Modus Pengalihan Filsafat Yunani ke Dunia Islam
Para sejarawan filsafat percaya bahwa bunga-rampai pemikiran paling kuno yang murni atau sebagian besarnya filosofis berasal dari kalangan bijak-bestari Yunani, kira-kira enam abad sebelum kelahiran Isa Al-Masih a.s. Para sejarawan itu juga menyebutkan nama-nama mereka yang berupaya mengenal wujud, permulaan dan keberakhiran alam raya. Dalam menafsirkan kemunculan dan perubahan pelbagai realitas, mereka merumuskan beragam pandangan yang kadangkala bertentangan. Pada saat bersamaan, mereka tidak menutup-nutupi fakta bahwa butir-butir pemikiran mereka lebih-kurang dipengaruhi oleh kepercayaan agama dan kebudayaan Timur.
Alhasil, atmosfer Yunani yang terbuka untuk dialog dan kritik pada masa itu memuluskan landasan bagi perkembangan dan kemajuan pemikiran filosofis. Kawasan itu pun berubah menjadi basis pelatihan filsafat.
Adalah wajar pemikiran awal filosofis tidak begitu teratur dan tertata; masalah-masalah penelitian tidak terklasifikasi dengan tepat, sehingga nama dan judul juga metode pun tidak terletakkan untuk tiap-tiap kategori masalah. Pendek kata, semua pemikiran disebut saja sebagai ilmu, kebijaksanaan (hikmah) atau pengetahuan (ma‘rifah), dan sebagainya.
Semasa dengan dinamika di Barat (pada abad ke-6 M), di belahan lain dunia terjadi peristiwa sejarah paling besar: Jazirah Arab menyaksikan kelahiran, perjuangan, dan hijrah Nabi Besar Islam, semoga Allah mencurahkan salawat dan salam kepada beliau dan keluarganya. Beliau mengumandangkan pesan petunjuk Ilahi kepada telinga kesadaran alam. Sebagai langkah awal, beliau menyeru manusia untuk menuntut pengetahuan dan menghargai setinggi-tingginya kegiatan membaca, menulis, dan belajar.
Nabi SAW membangun peradaban paling agung dan kebudayaan paling tinggi. Beliau mendorong kuat umatnya agar memperoleh ilmu dan kebijaksanaan dari buaian ibu hingga liang lahad (min al-mahd ilā al-lahd), dari daerah bumi terdekat hingga negeri terjauh (sekalipun ke negeri Cina, wa law bi al-shīn), dan dengan ongkos berapa pun (meskipun dengan mengorbankan darah dan menyelami samudera, wa law bi safk al-muhaj wa khawdh al-lujaj).
Benih kebudayaan Islam yang disemai oleh tangan tangguh Utusan Allah tumbuh rindang dan berbuah lebat berkat pancaran wahyu Ilahi dan persentuhan dengan kebudayaan-kebudayaan lain. Islam menyerap bahan mentah pemikiran manusia sesuai ukuran-ukuran sahih Ilahi dan mengolah bahan-bahan mentah itu dalam mesin kritik membangun agar menjadi unsur-unsur berguna. Dan dalam waktu singkat, Islam telah berimbas pada seluruh kebudayaan dunia.
Berkat seruan Nabi SAW dan para penerusnya yang suci, kaum Muslimin mulai mempelajari beragam bidang pengetahuan dan menerjemahkan warisan ilmu Yunani, Roma, dan Persia ke dalam bahasa Arab. Mereka menyerap unsur-unsur yang berguna dan menyempurnakannya dengan hasil-hasil penelitian mereka sendiri. Dan di sebagian besar bidang, mereka berhasil menyumbangkan pelbagai temuan seperti: aljabar, trigonometri, astronomi, ilmu perspektif, fisika, dan kimia.
Faktor penting lain dalam perkembangan kebudayaan Islam adalah politik. Rezim Umayah dan Abbasiyah yang secara tidak sah menduduki kursi pemerintahan Islam merasakan kebutuhan yang sangat mendesak akan basis sosial dalam masyarakat Islam. Sebaliknya, musuh kedua rezim ini, yakni ahl al-bayt ‘keluarga’ Nabi SAW, semoga segenap keberkahan Allah tercurah bagi mereka, sebagai wali sah seluruh kaum Muslimin, merupakan sumber ilmu pengetahuan dan pemegang kunci khazanah wahyu Ilahi. Rezim berkuasa tidak punya cara untuk menarik orang berpihak pada mereka kecuali dengan mengancam dan menyuap. Maka dari itu, mereka berupaya memegahkan rezim mereka dengan mengumpulkan para sarjana dan pakar serta membekali mereka dengan aneka ilmu Yunani, Romawi dan Persia agar mereka dapat mengimbangi pengaruh dan posisi pengetahuan ahl al-bayt.
Dengan cara ini, pelbagai pemikiran filsafat dan bermacam jenis ilmu pengetahuan dan seni, dengan beragam motivasi lawan dan kawan, menyerbu dunia Islam. Lalu, kaum Muslimin pun mulai meneliti, mengadopsi, dan mengkritisi arus pengetahuan asing ini. Tokoh-tokoh cemerlang bermunculan di bidang-bidang sains dan filsafat; masing-masing mereka tak henti-hentinya berjerih-payah hingga melahirkan berbagai bidang ilmu dan semakin memperkaya peradaban Islam.
Di antara tokoh-tokoh cemerlang itu adalah para pakar teologi dan akidah Islam. Mereka mengkaji dan menyanggah masalah-masalah filsafat ketuhanan dari pelbagai sudut pandang, kendati upaya kritik dari sebagian mereka kerap berlebihan. Namun demikian, semua upaya mengkritik, mencari-cari kesalahan, mengajukan pertanyaan dan sanggahan memaksa sebagian besar pemikir dan filosof Islam lainnya untuk bekerja lebih keras dan, tentu saja, berdampak pada semakin kayanya khazanah pemikiran intelektual dan filosofis.
Pada abad kedua dan ketiga setelah Hijrah, tak hanya buku-buku filsafat Yunani saja yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, akan tetapi banyak sekali buku yang mengandung ilmu-ilmu pengetahuan lainnya seperti: Logika, Fisika, Matematika, Kedokteran dan lain sebagainya, telah diterjemahkan dari bahasa Yunani, Suryani, dan bahasa-bahasa lainnya ke dalam bahasa Arab.
Tidak seperti pada abad pertama setelah Hijrah dimana khalifah pada waktu itu pernah melarang kaum Muslimin dari mencatat hadis, tafsir, dan segala hal selain Al-Quran. Menurut catatan sejarah, kurang lebih ada dua ratus judul kitab seputar permasalahan-permasalahan ilmiah zaman itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Sepertinya hal ini memang disengaja untuk memperkaya khasanah ilmiah Islam serta mempercepat tercapainya tujuan-tujuan agama. Sebagaimana Al-Quran seringkali menekankan umat manusia untuk selalu mengamati dan berpikir mengenai alam ciptaan dan segala yang ada di dalamnya seperti langit, bumi, manusia, hewan, dan selainnya. Oleh karenanya, Muslimin dianjurkan untuk bergelut dengan berbagai macam ilmu dan dalam segala bidang.
Kenyataannya memang rezim penguasa di waktu itu sangat bertentangan dengan para imam suci Ahlul Bait a.s. Mereka telah melakukan segala upaya demi mencegah masyarakat dari berhubungan dekat dengan para imam. Karena, jika tidak, masyarakat akan terpikat begitu kuat, lalu mereka akan mendekat dan menjadi pengikut para imam Ahlul Bait a.s. Dengan demikian, mungkin saja tujuan diterjemahkannya buku-buku filsafat berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab adalah untuk mengalihkan pandangan mereka dari para imam Ahlul Bait a.s. serta demi menghambat dakwah Ahlul Bait.
Tetapi, apakah karena mereka telah menyalahgunakan penerjemahan karya-karya Yunani demi menghambat dakwah para imam Ahlul Bait a.s. lantas kita tidak boleh mengkaji dan mempelajarinya buku-buku tersebut? Apakah dengan alasan ini kita harus menjaga jarak dari ilmu-ilmu itu?
Filsafat adalah sekumpulan persoalan yang murni rasional yang tujuannya adalah pembuktian atas wujud Tuhan Sang Pencipta dan segala hal yang berkaitan dengannya; seperti kenabian dan kehidupan pasca kematian.
Yang telah disebutkan di atas adalah permasalahan-permasalahan ushuluddin yang harus ditetapkan oleh setiap muslim dengan akal murninya sebelum meyakini kebenaran kitab suci dan sunnah Rasulullah SAW. Karena sebelum menetapkan kebenaran Islam secara rasional, kita tidak dapat berdalil dengan ayat-ayat suci dan hadis-hadis Nabi SAW untuk menetapkan kebenaran ajarannya. Dan sebenarnya permasalahan-permasalahan yang berkenaan dengan ushuluddin seperti wujud Tuhan, tauhid, dan lain sebagainya yang disebutkan dalam riwayat-riwayat pada dasarnya telah ditetapkan secara rasional sebelumnya.[af]
Referensi:
Muhammad Husain Thabathaba’i, Islam va Insan-e Mu’asher, Qom, 1379 HS.
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Al-Manhaj Al-Jadid fi Ta ‘lim Al-Falsafah, jld. 1, Beirut, 1990.