Kosmologi Akhlak dalam Konsep Ikhtiar dan Takdir
Oleh: Fardiana Fikria Qurany
Dalam doktrinnya, Islam mengajarkan kepada manusia bahwa alam dunia ini tidaklah kekal, dan semua manusia akan kembali pada Pencipta dan pengatur alam ini. Oleh karenanya ajaran Islam sarat akan muatan ajaran yang memberi petunjuk bagaimana manusia menjalani hidup dalam dunia yang tak kekal ini, dan sekaligus jalan yang benar sebagai syarat memperoleh perkenan kesempurnaan dan kebahagiaan dari penciptanya.
Doktrin tersebut memuat cakupan umum hakikat eksistensi dunia ini yang sedang dijalani manusia. Maksudnya, kehidupan duniawi bukanlah tujuan hakiki manusia oleh sebab ketakkekalannya. Maka demikian mestilah bukan tempat manusia menyempurna oleh sebab alam dunia yang tidak abadi bukan tempat tujuan dan karenanya tidak dapat menjadikan manusia menggapai nilai kesempurnaannya.
Diktum ilahi menegaskan “sesungguhnya kita adalah milik Allah, dan kepadanya kita akan kembali” (Q.S al Baqoroh: 156). Adalah logis belaka, bahwa Dia pemilik hakiki atas seluruh realitas, maka tak ada tujuan hakiki sebagai tempat kembali dari semua proses aktualitas kecuali keharibaanNya.
Dari segi eksistensinya, semua selainNya adalah bersifat derivatif, yakni ada sejauh bergantung padaNya. Kebergantungan padaNya adalah syarat mewujudnya sesuatu, karena Dia adalah sumber wujud itu sendiri. Dan karena nilai, signifikansi, dan relevansi sesuatu pertama kali mesti dipersyaratkan pada wujudnya, maka nilai-nilai pun tidak lain bersumber dariNya.
Kita sebut saja; manusia. Manusia sebagai suatu eksistensi memiliki potensi untuk memberi nilai bagi kehidupan semesta, namun hal itu mungkin jika manusia itu sendiri ada. Ilmu, kebijaksanaan, cinta, kemampuan dan sebagainya hanya mungkin bernilai kalau ia ada. Dan Tuhan itu satu-satunya kenyataan dan keberadaan yang hakiki, maka seluruh nilai yang mungkin karena keberadaan adalah semata bersumber dariNya. Tanpa bergantung padanya, suatu eksistensi secara niscaya akan meniada. Dan ketiadaan tak akan memberi nilai apa-apa.
Struktur kosmologi Islam menegaskan Tuhan sebagai sumber semua yang ada, maka alam dan manusia sudah pasti dalam struktur tersebut berada dalam cakupanNya. Namun, dalam konstruksi seperti ini dimana segala sesuatu adalah cakupanNya, muncul asumsi, jika begitu apapun di dunia adalah kehendakNya. Merembet tidak saja pada konsepsi penciptaan alam material tapi pada aspek alam immaterial, yakni pada manusia adalah jiwanya.
Apakah arah pikiran manusia juga bagian dari kehendaknya? Apakah kehendak manusia juga kehendaknya? Juga, apakah tindakan manusia adalah kehendakNya, dan apakah juga kebaikan dan keburukan juga kehendakNya?
Semua pertanyaan di atas terbulatkan dalam satu tema utama yang menjadi locus classicus perdebatan dalam dunia Islam, yakni Ikhtiar dan Takdir. Pada gilirannya konstruksi ini akan berimplikasi pada sistem moral yang hendak dibangun oleh manusia.
Ikhtiar menyangkut kemampuan manusia. Kemampuannya untuk memilih, melakukan sesuatu dan sebagainya. Namun yang terpenting bagi manusia adalah kemampuan memilihnya, memilih jalan hidup, jalan pikiran atau memilih tindakan apa yang akan dilakukannya. Hal ini juga terkait dengan ciri substantif dirinya. Sebagai makhluk dengan tubuh biologisnya, dengan sekian kebutuhan yang mesti dipenuhinya, manusia memiliki kehendak dan kemampuan untuk memilih apa yang mesti dikonsumsi, dipakai dan dilakukannya. Dalam kebutuhan ini manusia memiliki kesamaan dengan hewan-hewan dan sejumlah makhluk hidup lainnya.
Namun pada substansi rohaniahnya, terdapat sistem makna yang menjadikannya makhluk tertinggi dalam hierarki kosmik alam raya. Dalam sistem makna ini manusia memilih jalan pikirannya, jalan ideologisnya hingga jalan hidupnya. Dalam konstruksi inilah, pandangan dunia hingga etika menjadikan kehidupan manusia memiliki arti lebih dari sekedar materialitas-biologisnya. Tindakan-tindakan manusia tak lagi sebuah rutinitas-habitus yang bergerak linear tanpa tujuan. Namun tindakan manusia memiliki nilai sesuai landasan dan tujuannya.
Sistem etika yang menilai baik dan buruknya suatu tindakan, menegaskan sistem makna yang bekerja dalam alam pikiran dan jiwa manusia. Secara universal kebaikan adalah hal yang mesti dilakukan oleh manusia, sebaliknya keburukan adalah hal yang mesti dijauhinya. Namun apa yang menjadi dasar penilaian tersebut? tidak lain adalah pandangan dunia yang menjadi keyakinannya.
Kembali pada soal di atas, apakah kebaikan dan keburukan juga merupakan kehendak Tuhan? Jika kita menalar sedikit, Tuhan dengan kesempurnaanNya tak lagi terikat dengan konsepsi baik dan buruk. Artinya, apa yang dikehendaki oleh Tuhan bukan karena determinasi konsep baik dan buruk dimana Tuhan harus pula memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Namun tindakan Tuhan adalah sepenuhnya hakNya, bahkan tak perlu mengatakan baik dan buruk atas tindakanNya, karena sekali lagi Tuhan tidak terikat dengan sistem moral tertentu.
Namun alam, terutama manusia dengan sistes makna dalam batinnya, dan gerak menyempurna yang menjadi tujuan eksistensialnya membutuhkan moral yang mengatur tindakannya agar selaras dengan tujuan kesempurnaan berupa kebaikan, dan menghindar dari yang menghambat jalan kesempurnaan berupa keburukan. Maka sesungguhnya baik dan buruk tidak terkait dengan kehendakNya, namun pada keharusan nilai-nilai kemanusiaan yang berkaitan dengan gerak menyempurna (Mulla Sadra: Gerak Substansial).
Maka kebaikan dan keburukan sepenuhnya adalah kebutuhan bagi kesempurnaan manusia. Maka ia bagian dari yang harus diikhtiarkan oleh manusia. Tak ada takdir (kehendakNya) atas kebaikan dan keburukan manusia. Namun apa yang menjadi takdirnya adalah eksistensi itu sendiri. Sejauh kebaikan dilakukan oleh manusia maka akan meningkatkan nilai kesempurnaannya, itulah adanya dan itulah takdirNya. Sebaliknya keburukan yang dilakukan oleh manusia akan menghambatnya menuju kesempurnaannya, itulah adanya dan itulah takdirNya.
Maka etika-moral (akhlak) adalah jalan manusia meningkatkan kesempurnaannya, yang berarti cara manusia kembali pada sumber dan asalnya yang Maha Sempurna. Jalan itu pasti adanya sebagai TakdirNya, dan manusia dengan sistem makna alam pikirnya dan jiwa-hatinya yang membentuk suatu pandangan dunia adalah modal untuk berjalan dalam bingkai etik menuju kesempurnaan. Takdir Tuhan menetapkan kepastian, ikhtiar manusia menapaki jalan kesempurnaan yang digariskan oleh Tuhan.