Membedah dan Mendedah Keabsahan Kesaksian Mistik Dalam Pandangan Alquran dan Sunnah (1)
Dalam al-Quràn terdapat banyak ayat yang menjelaskan jenis makrifat yang tidak diperoleh melalui pelajaran, kajian dan telaah atau pemikiran dan perenungan filosifis. Tidak juga melalui penyaksian dan eksperimen. Tetapi makrifat tersebut dicapai melalui pengamalan syariat dan sair wa suluk (perjalanan spiritual) kepada Allah swt serta tawajuh (totalitas) pada alam kudus. Makrifat inilah yang bergantung pada Allah dan sifat-sifat tertinggi serta nama-nama terbaik (asmaùl husna)-Nya, yang pada hakikatnya, merupakan tujuan penciptaan manusia dan puncak kesempurnaan insani.
Allamah Thabathabaì mengatakan: “Al-Quràn memberikan penjelasan yang indah bahwa semua makrifat hakiki bersumber dari tauhid dan mengenal Allah (makrifatullah) yang hakiki. Kesempurnaan makrifatulllah adalah milik hamba-hamba yang Allah khususkan. Ialah mereka memisahkan diri dari segala sesuatu dan melupakannya (selain Allah). Keikhlasan dan ubudiyah (penghambaan mereka kepada Allah) memusatkan semua daya yang mereka miliki ke alam yang tinggi, dan menjadikan penglihatan pada cahaya Allah lebih terang. Dengan penglihatan yang nyata, mereka melihat di antara hakikat segala sesuatu dan malakut langit dan bumi. Sebab, berkat keikhlasan dan ubudiyah mereka sampai pada yaqin, dan berkat yaqin tersingkap bagi mereka malakut langit dan bumi serta kehidupan abadi akhirat. .
Di kesempatan lain ia mengatakan: “Kebanyakan orang sibuk mengurusi mata pencaharian dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tanpa memikirkan spiritualitas. Dalam diri mereka terdapat insting yang disebut dengan insting prilaku atas realitas yang dihadapi, yang sebagian mereka terlibat dalam masalah pengetahuan-pengetahuan spiritual.
Setiap manusia percaya pada realitas yang kukuh, walau setiap realitas disebut khayalan (tak nyata) oleh kaum sufstha`i. Terkadang ia melihat realitas yang kokoh dari alam semesta dengan akal dan hati yang jernih. Di sisi lain, ia mengetahui bagian-bagian yang tak kokoh dari alam. Alam dan fenomena-fenomenanya seperti cermin yang menunjukkan realitas yang kokoh nan indah. Lezatnya mengetahui realitas ini, mengabaikan kelezatan lainnya dan tentunya berpaling dari segala kenikmatan dan keindahan yang tak kokoh dari kehidupan material.
Itulah daya tarik irfani yang memalingkan insan yang mengenal Allah kepada alam yang tinggi, dan menempatkan hujjah Allah yang suci dalam hati manusia. Daya tarik ini membuat lupa segalanya, membatilkan semua angan-angan yang meliputi diri manusia, dan mendorongnya kepada Tuhan yang tak nampak menjadi lebih terang dari semua penglihatan dan pendengaran yang kasat. Pada hakikatnya, daya tarik ini adalah daya tarik batiniah yang melahirkan ajaran penyembahan kepada Allah di dunia insani. ‘Arif adalah seorang yang menyembah Allah karena cinta, bukan karena pahala atau takut siksaan. Maka jelaslah bahwa irfan bukan merupakan ajaran yang mandiri terhadap ajaran-ajaran lainnya, tetapi adalah sebuah jalan di antara jalan-jalan penyembahan lainnya. Menyembah karena cinta, bukan karena rasa takut dan harapan. Adalah sebuah jalan untuk memahami hakikat keagamaan, terhadap jalan fenomena-fenomena keagamaan dan jalan pemikiran rasional.”
Bagian ini memuat sair wa suluk yang diterangkan dalam ayat-ayat al-Qur`an dan dalam rangka menggali segi-segi yang berasal dari samudera yang dalam, tentang pengetahuan dan penyaksian irfani. Agar menjadi jelas, apakah al-Qur`an menerangkan makrifat semacam ini ataukah tidak. Jika memang diterangkan, seberapa besar kadar yang dapat diketahui? Apakah makrifat tersebut sejajar dengan makrifat rasional, naqli dan inderawi, ataukah kedudukannya lebih tinggi dan agung dan menempati tingkatan tertinggi di atas macam-macam makrifat lainnya?
Melalui penelitian yang cukup, kami dapati banyak ayat yang menjawab persoalan tersebut. Beberapa ayat yang menjadi kajian kami adalah sebagai berikut:
- «سبحان الله عما يصفون الا عباد الله المخلصين
Mengenai kata ganti (dhamir) bagi kata “yashifûn” ada dua kemungkinan; kemungkinan pertama, adalah kaum kafir yang disinggung dalam ayat sebelumnya. Bahwa istitsnâ` (pengecualian) kata “illâ” dalam ayat tersebut merupakan istitsnâ` munqathi’ (pengecualian yang terputus), dan demikian makna ayat itu: “Allah swt Maha suci dari apa yang disifati oleh kaum kafir, atau terlepas dari apa yang dikatakan oleh kaum kafir tentang-Nya seperti beranak, berketurunan, bersekutu dan sebagainya. Tetapi hamba-hamba Allah yang mukhlas, mensifati-Nya dengan sifat-sifat yang layak bagi-Nya.”
Kemungkinan kedua, ialah bahwa ayat «سبحان الله عما يصفون» terpisah dari ayat-ayat sebelumnya, yang secara lahir independen. Maka pelaku “yashifûn” mencakup semua dan ayat itu lebih luas dan lebih dalam. Karena kata “yashifûn” adalah mutlak mencakup segala pensifatan. Maka maknanya menjadi demikian: “Allah swt Maha suci dari segala sifat yang dikatakan oleh semua orang yang mensifati-Nya. Kecuali sifat-sifat yang diungkapkan oleh hamba-hamba yang mukhlas tentang-Nya.”
Oleh karena itu, makna yang dapat dipetik dari ayat secara lahir, hanyalah dari mereka yang memiliki makrifat yang benar kepada Allah swt. Pensifatan mereka tentang Allah adalah yang benar dan dapat diterima, karena Allah telah menjadikan mereka sebagai hamba-hamba pilihan-Nya yang suci. Kedudukan ikhlas yang mereka capai sebagaimana ayat suci tersebut memuat makrifat khusus tentang sifat-sifat dan nama-nama Allah, yang tidak dimiliki oleh yang lain. Ini adalah kedudukan yang dicapai dengan sair wa suluk (perjalanan) spiritual dan keterlepasan dari segala hubungan selain dengan Allah.