Manusia: Individual dan Sosial
Manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon) yang tidak bisa menggapai kesempurnaan idealnya kecuali dengan bantuan manusia lain. Dalam islam hubungan itu lebih dalam dan lebih luas lagi bahwa yang lain itu adalah dirinya sendiri. Yang lain adalah cermin (mir’at) bagi dirinya. Apa yang terlihat dari yang lain itu adalah dirinya sendiri dan apa yang ada dalam dirinya, baik kebaikan atau keburukan akan terefleksi pada yang lain. Ketika ia menyukai,menghormati, mengasihi, menolong, memberikan harta, tenaga dan ilmu kepada yang lain pada hakikatnya ia memberikan kepada dirinya sendiri.
Dan jika ia tidak peduli kepada yang, tidak memberikan perhatian kepada tetangga, kepada keluarga, kepada masyarakat yang lain, ia sebetulnya sedang menyiksa dirinya. Jika ia tidak merasa sakit berarti ia sudah mengalami kematian sosial. Seorang mayat tidak akan mengalami rasa apapun, dan tidak akan merasakan sakit apapun jika digerogoti berbagai penyakit.
Jadi dalam Islam (esoteris islam), individu muslim yang tidak merasa bersalah, yang cuek, dengan berbagai persoalan masyarakatnya bahkan yang lebih buruk lagi ia justeru merasa terganggu atau muak dengan kesulitan-kesulitan orang lain di sekitarnya itu tidak berbeda dengan mayat.
Ada dua penjelasan yagn menjadi argumen mengapa individu-individu itu adalah satu kesatuan dari satu sisi dan juga hal yang distingtif dari sisi lain. Pertama argumentasi yang diajukan oleh Muhammad Bagir Shadr. Menurutnya jika kapitalisme menganut aslat syakhsi (individualism) dan komunisme menganut asalat ijtima’iyyha (sosialisme), Islam mengembangkan kedua asalat. Dari satu sisi Islam memberikan tempat kepada individu untuk mandiri, memiliki hak individu, memiliki hak ikhtiyar dan memberikan tempat kepada kreatifitasnya dan berhak mendapatkan keistimewaan dan menghargai setiap ide, karya dan segala aktivitasnya. Individu berhak memiliki hak apapun kekayaan, kedudukan, penghormatan karena prestasi-prestasinya. Dan juga mengapresiasi hak komunitas yaitu karakter sosial yang tumbuh dari kebersamaan, gotong royong, modal sosial, cita-cita bersama dan aktifitas saling mendukung, saling menolong, saling membantu. Individu insan dari aspek kedua ini adalah satu kesatuan dengan yang lain. Ia harus melebur dalam kebaikan bersama, menolong yang lain, peduli dan menderita dengan penderitaan yang lain dan bahagia dengan kebahagiaan orang lain.
Argumentasi kedua yaitu yang ditawarkan oleh narasi-narasi hadis. Diantaranya tentang ruh-ruh kita dahulu pra keberadaan adalah satu kesatuan, yang akrab akan terus akrab di dunia dan yang tidak bisa menyatu akan selalu berjauhan. Adakalanya seseorang menjadi mudah menyatu, bergaul dengan yang lain, seperti ada chemistri yang merekatkan psikogolisnya namun adalanya seseorang begitu susah untuk menyatu dan dekat, akrab dengan seseorang meskipun berdekatan secara fisik. Tapi itu tidak menghalangi dirinya untuk terus berbuat baik. Bisa aja itu adalah dark side (aspek negatif ) dari dirinya yagn harus dibersihkan egonya lewat penyucian ego, ia akan bergabung dengan ego yang lebih besar.
Individu dan masyarakat adalah entitas yang berbeda tapi satu sama lain saling mempengaruhi. Karena pengaruh inilah maka setiap orang kadang-kadang terinspirasi dengan berbagai gagasan, keyakinan, dan tradisi. Identitas sosial itu bukan ilusi yang terbentuk dari individu-individu. Identitas sendiri memang tidak kasat mata sebab itu adalah abstraksi dari himpunan individu.
Identitas sosial ini lahir dari individu-individu, Identitas sosial ini kemudian pada gilirannya berpengaruh pada identitas individu-individu. Setiap individu merasa bahwa identitas sosial itu merupakan identitas dirinya. Ia bisa sharing dengan dengan sebagian besar individu yang merasa memiliki identitas baru. Sebagian individu sangat istimewa sehingga mewarnai masyarakatnya. Identitas sosial lebur dalam dirinya. Ia mentransformasi secara total masyarakatnya.
Fenomena seperti ini yang mengukuhkan asalat individu dan asalat sosial yang juga mendapatkan afirmasi dari al-Quran. Al-quran menganggap individu memiliki tanggung jawab secara hakiki. “Setiap jiwa tergadai dengan apa yang dilakukannya.” Setiap insan akan mendapatkan sesuai dengan apa yang telah diusahakannya.”
“Siapa yang mendapatkan petunjuk maka ia akan mendapatkan petunjuk untuk dirinya dan siapa yang tersesat maka ia tersesat untuk dirinya. “
Di ayat lain, Al-Quran menganggap umat itu memiliki ajal tertentu. “Yaitu umat yang telah lewat akan mendapatkan apa yang telah diusahakannya dan kalian akan mendapatkan apa yang telah kalian lakukan. Setiap umat memiliki ajalnya dan jika telah datang ajalnya maka tidak bisa diundurkan waktunya dan tidak bisa didahulukan.”
Identitas bersama masyarakat itu tercipta bukan hasil paksaan tapi kerelaan masing-masing. Setiap individu memiliki kebebasan untuk tetap bertahan dengan identitas lama atau melawan keluar. Al-Quran mengafirmasinya :” Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kalian menjaga diri kalian dan tidak ada yang dapat menyesatkan kalian jika kalian mendapatkan petunjuk. “