Konstitusi Indonesia Anti Agenda Normalisasi Israel
MM-Dr. Kholid Al Walid, Ketua STAI Sadra, dalam sebuah webinar memaparkan enam gagasanya seputar kenapa Indonesia harus menolak agenda normalisasi dengan Israel.
Alasan pertama, adalah ketegasan konstitusi, sesuai pembukaan UUD RI. Alasan eksistensial, karena manusia dilarang mengekploitasi dan menindas manusia lain. Ketiga, alasan historis, karena fouding father para pendiri negara Republik Indonesia memiliki komitmen anti penjajahan. Keempat alasan teologis, rasa solidaritas anti penistaan masjid alqsa sebagai kiblat muslim dunia. Kelima, negara Israel adalah negara aparteid yang bersifat temporal. Keenam, mayoritas masyarakat Indonesia menolak penindasan Israel atas Palestina.
Pendapat Khalid ini selaras dengan pernyataan juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah yang mengatakan pihaknya tak pernah berhubungan dengan Israel sesuai dengan konstitusi Indonesia. Pemerintah Indonesia, sejauh ini, masih berpegang teguh bahwa tak ada pengakuan kedaulatan Israel jika tak ada pengakuan kedaulatan Palestina.
Upaya Israel untuk terus menormalisasi hubungan membuahkan hasil, diantaranya Uni Emirat Arab, Sudan, Maroko, Bahrain.
Mengutip berita dari CNBC, Khalid mengatakan, terdapat beberapa negara muslim yang memiliki tiga status; berdamai, normalisasi dan sedang di lobi. Turki, Yordania, Mesir statusnya berdamai. Mesir, Uni Emirat Arab, Sudan, Maroko, Bahrain statusnya normalisasi. Sementara Tunisia, Pakistan, Indonesia sedang di lobi, ujar Khalid.
Jika di hitung nilai perdagangan kedua negara antara Indonesia dan Israel mencapai US$ 146 juta (Rp 2,1 triliun) pada 2019, dengan “kemenangan” di pihak Indonesia yang mencetak surplus sebesar US$ 95,3 juta. Jika dihitung dari 2015, maka nilai perdagangan kedua negara sebenarnya melemah 7,7%.
Perdana Mentri Israel Benjamin Netanyahu pada masa Presiden Jokowi tahun 2016, pernah mengatakan akan menormalisasi hubungan dengan Indonesia. “banyak kesempatan kerja sama bilateral” kata Nentanyahu. Hanya saja sekali karena kemerdekaan Palestina belum terwujud, tawaran normalisasi itu di tolak. Menurut Kholid, Indonesia sebenarnya taat kosntitusi, menolak menormalisasi hubungan denagn Israel, namun patut disayangkan secara de facto antara Indonesia dan Israel terdapat hubungan dagang.
Sementara Musa, ketua Komite Solidaritas Palestina-Yaman berpendapat, upaya untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Israel sudah sejak orde baru. Tahun 2020 Amerika pernah menawarkan 28 trilyun untuk Indonesia, jika mau menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia. Namun semua upaya ini di tolak oleh pemerintah Indoesia. Ini harus di apresiasi ujar Musa.
Adapun alasan untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Israel akan memberi keuntungan pada Indonesia itu omong kosong, karena Mesir dan Yordania justru ekonomi dan politiknya semakin terpuruk dengan menjalin hubungan resmi dengan Israel sejak paska kolonial, tambah Musa.
Hendrajit, pembicara dari Global Future Institute (GFI), menyatakan Indonesia perlu mewaspadai Gerakan Inggris. London adalah dalang peristiwa 1965 yang melengserkan Sukarno, sementara Amerika hanya operator, PKI sebagai tarjet antara. Indonesia harus menerapkan skema nasionalisme anti kolonialisme dan globalisme untuk melawan upaya normalisasi hubungan dengan Israel. Inggris bisa merancang destabilisasi tak terduga, olehkarena itu Indonesia harus waspada segala efek domino setelahnya.
Menurut Hendrajit, kolonisasi Palestina oleh Israel bisa lestari hingga sekarang karena peran Inggris. Karena memang warisan sejak perang dunia 1 dan 2. Palestina statusnya menjadi protektorat Inggris yang di legitimasi oleh Liga Bangsa Bangsa pada masa perang dunia 1, Inggris dan Prancis menjadi pemenang perang melawan Turki Usmami dan Jerman. Sementara pada masa perang dunia ke 2, Palestina statusnya menjadi bagian dari jajahan Israel setelah Israel di didirikan secara sepihak yang di legitimasi oleh PBB.
Jika di lacak, status Palestina adalah bagian dari rentetan rapat di London, yang di hadiri Sir Mark Skyes yang mengusulkan pembagian tanah jajahan pada Inggris dan Prancis, termasuk Palestina. Operatornya di laksanakan oleh Arthur Balfour (1918) sebagai deklarator BALFOUR pada 1918, yang dua tahun kemudian diangkat menjadi menteri luar negri Inggris.
Aktor selanjutnya adalah Herbert Samuel, pada 1920 ditunjuk menjadi High Commissioner (semacam perwakilan pemerintahan Inggris) di Palestina. Samuel adalah pemain kunci di tingkat praktis dan punya jaringan luas mendirikan negara Zionisme Yahudi. Momentumnya adalah paska peristiwa Holokous yang mengakibatkan diaspora Yahudi di seluruh Eropa hijrah ke tanah Palestina yang kemudian menjadi penduduk negara Israel Raya.
Acara ini di selenggarakan oleh Ikmal pada sabtu, 30/4/2022, dalam acara webinar “Masa Depan Palestina dan Agenda Normalisasi Hubungan dengan Israel.
Dihadiri oleh para pembicara; Prof. Dr. Hossein Mottaghi (Direktur Al Mustafa University – Perwakilan Indonesia), Hendrajit (Pakar Geopolitik – Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI), dan Musa (Direktur Komite Solidaritas Palestina Yaman (KOSPY).