Masukanya Islam dan Budaya Syiah di Nusantara (1)
MM-Sejak kapan Syiah masuk Indonesia ?. Pertanyaan ini biasanya dijawab dengan memaparkan fakta-fakta budaya yang berkelindan dengan sejarah, perdagangan, politik dan teologi syiah. Artikel ini akan memaparkan pendapat para pakar sejauh bukti-bukti yang mereka temukan.
Ignaty Yulianovich Krachkovsky (1883-1951) seorang berkebangsaan Uni Soviet, sarjana terkenal dari Rusia percaya bahwa pada abad pertama Islam, Muslim (Persia) telah memiliki hubungan perdagangan dengan pelabuhan Kanton di Cina sejak periode Sassanid. Orang-orang Persia telah lalu lalang dalam hubungan perdagangan dengan Asia Timur, termasuk India, Cina dan kepulauan Indonesia. Hasil interaksi inilah kemudian terjadi pertukaran budaya. Salah satu bentuk budaya dari Persia kuna yang masuk wilayah Indonesia adalah tradisi Muharram. (Iqbal ;xvi).
Berdasarkan pada bukti-bukti sejarah, para sejarawan lokal berpendapat secara lebih spesifik bahwa masuknya Islam di nusantara berpaham Islam syiah. Seperti A. Hasymi, menurutnya muslim Syi’ah sudah masuk ke Indonesia sejak masa awal masuknya Islam di Indonesia yaitu 1 Muharram 225 H/840 M. Sebuah kapal layar yang datang dari teluk Kambay Gujarat yang membawa angkatan dakwah berjumlah 100 orang kebanyakan tokoh Syi’ah Arab, Persia dan Hindi di bawah pimpinan Nakhoda Khalifah berlabuh di Bandar Perlak Aceh. (A. Hasymy; hlm 6-8).
Sementara menurut Aboebakar Atjeh, Islam yang pertama kali masuk ke Nusantara adalah Islam Syi’ah. (Aboebakar Atjeh,1977, hlm. 27). Aboebakar menyatakan pendapatnya dalam seminar yang diselenggarakan di Medan pada tahun 1963. Dia mengatakan, Pertama, Islam pertama kali masuk ke Indonesia melalui Atjeh. Kedua, para penyiar agama Islam pertama di Indonesia tidak hanya terdiri dari saudagar India dari Gujarat, melainkan juga dari penyiar penyiar Islam dari bangsa Arab. Ketiga, mazhab yang pertama dianut oleh masyarakat Atjeh adalah Syi’ah dan Syafi’i. (Aboebakar Atjeh,1985), hlm. 43)
Syi’ah sudah masuk ke Indonesia sejak masa awal masuknya Islam ke Indonesia melalui para penyebar Islam awal, yaitu melalui orang-orang Persia yang tinggal di Gujarat dan Aceh menjadi wilayah pertama kedatangan Syi’ah di Indonesia. Pada tahun 173 H atau 800 M sebuah kapal dagang tiba di Bandar Peurlak dari teluk Kambey (Gujarat) yang membawa 100 orang muslim terdiri dari bangsa Arab, Persia dan India dipimpin oleh Nakhoda Khalifah semuanya orang-orang Syi’ah. (M.Yunus Jamil, Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh………, hlm. 6-8.)
Raja pertama kerajaan Samudra Pasai yang terletak di Aceh, Marah Silu adalah memeluk Islam versi Syi’ah dengan gelar Malikul as-Saleh, tetapi kemudian pada masa Sultan Iskandar Tsani kekuasaan dipegang oleh Ulama Sunni.
Senada dengan Aboebakar dan Hasymi, menurut Hamzah Alwi al-Habsyi, Syi’ah masuk ke Indonesia bersamaan dengan kedatangan Islam pertama ke Indonesia. Merujuk pada bukti sejarah batu nisan makam Maulana Malik Ibrahim di Gersik. Terdapat tanda-tanda Syi’ah, yaitu tulisan ayat kursi yang disertai nama Nabi dan sahabat Ali, berbeda dengan makam para Wali yang biasanya hanya bertuliskan empat nama sahabat saja. Mohd. (Harun dan Azmul Fahimi Kamaruzzaman, 2011, hlm. 310-311).
Profesor Azmi, sejarawan Indonesia berpendapat tentang kemiripan suku di Iran dan Indonesia. Seperti suku Jawani (Jawi=Jawani) pada masa pemerintahan Jawani Al-Kurdi yang memerintah di Iran, tinggal di wilayah Sumatera Utara (Pasai) dan menyusun aksara Jawa (Khat Jawi). Suku Lor (Leren = Ler) pada era pemerintahan Kerajaan Persia, Nasruddin Bin Badr pada tahun 300 H (912 M). (Azad; hlm. 117-144).
Muslim Syiah pada masa pemerintahan Rokn Al-Daulah Ibn Hassan Ibn Buyeh Al-Dailami sekitar 359 H (969 M) tinggal di Sumatera Timur dan mendirikan desa mereka di kawasan tersebut yang diberi nama Siak, yang kemudian berganti nama menjadi Nagari Siak dan terakhir menjadi Siak Indra Pura. Suku Ramai yang tinggal di Timur Laut Sumatera. Para penulis Arab abad kesepuluh dan sebelas (X/M – IX/M) menyebut Pulau Sumatera dengan nama Rumi, Al-Rumi, Al-Rumani dan Lamberi. Dia juga menyebutkan suku-suku Iran lainnya seperti Saban Karah dan Ashraf, seperti Haji Sharaf bin Ziauddin. (Azad; hlm. 117-144).
Menurut Uka Tjandrasasmita, sejarawan Indonesia berpendapat, hubungan maritim dan perdagangan antara Indonesia dan Timur Tengah, khususnya antara Iran dan Indonesia, sangat kuat sejak abad ketujuh hingga ketujuh belas sangat berpengaruh besar pada kebudayaan Indonesia. (Uka Tjandrasasmita, Hubungan Perdagangan Indonesia – Persia (Iran) Pada Masa Lampau, Jurnal Pemikiran Islam – Desember 2000, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta).
Berbasis pada fakta budaya dan sastra, pada awal masuknya Islam, Syi’ah sangat berperan dalam membentuk kebudayaan muslim di Aceh. Bukti didasarkan pada peninggalan Syi’ah yang masih ada sampai saat ini, baik berupa bahasa, sastra, kebiasaan, budaya dan eksistenasi kerajaan Islam.
Banyak karya-karya sastra Hamzah Fansuri terpengaruh oleh tradisi Syi’ah Persia. Di antaranya Syair Dagang, Syair Perahu, Syair Sidang Fakir, dan Syair Burung Pingai. Sedangkan, karya prosanya yang selamat, antara lain Syarab al-‘Asyikin, Asrar al-‘Arifin, dan al-Muntahl.
Hamzah Fansuri adalah sufi terhebat, penyair pertama dan bapak bahasa Melayu. Dia memahami bahasa Persia dengan baik. Karyanya seperti Asrar al-Arifin, Sharabul-Ashiqin, Al-Muntahi, dan Rubaiyat mengandung pemikiran para cendekiawan dan sufi seperti Hallaj, Mohammad Ghazali, Al-Jalili dan pengaruh syair berbagai penyair seperti Attar, Mohammad Shabestari, Jami, Mohammad Shirin Maghrebi, Jalaluddin Rumi, Saadi, Ibrahim Eraghi, Hafez Shirazi, Abdul Qader Gilani dan Omid Khosrow Dehlavi, Umar Kayam
Pengaruh Syi’ah yang paling signifikan dalam sastra Indonesia dapat dilihat di pusat-pusat ilmu pengetahuan dan sastra ternama kawasan ini seperti Samudra Pasai, Malaka, Johor, Aceh, Riau, Petani, Demak, Cirebon, Banten dan kota-kota terkenal lainnya.
Pengaruh bahasa Persia dalam bentuk syair Ghazal, Masnavi, Ruba’i, Nazm, Qosidah dan kisah- kisah Rasulullah dan Ahlulbait yang merupakan sastra Syi’ah. Terlihat jelas dalam kisah-kisah sehari-hari rakyat dimana kebanyakan dari bahasa Persia dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Buku-buku bersejarah di Indonesia seperti Hikayat Raja-Raja Pase, Sejarah Melayu, Hikayat Aceh dan buku Kanun Malaka, mendapatkan inspirasi dari buku-buku Syi’ah.
Buku Taj Al-Salatin Bukhari Al-Jauhari, Bostan Al-Sultan, Nawala Din Al-Raniri adalah beberapa contoh buku yang mendapatkan inspirasi dan pengaruh langsung dari bahasa dan sastra Persia.
Buku-buku cerita sehari-hari masyarakat seperti Eskandar Nameh, Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Muhammad Hanafiah telah sepenuhnya diterjemahkan dari bahasa Persia ke dalam bahasa Indonesia. Karya-karya ini menunjukkan interaksi yang kuat antara sastra Persia dengan sastra Indonesia.