Menakar Keadilan Sosial Perspektif Murtadha Muthahari (Bagian Kedua)
Makna-makna Keadilan
Keadilan memiliki dua definisi universal dan utama di mana banyak dari definisi-definisi lain itu terkait dengan dua definisi ini. Dan dua definisi yang dimaksud adalah:
- Meletakkan sesuatu pada tempatnya.
- Memberikan hak kepada setiap yang berhak menerimanya.
Plato dalam sebagian karyanya mendefinisikan keadilan, baik dalam batasan sosial maupun batasan individual, sebagai “Keharmonisan melaksanakan tugas.”[1] Definisi ini ingin menjelaskan bahwa sesuatu tidak boleh dilakukan secara berlebihan (ifrath) atau kurang maksimal dari yang seharusnya (tafrith), tetapi sebaiknya sesuatu itu dilakukan secara proporsional. Dan tentu definisi ini kembali kepada dua definisi di atas.
Plato dalam penjelasan lainnya mengatakan bahwa keadilan adalah, “Seorang yang berusaha untuk mendapatkan haknya dan melakukan sebuah pekerjaan yang memang sesuai dengan potensi dan kelayakannya.”[2] Dalam sebagian karya Plato yang lain kita bisa temukan bahwa keadilan itu dianggap identik dengan keindahan.[3] Dan dijelaskan bahwa bila sebuah masyarakat itu adil, maka masyarakat itu akan indah, dan bila tidak maka masyarakat tidak akan pernah disebut dengan indah.
Sementara, Aristoteles memaknai keadilan seperti ini, “Makna khusus keadilan adalah kesetaraan individu-individu dan benda-benda. Yang penting adalah antara manfaat dan mudarat tugas dan hak-hak individu-individu itu disesuaikan dan diseimbangkan.
Jadi, dalam definisi keadilan dapat dikatakan: ia adalah sebuah keutamaan yang ketika itu diperhatikan, maka setiap orang akan mendapatkan haknya.[4]
Makna Keadilan dalam Kitab Nahj al-Balaghah
Keadilan begitu penting dalam pembahasan sosial dan politik. Keadilan memiliki peran penting dalam pembahasan manajemen pemerintahan. Di sini, kami akan mengisyaratkan keadilan menurut pandangan Sayidina Ali ibn Abi Thalib. Dalam kitab Nahj al-Balaghah, dua definisi keadilan yang telah disebutkan sebelumnya atau ungkapan-ungkapan yang serupa dengannya, juga terdapat di dalam kitab Nahj al-Balaghah dan kedua makna keadilan tersebut juga diterima dalam kitab Nahj al-Balaghah. Dalam kitab monumental ini, keadilan dijelaskan seperti ini, “Segala sesuatu diletakkan pada tempatnya.” Dan di tempat yang lain keadilan didefinisikan seperti ini, “Menjaga hak-hak dalam mengembangkan potensi dan anugerah wujudnya/keberadaannya dan tidak menghalangi dari memberi sesuatu yang mungkin dapat tumbuh dan berkembang.”[5]
Pembagian-pembagian Keadilan
Dengan memperhatikan secara teliti definisi-definisi keadilan yang telah dijelaskan, kita dapat memahami bahwa keadilan itu terletak pada dua hal: yang pertama terkait dengan masalah takwini (penciptaan), dan yang kedua terkait dengan masalah tasyri’i (hukum). Yakni, keadilan itu dapat dilihat berbarengan dengan penciptaan satu maujud (keberadaan) dan juga terkait dengan hubungan makhluk ini dengan makhluk-makhluk lainnya. Jadi, keadilan itu dapat dibagi seperti ini:
- Keadilan dalam Takwini (Penciptaan)
Pembagian ini diintisarikan dari definisi keadilan yang pertama yaitu, meletakkan sesuatu pada tempatnya. Pembagian ini kembali kepada penciptaan pelbagai hal dan keadilan dalam penciptaan. Terkadang, dalam Alquran keadilan disebut dengan “Timbangan Tuhan dalam penciptaan.” Ayat-ayat yang lain yang terdapat dalam Alquran menjelaskan bahwa, “Langit dan bumi itu tegak berdasarkan keadilan.” Semua ini mengisyaratkan tentang bentuk keadilan ini, seperti ayat ketujuh dari Surah Ar-Rahman yang berbunyi, “Dan Allah telah meninggikan langit, dan Dia meletakkan neraca (keadilan)].”[6]
- Keadilan dalam Tasyri’i (Hukum)
Pembagian ini diintisarikan dari definisi keadilan yang kedua yaitu, memberikan hak kepada setiap yang berhak menerimanya, yang terkait dengan perbuatan-perbuatan ekternal. Allamah Murtadha Muthahari menjelaskan bahwa, keadilan tasyri’i berarti sistem pembuatan dan penetapan undang-undang selalu memperhatikan dasar keadilan.[7]
Perlu diperhatikan dalam poin ini ketika dijelaskan bahwa salah satu tujuan pengutusan para nabi adalah penegakan keadilan maka yang dimaksud adalah keadilan dalam pembagian ini. Dan di kesempatan yang lain, Allah juga berfirman, “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya (pemimpin yang zalim).”[8] Perlu diperhatikan bahwa tujuan keberadaan keadilan takwini adalah tegaknya keadilan tasyri’i.
Nilai Keadilan dalam Agama Islam
Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti dan mukjizat yang jelas nyata dan Kami telah menurunkan bersama-sama mereka Kitab Suci dan keterangan yang menjadi neraca keadilan, supaya manusia dapat menjalankan keadilan.[9]
Dalam pembahasan kedudukan keadilan, salah satu pembahasan yang penting adalah: apakah keadilan dalam Islam dikenalkan sebagai salah satu tujuan atau sarana untuk mencapai tujuan? Jawaban atas pertanyaan ini akan dengan baik menjelaskan kedudukan keadilan. Dalam pemikiran kaum Muslim Syi’ah, utamanya di bidang politik dan pemerintahan makna keadilan atau prinsip keadilan itu bersifat Ilahi dan rasional di mana dalam pembahasan teologi itu dikemukakan dalam ungkapan kebaikan dan keburukan rasional.[10]
Keadilan dalam Islam itu memiliki akar yang kuat dalam Alquran, dan Alquran yang menebarkan benih keadilan di jantung masyarakat Islam. Dan masalah ini begitu pentingnya dalam agama Islam, sehingga terkadang Tuhan disebut dari maqam (kedudukan) Pembuat dan Pengatur kepada maqam Penegak keadilan.[11]
[1]Daurah Atsar Aflathun, Muhammad Hasan Luthfi, juz 2, hal. 849, cetakan Khawarizmi, Teheran 1380.
[2] Ibid, hal. 874.
[3] Ta’lim wa tarbiyat dar Islam, Murtadha Muthahari, hal. 148, cetakan Shadra, Teheran.
[4] A’dalat Huquq Daulat, hal. 8, cetakan Muthala’at.
[5]Nahj al Balaghah, terjemahan Faidh al Islam, hikmah 429.
[6] QS. Al Rahman: 7.
[7] ‘Adl Ilahi,Murtadha Muthahari, hal. 36, cetakan Shadra.
[8] QS. al-A’raf: 3.
[9] QS. Al hadid: 25.
[10] Jaigoh ‘Adolat dar Andisyih Siyasi Muhaqqiq Narraqi, Sayid Abdul Qayyum Sajjadi, hal. 130.
[11] QS. Al Rahman: 7.