Meneliti Fenomenologi Peziarah Arbain (4)
MM-Meskipun tradisi peringatan Muharram, seperti tabuik, bubur suro, keliling beteng, arbain berasal dari muslim syiah, namun pesan kemanusiaan universal seharusnya melampai perbedaan mazhab, teologi, agama dan politik, baik sedikit atau banyak. Olehkarena itu perlu adanya penelitian yang objektif sebagai bukti saintifik, sejauhmana peringatan Muharram yang berporos pada peristiwa tragedi karbala berdampak pada pembentukan karakter manusia unggul-universal.
Ziarah Arbain
Perlu di kaji dalam kontek keindonesiaan secara spesifik, misalnya sejauhmana pengalaman prosesi peringatan Ziarah Arbain (Muharram) dari para peziarah Indonesia di Iran dan Iraq dapat di tangkap dengan metode fenomenologis.
Agar dapat menjawab pertanyaan tersebut, dapat diajukan pertanyaan primer, sejauhmana pengalaman prosesi Ziarah Arbain peziarah Indonesia dapat diungkap dengan metode fenomenologi, olehkarena seluruh prosesi ziarah utamanya soal pengalaman berziarah. Tentu yang lainya berkaitan dengan pengetahuan historis peristiwa karabala dengan segala dimensinya.
Untuk menjawab pertanyaan primer, bisa di dapat dari jawaban pertanyaan sekunder, apa itu Ziarah Arbain?. apa itu metode dan Filsafat Fenomenologi. Tulisan ini hanya akan memaparkan pengertian dan kemungkinan presektif Fenomenologi dapat dijadikan pisau analisa.
Filsafat Fenomenologi
Edmund Gustav Albrecht Husserl (8 April 1859 – 26 April 1938) atau Edmund Husserl adalah seorang filsuf Jerman, yang dikenal sebagai bapak fenomenologi. Diantara karyanya; On the Phenomenology of the Consciousness of Internal Time(1928),Formal and Transcendental Logic (1929), Cartesian Meditations (1931), The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology (1954) and Experience and Judgement (1939). Karya tersebut dikembangkan lebih lanjut, diberi kontek baru untuk mengembalikan gagasan dasar akar sains ke akar wilayah pra ilmiah dan dunia kehidupan saintifik (pre-scientific (regions of the) “lifeworld” (Crisis).
Fenomenologi adalah filsafat, ilmu pengetahuan dan metodologi. Fenomenologi memiliki tema sentral tentang lifeword (dunia hidup keseharian), atau everyday life (Alfred Schutz). Keseluruhan dari ruang hidup, relasi saya, peristiwa sekitar yang mengerumuni. Tidak berorientasi masa lalu atau masa depan, tetapi masa sekarang. Berangkat dari horizon ke fenomenon. Sebagaimana cinta dalam pandang fenomenologi, bukan diskursus, orientasi, tetapi “peristiwa” cinta. Sepertihalnya wahyu bukanlah wacana, bukan orientasi tetapi peristiwa kehadiran Tuhan dalam diri subjek. (Armada: xxi)
Prinsip metodologis fundamental Husserl disebut reduksi fenomenologis. Fokus pada pencarian pengalaman dasar yang “tidak ditafsirkan” dan pencarian esensi pengalaman subjek (reduksi “eidetik”). Refleksi dari fungsi-fungsi yang dengannya esensi menjadi sadar. Dengan demikian, akan mengungkap suatu reduksi yang akan mengungkapkan “ego” yang menghadirkan makna. (Husserl, Experience and Judgement, sec. 87).
Gagasan Husserl tentang dunia kehidupan (lifeworld), meliputi (1) kepercayaan dan (2) arti atau makna yang mapan secara sosial, budaya atau evolusi (namun abstrak). “Dunia kehidupan” memiliki beberapa pengertian (https://plato.stanford.edu);
(1) Jika kita membatasi diri kita pada satu subjek pengalaman, dunia kehidupan dapat dipandang sebagai struktur rasional yang mendasari “sikap alami”-nya. Artinya: dunia kehidupan subjek tertentu terdiri dari keyakinan yang dengannya sikap sehari-harinya terhadap dirinya sendiri, dunia objektif, dan orang lain mendapatkan justifikasi uatam. (Namun, pada prinsipnya, bahkan kepercayaan yang membentuk bagian dari dunia kehidupan subjek tidak kebal terhadap revisi. Oleh karena itu, Husserl tidak boleh dianggap sebagai fondasionalis epistemologis.
(2a) Jika kita mempertimbangkan satu komunitas subjek, dunia kehidupan umum mereka, atau “dunia rumah” “homeworld”, dapat dilihat, dengan pendekatan pertama, sebagai sistem indera atau makna yang membentuk bahasa umum atau bentuk kehidupan (Wittgenstein ), mengingat bahwa mereka memahami dunia dan diri mereka sendiri dalam kategori yang disediakan oleh bahasa.
(2b) Jika kita mempertimbangkan subjek yang termasuk dalam komunitas yang berbeda, kita dapat melihat dunia kehidupan umum mereka sebagai kerangka umum, atau “struktur apriori”, dari pengertian atau makna yang memungkinkan penerjemahan timbal balik dari bahasa mereka masing-masing (dengan bahasa terkait yang berbeda). “homeworlds”) menjadi satu sama lain.
Fenomenologi membahas makna dalam pengalaman manusia, terutama, makna objek, peristiwa, alat, aliran waktu, diri, dan lain-lain, karena hal-hal ini muncul dan dialami dalam “dunia- kehidupan” kita.
Inti Fenomenogi Edmund Husserl adalah bahwa pengetahuan itu kebenaranya ada pada kesadaran subjek yang mengalami “fenomena”, pada esensi kesadaran pengalaman subjek. Bukan pada pra asumsi dari peneliti. Maka pada saat melakukan observasi penelitian, peneliti fokus pada keseluruhan totalitas kesadaran “word view” subjek. Fenomena yang dialami subjek kemudian dibiarkan merasuk pada peneliti secara pasif. Disitulah terjadi intensionalitas makna subjek dan antar subjek dengan kesadaran peneliti.
Husserl juga mengembangkan metode “epoché” atau “bracketing” sekitar tahun 1906. Suatu upaya radikalisasi kendala metodologis, yang telah ditemukan dalam Logical Investigations, bahwa setiap deskripsi fenomenologis yang tepat harus dilakukan dari sudut pandang orang pertama, untuk memastikan bahwa masing-masing item dijelaskan persis seperti yang dialami, atau dimaksudkan, oleh subjek.
Fenomenologi mempelajari struktur berbagai jenis pengalaman mulai dari persepsi, pikiran, ingatan, imajinasi, emosi, keinginan, dan kemauan hingga kesadaran tubuh, tindakan yang diwujudkan, dan aktivitas sosial, termasuk aktivitas linguistik. Struktur bentuk-bentuk pengalaman disebut Husserl “intensionalitas”, yaitu, keterarahan pengalaman terhadap hal-hal di dunia, properti kesadaran yang merupakan kesadaran atau tentang sesuatu. Menurut fenomenologi Husserlian klasik, pengalaman kita diarahkan—mewakili atau “bermaksud”—hal-hal hanya melalui konsep, pemikiran, ide, gambar, dll. Fenomenologi membentuk makna atau isi dari pengalaman yang diberikan.
Struktur dasar kesadaran yang disengaja, yang kita temukan dalam refleksi atau analisis, melibatkan bentuk-bentuk pengalaman lebih lanjut. Dengan demikian, fenomenologi mengembangkan kesadaran temporal yang komplek (dalam arus kesadaran), kesadaran spasial (terutama dalam persepsi), perhatian pada (membedakan kesadaran fokal dan marginal atau “horisontal”), kesadaran akan pengalaman sendiri (kesadaran diri, dalam satu indera), kesadaran diri (awareness-of-oneself), diri dalam peran yang berbeda (seperti berpikir, bertindak, dll), tindakan yang diwujudkan (termasuk kesadaran kinestetik dari gerakan seseorang), tujuan atau niat dalam tindakan (kurang lebih eksplisit), kesadaran orang lain (dalam empati, intersubjektivitas, kolektivitas), aktivitas linguistik (melibatkan makna, komunikasi, memahami orang lain), interaksi sosial (termasuk tindakan kolektif), dan aktivitas sehari-hari di dunia kehidupan kita (dalam budaya tertentu).
Fenomenologi mengarah dari pengalaman sadar ke dalam kondisi yang membantu memberikan pengalaman intensionalitasnya. Fenomenologi tradisional berfokus pada kondisi pengalaman subjektif, praktis, dan sosial.
Pertanyaan fundamental
Dari pemaparan sebelumnya, dapat diajukan beberapa pertanyaan kunci?
- Sejauhmana pengalaman Arbain di rasakan dan dipikirkan para pelaku? Pertanyaan ini untuk membedakan orang yang tahu tentang peristiwa karbala tetapi tidak terlibat dalam prosesi ziarah. Juga untuk membedakan dengan pengalaman prosesi ziarah lain.
- Sejauhmana setiap peziarah mampu mengungkapkan pengalaman spiritual ziarah arbain dengan keterbasan bahasa mereka? Pertanyaan ini untuk menegaskan bahwa peziarah memiliki pengalaman unik yang bisa di sharing dan yang tidak bisa diungkapkan.
- Sejauhmana peziarah arbain setelah melakukan prosesi ziarah memiliki horizon (rumah khusus-eksistensial) sehingga mereka merasa terbedaan dan memiliki keistimewaan dengan komunintas lain ?.
- Sejauhmana para peziarah mampu mengungkapkan detil peristiwa ziarah? Pertanyaan ini untuk mengetahuai efek efek setiap momen ziarah. Keterhubungan dengan peristiwa masa lalu tragedi karbala, efek bertemunya dengan aliran waktu sekarang?
- Sejauhmana peziarah setelah melakukan prosesi ziarah memiliki word view yang komprehensif sehingga berefek pada kepribadian pelaku?
- Sejauahmana para peziarah memiliki pengetahuan intensionalitas di tengah jutaan peziarah ? meliputi pengalaman persepsi, pikiran, ingatan, imajinasi, emosi, keinginan, dan kemauan hingga kesadaran tubuh, tindakan yang diwujudkan, dan aktivitas sosial, termasuk aktivitas linguistik.
Deret pertanyaan ini bisa dilanjutkan, yang mengarah pada pembuktian bahwa pengalaman berziarah arbain berdimensi universal dan tidak berhubungan dengan sekat sektarianisme. Selamat mencoba !.