Muhammadiyah: Dari Keraton hingga Rakyat Jelata
Kerajaan Mataram setelah perjanjian Giyanti terbagi dua yaitu kerajaan Surakarta dan kerajaan Yogyakarta .Setelah kesepakatan tersebut maka pembangunan keraton Yogyakarta di mulai pada tanggal 9 Oktober 1755. Raja yang menempati kerajaan tersebut adalah Sri Sultan Hamengkubuwono I. Bangunan keraton di lingkupi oleh bangunan dan tempat tinggal abdi dalem yang diberi gelar bangsawan. Tempat tinggal abdi dalem tersebut adalah kauman. Kauman merupakan daerah di lingkungan Masjid Agung. Masjid agung merupakan masjid tempat ibadah umat islam yang dekat dengan pusat pemerintahan.
Ciri khas tata letak pemerintahan pada masa itu tak lepas dari identitas Islam. Hal ini dipengaruhi oleh peran para wali (wali sanga)dalam membangun tata letak keraton yang bersebelahan dengan masjid dan alun-alun. Pada masa itu masjid menjadi pusat kegiatan raja dan para abdi dalem dalam membuat dan menetapkan sebuah keputusan dan kebijakkan. Di lingkungan masjid ada al Mahkamah Kabiroh (mahkamah Agung) yang berfungsi tempat pengadilan, pertemuan para Ulama, pengajian, pembagian waris, pernikahan, penyelesaian sengketa, urusan zakat dan lain-lain.
Dalam urusan agama di kerajaan Yogyakarta, Raja atau Sultan membentuk lembaga kepenguluan yang merupakan bagian dari birokrasi kerajaan. Pengulu memiliki jabatan sebagai bupati Nayaka. Seluruh aparat Pengulu disebut abdi dalem. Pengulu terdiri dari Ketib yang berfungsi untuk mengisi khutbah, Modin bertugas sebagai Muadzin, Berjamaah yang terdiri dari empat puluh orang, dan merbot yang bertugas mengurus kebersihan dan perlengkapan masjid.
Seluruh abdi dalem tinggal di sekitar keraton Yogyakarta dan mendapat tempat tinggal dan tanah garapan. Tempat tinggal para abdi dalem inilah yang disebut kauman. Di kampung kauman inilah lahir organisasi Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan atau Raden Ngabehi Muhammad Darwisy yang memiki jabatan sebagai Ketib atau petugas yang mengatur urusan agama di lingkungan kerajaan. Dalam beberapa riwayat di jelaskan bahwa Muhammad Darwisy adalah masih keturunan wali penyebar Islam di pulau Jawa dan masih keturunan Sayid atau Habib. Ahmad Dahlan adalah orang yang bekerja dan mengabdi di kerajaan dengan mendapat upah sebagaimana abdi dalem lainnya. Sementara istrinya menjadi perajin batik yang sukses. Sehingga usaha batiknya berkembang sedemikian rupa dan dapat menjadi modal dalam pergerakan Muhammadiyah di kemudian hari. Latar belakang berdirinya Muhammadiyah dalam buku Najib Burhani tentang Muhammadiyah Jawa di jelaskan bahwa kemungkinan alasan Muhammadiyah adalah atas dukungan Sri Sultan karena pada masa itu mulai masifnya perkembangan nasrani di tanah Jawa dan mulai menguatnya budaya Barat.
Kekhawatiran terjadinya kristenisasi dan kuatnya pengaruh budaya Barat tentu menjadi kekhawatiran Sri Sultan. Karena memang dalam sejarah pendirian kerajaan Mataram, Islam merupakan agama resmi kerajaan dengan sistem pemerintahan yang diatur Raja dan para wali. Identitas Islam melekat pada tradisi dan budaya keraton pada masa itu.
Keterlibatan Sri Sultan sebagai Raja tidak mungkin secara terang-terangan karena pada masa itu hegemoni pemerintahan Hindia Belanda cukup kuat. Bahkan pada izin pendirian Muhammadiyah tanpa dukungan Budi Utomo mengalami kesulitan. Hubungan Budi Utomu dan Muhammadiyah cukup kuat, di samping KH. Ahmad Dahlan sebagai anggota Budi Utomo, para pengurus Budi Utomo pun memberikan jalan mulus bagi terbentuknya Muhammadiyah di daerah-daerah sekitar Pulau Jawa.
Hubungan Budi Utomo dan Muhammadiyah saling menguntungkan satu sama lain. Ketika Muhammadiyah membuka lembaga pendidikan yang mengajarkan mata pelajaran umum anggota Budi Utomo yang mengisi kekosongan guru sebaliknya Muhammadiyah mengisi kajian-kajian keagamaan di lingkungan Budi Utomo. Pada masa berdirinya Muhammadiyah hanya dibatasi wilayahnya hanya untuk lingkungan Yogyakarta yang kemudian diperluas hingga Pulau Jawa dan pada tahun 1921 wilayah cakupan Muhammadiyah dapat bergerak di wilayah Hindia Belanda (Indonesia).
Anggaran dasar paling awal Muhammadiyah adalah:
- Menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhmammad SAW kepada penduduk bumi putra di dalam residensi Yogyakarta.
- Memajukan hal agama kepada anggota-anggotanya.
Untuk meraih cita-cita tersebut Muhammadiyah melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
- Mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan umum secara serentak diajarkan.
- Menyelenggarakan pengajian ajaran Islam di sekolah pemerintah, swasta, dan luar sekolah.
- Mendirikan langgar dan Masjid.
- Menerbitkan dan membantu penerbitan buku-buku, surat-surat, selebaran, brosur, dan koran yang berisi soal-soal agama.
(di ramu dari buku Muhammadiyah Jawa Karya Ahmad Najib Burhani, Ph.D)