Kunjungan Haram Oknum MUI ke Israel
Perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, dalam bahasa Inggris disebutkan ada empat kata dan istilah yang berbeda makna. Yaitu, trip, travel, journey dan tour.
Trip, biasanya digunakan untuk perjalanan ke luar kota atau luar negeri dalam waktu singkat untuk bisnis atau studi banding atau liburan. Travel, ialah pergi ke suatu tempat tanpa spesifikasi waktu, tujuan dan sebagainya. Journey merupakan perjalanan jarak jauh dan melelahkan. Tour, adalah perjalanan mengunjungi beberapa tempat, dan biasanya terkait dengan wisata.
Dalam bahasa kita juga ada beberapa kata yang bermakna perjalanan, seperti darmawisata, rekreasi, tamasya, piknik, wisata dan lainnya. Wisata yang maknanya bepergian bersama-sama dengan berbagai macam tujuan, didapati banyak digunakan dalam majemuk, seperti wisata alam, wisata budaya, wisata buru, wisata karya, wisata domestik atau nusantara dan sebagainya. Semua kata tambahan yang menjelaskan motif dan tujuan ini lebih mudah dipahami ketimbang istilah-istilah asing di atas.
Di dalam pengetahuan dan ajaran Islam, juga terdapat kata-kata yang bermakna perjalanan seperti safar, siyâhah, rihlah, sair dan lainnya, yang menjadi istilah-istilah ilmiah dalam fikih, filsafat dan irfan. Alhasil, semua pembicaraan agama dari A sampai Z adalah tentang manusia yang dikatakan sebagai makhluk multi alam. Ia memiliki sejumlah perjalanan dalam arti berpindah dari satu alam ke alam lainnya, hingga sampai pada satu titik, yaitu alam keabadian.
Di sini sebagaimana temanya terkait dengan masalah hukum syari atau fikih, perjalanan seseorang dalam arti berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, disebut safar atau siyahah. Jarak, niat dan motif di dalamnya menjadi syarat untuk disebut sebagai safar syari. Namun demikian, tempat yang dituju bisa membawa dampak yang mengubah status safarnya menjadi safar kemaksiatan.
Tempat Menjadi Penentu Hukum Safar
Di atas bumi ini, ada tempat-tempat suci seperti Haramain, al-Quds (yang harus direbut kembali dari tangan penjajah Israel) dan pusara-pusara para imam dan wali Allah, yang dianjurkan agar dikunjungi oleh setiap muslim. Selain tempat-tempat biasa yang dibolehkan menurut syariat, sebagian tempat dinilai oleh fuqaha menjadi zona larangan bagi seorang muslim, seperti daerah yang diklaim sebagai kota maksiat dan tanah yang merupakan rampasan (ghashab) atau jajahan. Contohnya, sebagian besar tanah orang-orang Palestina, negeri mereka termasuk Yerusalem, yang kini dikuasai oleh bangsa Israel setelah menumpahkan darah muslimin di sana.
Dua kategori tersebut, yakni tempat kemaksiatan dan tempat rampasan (atau jajahan), menentukan hukum safar seorang muslim. Artinya, jika tempat-tempat itu adalah alasan dia melakukan perjalanan, maka safarnya menjadi sebuah kemaksiatan, yang berarti diharamkan. Tetapi, mungkin dapat dikatakan, bahwa hubungan logis antara keduanya dalam kaitannya dengan hukum syari- adalah umum dan khusus secara mutlak. Jika diproposisikan; tidaklah semua atau sebagian tempat maksiat adalah tempat rampasan.
Sekiranya di tempat jajahan itu juga merupakan tempat maksiat, abaikan saja! Karena tempat jajahan dalam bagaimanapun, menjadi tempat maksiat atau tidak, sama saja, adalah haram.
Contoh yang pertama, seperti yang disampaikan oleh Imam Khamenei di ruang kajian fikihnya, yang dimuat di situs www.dana.ir, dengan tema Hukme Rahbari darbare-e Safar be Antalya, beliau menyebut kota Antalya di Turki, sebagai kota maksiat. Sebagai tempat yang identik dengan kemaksiatan, maka safar seseorang ke sana, hukumnya batil. Beliau pun menyeru divisi kebudayaan dan undang-undang pendidikan, hendaknya dicegah adanya propaganda wisata haram ini.
Contoh yang kedua, seperti yang terjadi dan ramai diberitakan di media-media belakangan ini, yaitu kunjungan seorang anggota MUI dan rombongannya ke Israel pada 18/01/17- dan pertemuan dia dengan presiden Reuven Rivlin, yang menuai berbagai respon seperti mengecam, mempertanyakan, minta tak dibesar-besarkan, mengapresiasi dan sebagainya. Kemudian dikatakan, bahwa kunjungan itu tanpa sepengetahuan lembaganya, disesalkan dan dia akan dipanggil.
Terlepas dari atas nama pribadi atau dalam kapasitas sebagai perwakilan lembaganya, dan apapun yang disampaikan oleh media-media itu, termasuk pengakuan dari yang bersangkutan sendiri bahwa kunjungannya itu di luar kesengajaannya, kunjungan ke Yerusalem, tanah Palestina yang dijajah oleh bangsa Israel, adalah haram.
Anjuran Bepergian Jauh
Safar atau bepergian atau mengadakan perjalanan jauh, merupakan sebuah tindakan yang berarti tak lepas dari hukum dan penilaian agama. Ia sendiri dianjurkan oleh Islam untuk tujuan-tujuan yang bermanfaat, seperti:
1-Mengambil ibrah dari umat-umat terdahulu yang dibinasakan karena kekafiran mereka (QS: Muhammad 10).
2-Tafakkur tentang ciptaan-ciptaan Allah (QS: al-Ankabut 20).
3-Berniaga dan mencari nafkah (QS: al-Mulk 15).
4-Menuntut ilmu (QS: at-Taubah 122).
Andaipun motifnya bukan tujuan-tujuan mulia tersebut, tetapi misalnya di bulan Ramadan yang di dalamnya kita wajib puasa, seseorang sengaja pergi ke luar kota untuk menghindari puasa, hal ini kendati makruh- selama safarnya bukan untuk hal yang diharamkan atau kemaksiatan, maka tak dilarang, dan berlaku dampak-dampak hukum darinya, seperti mengqashar shalatnya yang empat rakaat, dan puasanya harus diqadha di luar bulan Ramadan.