Menilik Islam Persia: Tarik Menarik Antara Agama dan Budaya Lokal
Oleh: Husein Alkaf
Sejak beberapa bulan ke belakang mengemuka di berbagai media sosial dan dalam ceramah para ulama dan ustadz perbicangan tentang Islam Nusantara. Gagasan ini telah melahirkan pro dan kontra cukup berkepanjangan dan juga terjadi beberapa mis-understanding seperti anti Arabisasi dan me-nusantarakan Islam. Terlepas dari dari pro dan kontra tentang gagasan Islam Nusantara. Tulisan ini ingin mencoba untuk membuka cakrawala kita tentang Islam sebagai sebuah ajaran samawi yang suci dan sebagai sebuah tatanan sosial-budaya di belahan dunia lain, tepatnya negara Iran. Dan barangkali masyarakat Muslim Iran bisa dijadikan sebagai salah satu referensi untuk diskusi tentang Islam Nusantara.
Bisa dikatakan bahwa hanya kaum Muslimin Iran saja yang tanpa ragu dan dengan percaya diri menyatakan sebagai negara Islam dan menyebut dirinya sebagai Republik Islam Iran. Kecuali Iran, tidak ada satu pun negara Islam yang mencantumkan “ Islam “ sebagai nama negara. Undang-undang Dasar Iran dan struktur pemerintahannya sangat kental ke-Islamannya.Pemimpin Tertinggi Iran adalah seorang ulama ahli fiqih (Wali Faqih). “ Ke-Islaman Iran tidak terbatas pada sistem pemerintahannya saja, tetapi masyarakat Muslim Iran, secara umum, juga sangat patuh terhadap ajaran Islam. Coba kita perhatikan para pejabat teras atas Iran seperti presiden dan menterinya tidak pernah bersalaman dengan wanita non-muhrim. Meskipun hal itu menyalahi aturan baku diplomasi internasional. Bahkan seorang pegulat Iran bernama Mehrdad Karam zadeh ogah bersamalam dengan Duchess of Cambridge, Kate Middleton istri Pangeran William (http://sport.tempo.co/read/news/2012/09/04/104427328/atlet-iran-tolak-bersalaman-dengan-kate-middleton). Ringkasnya, pemerintahan dan rakyat Iran secara umum adalah masyarakat Muslim yang patuh dengan ajaran Islam.
Sebelum revolusi Islam Iran pada tahun 1979, masyarakat Muslim Iran tidak bisa dipisahkan dari Islam. Hubungan Iran (Persia) dengan Islam dimulai sejak zaman Nabi Muhammad saw. dan diperkuat sejak masa khilafah Umar bin Al Khattab. Harus diakui bahwa masyarakat Iran tidak hanya menerima agama Islam dan menjadikannya sebagai kekuatan baru yang membentuk jati dirinya, tetapi mereka juga memberikan kontribusi yang sangat besar bagi kemajuan agama Islam. Hampir di semua disiplin ilmu Islam, orang Persia tampil terdepan dan mengungguli orang-orang Arab. Misalnya, Fakhruddin al Razi (penulis kitab al Tafsir al Kabir), Imam Bukhari, Imam Muslim, al Nasa’I dan lainnya ( penyusun Kitab Hadis), al Khalil dan Sibawaeh ( ahli gramatika bahasa Arab), Imam al Ghazali ( penulis kitab Ihya’ ‘Ulumuddin), Syekh Abdul Qadir al Jailani ( pendiri Thariqah al Qadiriyah) dan lainnya. Ada seloroh yang menyatakan bahwa tanpa jasa orang-orang Persia agama Islam tidak akan berkembang seperti sekarang ini. Secara parsial, pernyataan ini ada benarnya dan tidak berlebihan. Muthahhari secara rinci menjelaskan tentang timbal balik ( take and give) antara Islam dan Persia dalam bukunya, Taqâbul Bayna Iran wa Islam.
Yang menarik, meskipun agama Islam begitu kental di tengah kehidupan Masyarakat Iran, baik pemerintahan dan rakyatnya, mereka tetap bertahan menjaga budaya Persianya yang masih kuat. Masyarakat Iran dalam kesehariannya tidak memakai istilah-istilah Islam (Arab) hatta dalam urusan ritual. Misalnya, mereka tidak menyebut kata Allah, Nabi, Malaikat, solat dan shaum tapi Khudza, peyambar, feresyteh, namaz dan ruzeh. Dalam mengawali pembicaraan yang resmi mereka tidak mengatakan basmalah tetapi “ benâmi khudzâ bahsyande-e mehrabân “. Hari lebaran mereka yang besar bukan Iedul Fitri tetapi tahun baru Persia yang disebut dengan nûrûz. Mereka mempunyai kalender sendiri yang dikenal dengan Hijri-Syamsi, perpaduan antara kalender Islam dan kalender Persia ( sekarang dalam kalender Iran adalah tahun 1394). Pakaian wanita Iran yang Islami adalah cadôr yang tidak sama dengan wanita Muslimah Arab. Untuk laki-laki Muslim tidak ada perbedaan antara pelajar agama atau masyarakat lainnya, yaitu celana panjang dan kemeja berserta jas, kecuali para ulama.
Hal ini berbeda dengan kaum Muslim di Indonesia. Pakaian menjadi ciri tingkat keberagaamaan seseorang. Untuk tampil lebih Islami, maka harus memakai pakaian Arab; jubah dan sorban, meskipun bukan ulama. Kita sering lihat, begitu seorang harus tampil membawakan lagu-lagu Islami atau berceramah, maka seorang artis tiba-tiba memakai jubah dan sorban yang diikat di kepalanya. Jamaah yang sudah selesai menunaikan ibadah haji atau umrah, maka mereka memakai jubah dan sorban hingga sampai kampung halamannya. Lebih dari itu, kosa kata bahasa Indonesia tiba-tiba diganti dengan dengan kosa kata Arab; antum, abi, ummi, ikhwan, akhwat, akhi, ukhti dan lainnya ketika seseorang menjadi aktifis Muslim. Lucunya, pada bulan Ramadhan di mall-mall aroma Arab tampak sekali. Lagu-lagu Arab berdentam padahal bukan lagu religius. Karena itu, sebagian kalangan khawatir budaya lokal bisa hilang dan tergantikan dengan budaya Arab. Namun saat yang sama, pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan dianggap lumrag. Batas-batas agama yang tegas tidak diindahkan. Kita semua tahu bahwa pernah seorang yang berada pada puncak pimpinan sebuah partai para aktifis Islam saat menjadi menteri tidak bisa menolak uluran tangan istri presiden Obama. Bandingkan dia dengan seorang pegulat Iran yang enggan bersalaman dengan permaisuri kerajaan Inggris.
Kita perlu menilik masyarakat Muslim Iran dan menjadikannya sebagai salah satu referensi untuk Islam Nusantara. Bagaimana mereka patuh terhadap ajaran Islam, namu saat yang sama mereka mempertahankan budaya lokal mereka.