Konsep Insan Kamil Ibn Arabi dalam Tasawuf Nusantara
“Secara umum, tasawuf tidak bisa lepas dari tokoh yang bernama Ibn Arabi. Karena beliaulah tokoh yang berpengaruh di dalam dunia tasawuf. Bahkan Muthahari dalam bukunya “Insan Kamil” menyebut Muhyiddin Arabi al Andalusi Tha’i sebagai bapak sufisme.”
Berbicara tasawuf tidak akan lengkap tanpa menyebut tokoh yang sangat kesohor satu ini, yaitu Ibn Arabi. Bak ungkapan “ada gula, ada semut”, setiap pembicaraan tentang tasawuf/’irfan atau mistik atau apapun kata yang berpadangan dengannya dimanapun dan kapanpun kayaknya kurang greget dan bak sayur tanpa garam kalau tidak menyebut nama Ibn Arabi. Bukan tanpa alasan kami membincang beliau karena tema tulisan ini adalah pembahasan tentang konsep insan kamil yang rasanya kurang pas kalau tidak menyebut nama Ibn Arabi yang memang adalah penggagas utama konsep ini.
Makalah ini tidak sedang memaksakan diri untuk bagaimana caranya memasukkan nama Ibn Arabi di dalamnya namun kami sekadar ingin membuktikan betapa pandangan tentang insan kamil yang identik dengan Ibn Arabi sedikit-banyak memengaruhi perjalanan tasawuf di nusantara. Ajaran insan kamil Ibn al-‘Arabî diulas dan diperkenalkan oleh sejumlah ulama sufi seperti Hamzah Fansûri, Syams al-Dîn al-Sumatrânî, dan yang lainnya.
“Insan Kamil” makna harfiahnya (tekstual) adalah manusia sempurna. ”Insan” berasal dari bahasa Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan manusia. ”Insan” berbeda maknanya dengan ”basyar” yang juga diterjemahkan dengan manusia. ”Insan” berarti manusia dalam pengertian manusia yang memiliki dimensi rohani, sementara basyar mengarah kepada manusia dalam pengertian jasad (biologis). Dengan demikian ”insan kamil” adalah manusia yang sempurna dalam pengertian rohani.
Tulisan ini pertama-tama akan menyebutkan biografi Ibn Arabi lalu menjelaskan pandangan beliau tentang insan kamil. Selanjutnya, kami menguraikan secara singkat teori Insan Kamil dalam Pandangan Muthahari. Dan akhirnya, kami menjelaskan pengaruh teori insan kamil dalam khazanah tasawuf nusantara dan para sufi kesohor, seperti Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai dan Nuruddin al-Raniri. Berkaitan dengan nama yang terakhir ini, kami agak kesulitan menemukan sumber yang secara gamblang mengulas pandangan beliau tentang konsep insan kamil namun tidak demikian halnya dengan dua nama yang lain.
Biografi Ibn Arabi
Bernama lengkap Abu Bakr Muhammad ibn al-‘Arabi al-Hatimi al-Tai, sufi asal Murcia, Spanyol ini lahir pada tanggal 17 Ramadhan 560 H bertepatan dengan 28 Juli 1165. Dirinya dijuluki ”Syaikh al-Akbar” (Sang Mahaguru) dan ”Muhyiddin” (Sang Penghidup Agama). Kendati tidak mendirikan tarekat populer—atau agama massa menurut istilah Fazlur Rahman—pengaruh Ibn ‘Arabi atas para sufi meluas dengan cepat, melalui murid-murid terdekatnya yang mengulas ajaran-ajaran dengan terminologi intelektual maupun filosofis (Chittick, dalam Nasr (ed.), 2003: 64)
Ayah Ibn ‘Arabi, ‘Ali, adalah pegawai Muhammad ibn Sa’id ibn Mardanisy, penguasa Murcia, Spanyol. Ketika Ibn ’Arabi berusia tujuh tahun, Murcia ditaklukkan oleh Dinasti al-Muwahiddun (al-Mohad) sehingga ’Ali membawa pergi keluarganya ke Sevilla. Di tempat itu, sekali lagi dirinya menjadi pegawai pemerintahan. Ia memiliki status sosial yang tinggi. Buktinya, salah satu adik istrinya, Yahya ibn Yughan, menjadi penguasa kota Tlemcen di Algeria. Fakta yang menarik adalah bahwa di kemudian hari, sang paman akhirnya menanggalkan segala bentuk kekuasaan dunia pada pertengahan masa pemerintahannya dan beralih menjadi seorang sufi dan zahid. Ibn ’Arabi pun menyebutkan dua orang pamannya yang menjadi sufi (Addas, 2004: 43-4)
Pada masa mudanya Ibn ‘Arabi bekerja sebagai sekretaris Gubernur Sevilla dan menikahi seorang gadis bernama Maryam, yang berasal dari sebuah keluarga berpengaruh. Pada tahun 590, Ibn ’Arabi meninggalkan Spanyol untuk mengunjungi Tunisia. Tahun 597/1200, sebuah ilham spiritual memerintahkan dirinya untuk pergi ke timur. Dua tahun kemudian, ia melakukan ibadah haji ke Mekkah dan berkenalan dengan seorang syaikh dari Isfahan yang memiliki seorang putri. Pertemuan dengan perempuan ini mengilhami Ibn ’Arabi untuk menyusun Tarjumân al-Asywâq. Di Mekkah pula ia berjumpa dengan Majd al-Din Ishaq, seorang syaikh dari Malatya, yang kelak akan mempunyai seorang putra yang menjadi murid terbesar Ibn ’Arabi, Shadr al-Din al-Qunawi (606-673/1210-1274).
Dalam perjalanan menyertai kepulangan Majd al-Din ke Malatya, Ibn ‘Arabi bermukim sementara waktu di Mosul. Di kota ini, ia ditahbiskan oleh Ibn al-Jami’, seseorang yang memperoleh kekuatan spiritual dari tangan Nabi Khidhr. Selama beberapa tahun Ibn ‘Arabi melancong dari kota ke kota di Turki, Suriah, Mesir, serta kota suci Mekkah dan Madinah. Pada tahun 608/1211-12 M, ia dikirim ke Bagdad oleh Sultan Kay Kaus I (607-616/1210-19) dari Konya dalam misi yuridis kekhalifahan, kemungkinan ditemani oleh Majd al-Din. Ibn ’Arabi memiliki hubungan baik dengan sultan ini dan mengirimnya surat-surat berisi nasihat praktis. Dia pun merupakan sahabat dari penguasa Aleppo, Malik Zhahir (582-615/1186-1218), putra Sultan Saladin (Shalah al-Din) al-Ayyubi.
Pada tahun 620/1233, Ibn ’Arabi menetap secara permanen di Damaskus, tempat sejumlah muridnya, termasuk al-Qunawi, menemaninya sampai akhir hayat. Menurut sejumlah sumber awal, ia menikah dengan janda Majd al-Din, ibu al-Qunawi. Selama periode tersebut, penguasa Damaskus dari Dinasti Ayyubiyah, Muzhaffar al-Din merupakan salah seorang muridnya. Dalam sebuah dokumen berharga yang bertahun 632/1234, Ibn ’Arabi menganugerahinya izin (ijazah) untuk mengajarkan karya-karyanya yang ditengarai berjumlah 290 buah. Ia pun menyebutkan tujuh puluh karya tersendiri dalam keilmuan tertentu, yang menunjukkan ketidaklengkapan informasi tersebut. Dari sumber tadi, jelas bahwa dalam upaya menyempurnakan studi tasawuf yang dilakukannya Ibn ’Arabi menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari pengetahuan eksoteris seperti tujuh qira’ah al-Quran, tafsir, fikih, dan, terutama, hadis (Chittick dalam Nasr, 66)
Ibn ‘Arabi wafat di Damaskus pada 16 November 1240 bertepatan tanggal 22 Rabiul Akhir 638 pada usia tujuh puluh tahun. Pencapaian spiritualnya yang luar biasa telah menyebar ke hampir seluruh Dunia Islam, dan bahkan Barat, hingga sekarang.
bersambung….
Muhammad ‘Irfani