Kualitas Spiritualitas Zainab Al-Kubra
Kekasih Allah (Waliyatullah)
Euis Dayati-Zainab al-Kubra adalah wanita mulia yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga mulia, Ahlulbait Nabi Saw para kekasih Ilahi. Beliau besar dalam lingkungan para urafa’ utama yang menjadi kiblat semua urafa’ yang ada. Maka bukanlah suatu hal yang mengherankan jika beliau pun akhirnya menjadi seorang arifah tangguh yang memiliki makrifat yang begitu tinggi. Sebagaimana yang telah diketahui, tujuan utama irfan adalah menyatu (fana’) dengan Sang Kekasih Sejati, pencipta alam semesta. Itulah puncak irfan yang didamba oleh setiap manusia sempurna kekasih Ilahi.
Salah satu bukti tingkatan makrifat agung yang dimiliki oleh Zainab al-Kubra adalah beliau selalu pasrah dan ikhlas terhadap apapun yang dikehendaki oleh Allah SWT, Kekasih Sejatinya. Pecinta sejati adalah pribadi yang selalu ‘sehati’ dan ‘serasa’ dengan kekasihnya, meskipun apa yang dikehendaki oleh Sang Kekasih sekilas begitu pahit, namun seorang pecinta akan rela menerima kepahitan tersebut sebagai bukti cinta kasihnya terhadap Sang Kekasih Sejati. Inilah yang dilakukan Zainab al-Kubra terhadap Kekasih Sejatinya dalam tragedi Karbala. Kendati beliau harus kehilangan imam yang dicintainya, anggota keluarga, sanak famili dan sahabat-sahabat setianya namun pada tragedi Karbala yang sangat memilukan hati itu, Zainab al-Kubra berkata, “Ya Allah, hamba bersabar atas segala ketentuan-Mu.” Sayidah Zainab menerima dengan penuh keikhlasan qadha dan qadar Allah SWT ini. [Sayyid Nuruddin Jazairi, Khashaishu Zainab, hal 75]
Berbekal makrifat yang begitu tinggi, Zainab al-Kubra yakin bahwa Sang Kekasih adalah Dzat yang Maha benar, bijak, indah dan memiliki sifat-sifat kesempurnaan lainnya. Segala sesuatu yang dirasa dan dilihat oleh beliau di alam semesta merupakan perwujudan dari sifat-sifat dan nama-nama Sang Kekasih. Semua tidak akan lepas dari Sang Kekasih karena Ia adalah maha pencipta.
Keberaturan alam yang kadang diwarnai dengan pahit dan getir kehidupan merupakan konsekuensi alam materi yang telah disifati dengan alam yang penuh gesekan (alam tazahum). Namun semua gesekan tadi meniscayakan keteraturan yang indah dan sesuai dengan hikmah Ilahi, Sang Kekasih Sejati. Oleh karena itu, ketika menyaksikan tragedi Karbala yang menyayat hati itu Zainab al-Kubra masih sempat berkata, “Tidaklah aku lihat (semua musibah ini ) melainkan sesuatu yang indah.”[ Muhammad Kazim Qazwini, Zainab al-Kubra minal Mahdi ilal Lahdi, hal 348.]
Kesyahidan Imam Husein as dengan cara yang sangat tragis itu adalah kehendak Ilahi yang selalu sesuai dengan hikmah Ilahi dan keteraturan alam semesta. Inilah perwujudan dari iman terhadap takdir Ilahi. Tentu keyakinan ini tidak akan menjerumuskan manusia kepada keyakinan determinisme (Jabriyah), sebagaimana yang telah banyak disinggung dalam kajian teology (kalam) Syiah Imamiyah. Makrifat Ilahi telah mampu menghantarkan beliau pada tingkatan manusia sempurna (insan kamil). Cinta Ilahi telah menggelora di dalam hati Zainab al-Kubra. Cinta murni yang suci dan tulus itu mampu membakar segala cinta kasih terhadap selain-Nya. Kecintaan itu telah ditukar dengan berbagai kecintaan-kecintaan lainnya. Zainab al-Kubra rela kehilangan saudara tercintanya (Abul Fadh Abbas), keponakan kesayangannya (Ali Akbar), sanak famili, kerabat dan sahabat lainnya demi keridhoaan Ilahi, Sang Kekasih Sejati.
Bukan hanya itu, beliaupun rela mengorbankan imam yang merupakan Alquran berbicara (Alquran an-Nathiq) dan sekutu Alquran yang diam (Alquran ash-Shamith) yang keduanya sangat dicintai dan ditaati beliau sebagai penerus tongkat estafet kepemimpinan Ilahi di muka bumi. Itu semua direlakan oleh Zainab al-Kubra demi keridhaan Sang Kekasih Ilahi. Oleh karena itu, setelah kesyahidan Imam Husein as beserta pasukannya yang berjumlah sangat sedikit itu dan rombongan tawanan akan diarak ke Kufah, beliau sempat berkata kepada Sang Kekasih sejatinya dengan ungkapan, “Ya Allah, terimalah persembahan ini dari kami.”[Sayyid Nuruddin Jazairi, Khashaishu Zainab, hal 227. ]
Ungkapan ini menunjukkan betapa tingginya makrifat Zainab al-Kubra dan makrifat ini telah menghantarkan beliau kepada cinta Ilahi yang mampu menghilangkan ketergantungan kepada kecintaan manapun. Dengan bekal kecintaan sejati inilah akhirnya beliau sampai pada derajat fana’ (menyatu) dengan Allah. Menyatu dalam ridha dan cinta-Nya, sehingga akhirnya beliau mendapat gelar kekasih sejati Allah (waliyatullah).
Banyak Beribadah (‘Abiidah)
Maqam penghambaan merupakan salah satu kedudukan tertinggi seorang mukmin sejati. Alquran sendiri telah menjelaskan bahwa salah satu falsafah penciptaan manusia dan jin adalah agar manusia dan jin mencapai maqam ubudiyah, “Dan tidaklah Aku ciptakan manusia dan jin melainkan untuk menyembah-Ku.”[QS. adz-Dzariyat:56]
Perwujudan penghambaan dan penyembahan Allah SWT ialah melalui ibadah, baik ibadah dalam makna khusus atau dalam makna umum. Ibadah dalam makna umum adalah melakukan segala perbuatan dengan niat karena Allah SWT. Sementara ibadah dalam arti khusus adalah melakukan ritual-ritual agama tertentu baik yang bersifat wajib maupun mustahab (sunah). Sejarah telah mencatat ibadah beliau lakukan, baik ibadah wajib maupun nafilah yang tidak pernah beliau tinggalkan meskipun dalam kondisi sulit. Bahkan pada malam Asyura beliau menghabiskan waktunya dengan shalat malam dan bermunajat kepada Kekasih Sejatinya, Allah SWT.
Ketika menggambarkan maqam ubudiyyah Zainab al-Kubra, Imam Ali Zainal Abidin as berkata, “Sesungguhnya bibiku Zainab telah mendirikan shalat wajib dan nafilahnya dalam keadaan berdiri. Namun kadang-kadang di sebagian rumah beliau lakukan dalam keadaan duduk. Ketika aku menanyakan sebabnya beliau menjawab: Aku melaksanakan shalat sambil duduk karena rasa lapar dan lemah yang amat sangat. Sebab selama tiga malam aku telah memberikan bagian makananku kepada anak-anak. Dalam sehari semalam, mereka hanya memakan sepotong roti.”[Sayyid Nuruddin Jazairi, Khashaishu Zainab, hal 120.]
Peristiwa ini terjadi ketika Zainab al-Kubra berada dalam kondisi tertawan dan diarak dari Kufah menuju menuju Syam. Teriknya matahari dan dinginnya malam telah menyiksa beliau dan rombongan tetapi beliau tidak meninggalkan shalat malamnya dalam kondisi sesulit itu.