Kritik Disertasi “Kesatuan Mistis Dalam Filsafat Illuminasi”(Bagian IV)
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dan manfaat penelitian Ahmad Asmuni adalah:
1. Untuk memperoleh gambaran lebih jelas tentang ajaran Suhrawardi yang dikenal dengan Filsafat Illuminasi (Hikmah al-Isyrâq), sumber-sumber yang mempengaruhinya, kondisi sosio-kultural, dan pemikiran yang melatarbelakanginya.
2. Untuk menjelaskan perbedaan ataupun persamaan konsep al-Isyrâq dengan al-faydh (emanasi) serta posisi Suhrawardi di antara konsep kesatuan mistis: ittihâd, hulȗl, wahdah al-wujȗd, dan wahdah al-syuhud.
3. Untuk menjelaskan konsep kesatuan mistis dan landasan ontologisnya, jenjang kesatuan mistis, dan fase-fase yang ditempuh dalam pengalaman uniter, dan memahami realitas ontologis mengenai kesatuan mistis.
4. Untuk menganalisis elastisitas penerapan pandangan Illuminasi Suhrawardi di tengah pelbagai konsep pemikiran dalam menghadapi pergumulan peradaban manusia yang senantiasa dinamis.
5. Untuk memperkaya khazanah intelektual Islam dalam aspek filsafat dan tasawuf terutama yang berbahasa Indonesia.
E. Kerangka Teori
Dalam dunia tasawuf terdapat beberapa istilah yang memiliki konotasi sama atau berdekatan makna semisal ma’rifah, ‘irfân, ittihâd, hulȗl, tauhid, wahdah al-wujȗdi, dan wahdah al-syuhȗdi, yang kesemuanya merupakan puncak dari pengalaman rohani dari seorang salik dalam menempuh dunia mistis.
Ahmad Asmuni dalam analisisnya menyampaikan pendapat Harun Nasution yang menyatakan bahwa term-term tersebut terutama itihâd, hulȗl dan tawhid, membuat kita berada pada lapangan yang kurang terang dan jelas dari ilmu tasawuf. Bagi ulama syariat dalam Islam, itihâd, hulȗl dan tawhid, dipandang sebagai hal-hal yang bertentangan dengan Islam. Semuanya menunjukkan adanya kesatuan dan persatuan antara hamba dan Tuhan.
Al-Hallâj dihukum mati karena tuduhan mempunyai faham hulȗl. Karena itu, kaum sufi yang mempunyai faham-faham tersebut karena takut akan mengalami nasib yang sama dengan al-Hallâj, menjauhi pembicaraan itihâd, hulȗl dan tawhid. Demikian pula kita jumpai pengarang-pengarang klasik tentang tasawuf seperti Abu Bakar Muhammad al-Kalabadzi (w. 380 H) dalam bukunya “Al-Ta’ârruf li Madzhâb Ahl al-Tashawwuf” dan Abu al-Qasim Abd. Al-Karim al-Qusyairi (w. 465) dalam bukunya “Al-Risâlah al-Qusyayriyyah” tidak menulis tentang hal-hal di atas.
Ahmad Asmuni juga mengemukakan pandangan pemerhati tasawuf nusantara, Kautsar Azhari Noer yang menjelaskan bahwa term kesatuan mistis terkadang juga diidentikkan dengan doktrin “tawhid” atau wahdah al-wujȗd Ibn al-‘Arabi sebagaimana digunakan oleh Farghani, Ibn Sabi’in dan Balyani.
Di samping itu, Ahmad Asmuni menegaskan bahwa terdapat prinsip lain yang senada tetapi memiliki citra yang berbeda yang dikenal sebagai wahdah al-syuhȗd (kesatuan visi). Doktrin ini dipandang sebagai suatu koreksi terhadap wahdah al-wujȗd.
Yang menarik di akhir-akhir kerangka teori yang disusunnya, Ahmad Asmuni mengutip pandangan dua tokoh terkemuka Syi’ah kontemporer, yaitu Murtadha Muthahhari dan Muhammad Taqi Mishbah Yazdi terkait dengan tauhid yang dipahami oleh seorang ‘ârif.
Ketika menggambarkan tauhid ‘urâfâ’, Muthahari mengatakan, Tauhid yang menurut pandangan ‘ârif merupakan puncak terkokoh dari kemanusiaan dan merupakan tujuan akhir dari suluk ‘ârif itu berbeda sangat jauh dengan tauhid yang diusung oleh orang-orang awam dan bahkan berbeda dengan tauhid filosof yang mengatakan bahwa Wâjibul Wujûd itu hanya satu dan tidak lebih. Tauhid ‘ârif yakni maujud hakiki itu hanya terbatas pada Allah dan selain Allah, apa pun yang ada itu hanya tajalli-Nya. Tauhid ‘ârif berarti selain Allah itu tidak ada. Tauhid ‘ârif yakni melalui jalan dan sampai kepada tahapan dimana tidak melihat selain Allah. Tahapan tauhid ini banyak dikecam oleh para penentang ‘urâfâ, bahkan tidak jarang mereka dianggap kafir dan dianggap tidak meyakini keberadaan Tuhan.
Critical Review
Pertama, pada karangka teoritis ini langkah yang ditempuh oleh Ahmad Asmuni sudah tepat. Namun menurut hemat penulis perlu ditegaskan pendekatan Hermeneutik ‘irfâni atau interpretasi sufistik yang lebih bisa menjadi penunjang penelitian ini. Sebab, meskipun tema yang diangkat adalah filsafat illuminasi namun metode ‘isyrâq yang menekankan tahdzîb dan tazkiah nafs sangat dekat dengan metode dan penafsiran ‘irfâni atau tasawuf.