Mendidik Anak Usia 0-7 Tahun Berdasarkan Riwayat
Makin kini, ilmu parenting makin berkembang, baik yang bernuansa Islami mau pun yang umum. Dengan merujuk ilmu psikologi dan sumber-sumber Islam, al-Quran dan hadis, maka ditemukan berbagai teori ilmu tentang pendidikan anak. Di sini, kita akan melihat riwayat-riwayat tentang pendidikan pada usia 0-7 tahun.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw telah bersabda, “Seorang anak adalah tuan pada usia tujuh tahun pertama, hamba sahaya pada tujuh tahun kedua, dan menteri pada usia tujuh tahun ketiga. Jika engkau merasa puas (sesuai harapan) pada akhlaknya pada usia 21 tahun, jika tidak (sesuai harapan akhlaknya) maka pukullah bagian samping tubuhnya, denga itu engkau telah menyampaikan uzur di hadapan Allah Swt.” [Hindi, Kanzul Ummal, hadis ke-54338]
Pada kesempatan sekarang ini kita akan menjelaskan mengenai pendidikan anak usia tujuh tahun pertama. Anak-anak usia tujuh tahun pertama karena faktor kematangan fisik, mental, dan lain-lain, memang harus dilayani. Dari segi ini, memang ia bagaikan tuan. Tak heran bila anak kecil ‘memerintah’ ibunya, “Ummi mau makan, Ummi minta minum!” tapi apakah seorang tuan diperbolehkan berbuat sewenang-wenang? Apakah kita harus memanjakan anak dan membiarkannya melakukan apa saja yang dikehendakinya? Jika kita melihat-lihat riwayat-riwayat, kita akan mendapati jawaban dari pertanyaan tersebut.
Seseorang mengadukan perihal anaknya kepada Imam Musa al-Kadzim as. Beliau berkata, “Janganlah engkau memukulnya, diamkanlah (tidak diajak bicara sebagai hukuman), tapi jangan berlama-lama mendiamkannya.” Diriwayatkan oleh Ali bin Ats-bat, yang mengatakan bahwa Rasulullah saw melarang mendidik dalam keadaan marah.
Artinya, orang tua tidak diperbolehkan mendidik anak dengan kemarahan, apalagi kekerasan. Namun, juga bukan berarti membiarkan saja perilaku buruk anak. Seperti membiarkan anaknya dalam sebuah majlis, atau saat bertamu, berbuat kenakalan seperti mengotori ruangan, karpet atau lainnya. Si ibu kalem saja sama sekali tidak menegur anaknya dengan karena merasa tengah mematuhi riwayat Rasulullah saw tentang “memperlakukan anak usia tujuh tahun pertama sebagai tuan.” Tentu ini tidak benar, orang tua harus tetap mengenalkan ‘hukuman’ saat anak melakukan kesalahan. Akan tetapi hukumannya bukan pukulan, melainkan dengan ‘mendiamkan’nya. Misalkan ibu bisa mengatakan, “Adek, Ibu tidak mau main sama Adek kalau Adek terus membuang-buang makanan.”
Kenapa Mendidik Harus Dimulai Sejak Dini
Kita semua mengetahui bahwa usia dini merupakan usia keemasan yang sangat penting untuk memulai pendidikan sejak usia ini. Dalam hal ini Imam Ali as telah berkata Imam Hasan as, “Sesunggunya hati anak seperti tanah yang kosong, apa saja yang dilemparkan ke dalamnya akan menerimaya. Karena itu aku bersegera mendidikmu dengan adab, sebelum hatimu mengeras dan akalmu menjadi sibuk karena berbagai urusan.” [Surat ke-31, Nahjul Balghah]
Ucapan Imam Ali as tersebut juga bisa menjadi pegangan bahwa menyegerakan untuk menanamkan nilai-nilai dan aturan-aturan kepada anak sejak dini. Karena, mendapatkan anak yang berkarakter baik, soleh, solehah itu tidak instan. Perlu proses secara bertahap dan konsisten sejak dini, sebelum dipengaruhi oleh nilai-nilai buruk dari lingkungan. Namun tentu metode dan cara menanamkan nilai dan aturan itu berbeda-beda sesuai tuntutan usia. Misalkan apakah mendidik anak usia lima tahun untuk solat tentu berbeda dengan anak yang berusia delapan tahun. Anak usia lima tahun harus diajak solat dengan berbagai trik dan cara yang kreatif dari ayah dan ibu. Misalnya untuk anak perempuan dibelikan mukena dan sejadah yang lucu yang sesuai selera anak-anak, janjikan akan dicium sayang, atau akan dibacakan dongeng jika solat, dan lainnya.
Di samping itu, terdapat kata mutiara yang menyatakan, “belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu…” Tentu yang dimaksud belajar di sini bukan hanya belajar formal saja. Namun termasuk juga penanaman nilai dan akhlak. Jika kita mendidik karakter anak sejak kecil, insya Allah akan berbekas hingga dewasa. Sebaliknya, karakter buruk yang dipelajarinya sejak kecil, juga akan menempel hingga dewasa. Itulah sebabnya orang tua perlu sangat waspada dalam mendidik anak pada usia dini. Jangan sampai anak dibiarkan tanpa pengarahan, karena akibatnya akan berbekas sampai tua.
Sejak itu, anak usia tujuh tahun pertama harus dididik sesuai kondisi kejiwaannya, yaitu bermain yang sangat dominan. Masa kecil adalah masa di mana anak harus bermain. Bermain merupakan kebutuhan hidupnya. Melalui bermain ia dapat belajar berbagai hal. Jadi, penting bagi orang tua mengajari anaknya dengan media bermain. Misalkan menghafal surah-surah dalam al-Quran dengan tebak-tebakkan: “Hayoo… surah apa yang akhirnya semua huruf ‘ba’. Anak yang tidak dibiarkan bermain, akan tumbuh dewasa yang hatinya kering. Tak heran bila ada julukan ‘masa kecil kurang bahagia’ terhadap orang-orang dewasa yang tingkahnya bak anak-anak. pentingnya bermain bagi anak, juga disampaikan oleh Imam Jakfar Sodiq as, “Anak itu biarkan bermain pada usia tujuah tahun pertama…” [Wasail, jil 15, hal 114]
Seorang filsuf muslim kontemporer yang juga memiliki karya-karya tafsir al-Quran, Ayatullah Jawadi Amuli telah menasirkan ayat 20 surah al-Hadid dengan sangat menarik. Beliau menafsirkan ayat tersebut sebagai fase-fase kehidupan mausia secara kejiwaan, “Sesungguhnya kehidupan dunia itu permainan (la’ibun), hura-hura (lahwu), perhiasan (zinatun), saling membanggakan (tafakhur), dan mengumpulkan harta dan anak.”
Dengan kata lain, dalam ayat tersebut dijelaskan faktor-faktor apa yang mendominasi kejiwaan manusia pada setiap fase hidupnya;
Laibun; masa kanak-kanak adalah masa bermain. Kita melihat mereka main masak-masakan, main jual-jualan, main perang-perangan, main berperan sebagai ayah dan ibu, dan lainnya. Jangan dianggap ini semua sia-sia. Justru, permainan merupakan pembelajaran hidup bagi anak-anak. Lahwun; masa remaja, di mana secara kejiwaan mereke cenderung hura-hura. Zinatun; peralihan masa remaja ke dewasa, di mana mereka lebih cenderung ingin menonjolkan penampilan fisik dan kecantikan. Tafakhur: adalah ketika manusia berumah tangga satu dengan yang lainnya saling membangga-banggakan harta benda, anak-anak, misal, “aku sudah punya rumah dan mobil. Kamu sudah punya apa? Atau masih ngontrak rumah?”, “anak-anakku semuanya jadi orang, sukses semua, anak-anakmu bagaimana?” Fase terakhir adalah ketika manusia tua, dan telah mengumpulkan cucu-cucu dan harta.
Berkaitan dengan bermain, dapat kita lihat dalam sebuah riwayat Rasulullah saw, “Barangsiapa yang punya anak kecil maka berperilakukah seperti anak kecil.” [Man la Yahdhurul Faqih, jil 3, hal 483]
Kita lihat bagaimana Rasulullah saw pun bermain dengan kedua cucunya, dalam sebuah riwayat bahwa Rasulullah saw membiarkan kedua cucunya, Imam Hasan as dan Imam Husein as saat masih kecil bermain kuda-kudaan di atas punggungnya. Jabir al-Anshori berkata, “Aku masuk ke dalam rumah Rasulullah saw, sementara Hasan dan Husein tengah menunggangi punggungnya. Beliau berkata, “Alangkah baiknya tunggangannya dan penunggangnya…”[Biharul Anwar, jil 43, hal 258] Tentu, kita tahu bahwa setiap perilaku Rasulullah saw merupakan contoh bagi kita, termasuk berkaitan dengan anak-anak pada usia dini.
Dalam riwayat lain juga Rasulullah saw pernah bersabda, “Kelincahan (kenakalan) anak-anak di waktu kecil menunjukkan kebijaksanaan di waktu dewasa.” Riwayat tersebut dapat dimaknai bahwa ketika berinteraksi dengan anak, orang tua perlu bersikap lincah, penuh canda tawa, dan gemar bermain, seperti layaknya anak-anak. Orang tua tidak boleh jaim dan serius saat bermain dengan anak-anak. Orang tua harus memandang kelincahan anak-anak sebagai bentuk kecerdasan. Jangan marah ketika anak-anak mencoret dinding, atau rumah jadi berantakan saat bermain. Itu merupakan kreasi anak, hanya kita arahkan mencoret di kertas, atau tempelkan kertas di dinding supaya anak-anak leluasa mencoret dan berkreasi. Atau, ijinkan anak-anak bermain dan rumah berantakan sesuai imajinasi mereka, hanya setelahnya diajak rapikan mainannya.
Imam Khomaeni pernah berkata bahwa aturlah rumahmu sedemikian rupa hingga tidak mengekang rasa ingin tahu anak. maksudnya, jauhkan barang-barang yang berbahaya, atau barang mahal yang mudah rusak. Jangan sampai hanya karena kuatir atas keselamatan barang, lalu anak dilarang melakukan ini-itu berkreativitas.
[Euis Daryati MA]