnah tidak memandang orang kafir itu najis, melainkan segelintir dari mereka seperti Fakhru Razi. Ia menukil dari Sohibul Kasyaf dari Ibnu Abbas bahwa kaum kafir itu najis.
Ia pun menukil kesepakatan fuqaha atas ketidak najisan mereka. Lalu mengatakan: “Yang tampak dari Alquran menunjukkan bahwa mereka itu najis. Takkan ditarik (klaim ini) darinya kecuali dengan dalil munfashil (yang terpisah), dan tak mungkin ada klaim ijma di dalamnya. Karena jelas terjadi perbedaan mengenai hal itu. (Tafsir al-Kabir 16/21)
Pensyarah kemudian menjelaskan adanya perbedaan terkait dengan kata نجس” dalam ayat tersebut, apakah yang dimaksud adalah najis (jim kasrah) ataukah adalah najas (jim fathah)? Namun untuk menghemat tempat di sini, langsung pada pandangannya yang secara ringkas bahwa kalau yang pertama, dalam pandangan urf (opini umum) bermakna najâsah lahiriah. Yakni ayat tersebut menunjukkan bahwa kaum musyrik najis secara zhahir saja, dan tidak menunjukkan najis lahir dan batin.
Di sini muncul pertanyaan, bagaimana dengan Ahlulkitab (kaum penganut agama Nasrani dan Yahudi)? Mereka yang notabene dalam pandangan Islam adalah kaum kafir, adakah dampak hukum tersebut (yakni, kenajisan lahiriah) dari kekafiran mereka itu?
Dapat dirujuk kitab-kitab risalah amaliah, seperti kitab “al-Istiftaat” yang memuat fatwa-fatwa Ayatullah Imam Khamenei, beliau mengatakan bahwa kenajisan mereka tidak diketahui. Bahkan menurut pendapatnya, mereka itu pada aslinya tidaklah najis.
Pengertian Ahlulkitab menurut beliau, ialah setiap orang yang menganut agama Tuhan dan menganggap dirinya bagian dari umat salah satu nabi Allah, dan mempunyai kitab samawi yang diturunkan kepada para nabi. Kemudian mengenai bagaimana berinteraksi dengan mereka, beliau mengatakan: Tidak masalah bergaul dengan mereka, dengan menjaga norma-norma dan etika Islam.”