Murtadha Muthahhari: Kritik atas Materialisme Historis (Bagian Keenam)
Secara lebih tegas, Muthahhari menuturkan bahwa “masalah epistemologi merupakan masalah yang cukup penting untuk dibincangkan saat ini, bahkan jarang ada sebuah permasalahan sepenting masalah epistemology. Pandangannya ini tentu tidak terlepas dari konteks kehidupan masyarakat Iran ketika Muthahhari masih hidup. Seperti uraian di atas, pada masa pemerintahan dinasti Pahlevi, pelbagai pemikiran asing terutama Marxisme telah menyusup dengan sukses ke berbagai sendi kehidupan masyarakat. Karena itulah, kajian epistemologi cukup penting diadakan saat itu.
Signifikansi kedua dari kajian epistemologi bagi murid Imam Khomeini ini adalah bahwa karena setiap individu ingin memiliki suatu bentuk ideologi sebagai landasan hidupnya sehingga masalah epistemologi menjadi penting. Biasanya, setiap individu memiliki ideologi yang saling berbeda satu sama lainnya. Tentu saja masing-masing individu tersebut akan mempertahankan ideologinya itu. Tidak jarang, perbedaan itu akan melahirkan pertikaian dan perselisihan antar penganut ideologi.
Menurut Muthahhari, bahwa ideologi merupakan hasil dari pandangan alam, sedangkan pandangan alam itu adalah hasil dari kajian epistemology. Di sinilah mulai tampak bahwa betapa penting kajian epistemologi itu. Menurutnya, sebelum membahas masalah ideologi, seseorang mesti membahas masalah epistemologi. Karena kajian epistemologi melahirkan pandangan alam (ontologi), dan pandangan alam akan melahirkan ideologi tersebut. Beliau menulis:
Sebelum kita menuju pada alam dan mengatakan bahwa alam itu adalah semacam ini atau semacam itu, dan sebelum kita menuju pada permasalahan ideologi yang ini, atau yang itu adalah benar, terlebih dahulu kita mesti menuju kepada epistemologi. Kita mesti saksikan bersama, manakah epistemologi yang benar, dan manakah yang salah, serta apa sebenarnya epistemologi yang betul dan salah itu.
Dengan demikian, Muthahhari berpandangan bahwa setiap individu akan mampu memilih ideologi tertentu melalui perantaraan epistemologi. Melalui epistemologi pula, setiap individu akan mampu mengkritisi setiap ideologi yang ada, sehingga individu itu mampu memilah mana yang benar dan mana yang salah. Pada akhirnya, setiap individu akan memiliki ideologi yang terbaik sebagai landasan utama dalam segala aktifitas kehidupannya.
Tema kemungkinan epistemologi ini memiliki sejarah yang panjang. Sejak dahulu, para filsuf telah membahasnya. Para filsuf tersebut mengumandangkan sebuah pertanyaan, mungkinkah epistemologi (pengetahuan) itu?. Apa seseorang mungkin untuk mengetahui dan memahami hakikat alam beserta manusia?. Mungkinkah seseorang mencapai kebenaran sejati?. Atau mungkinkah manusia memperoleh pengetahuan?. Tema seperti ini merupakan tema yang paling mendasar dalam kajian epistemologi.
Muthahhari pun telah membahas masalah ini sebagaimana terlihat dalam berbagai bukunya. Dalam bukunya yang berjudul “Mas’ale-ye Syenokh”, beliau mencoba membuktikan kemungkinan epistemologi itu, baik melalui bukti aqliyah maupun bukti naqliyah. Muthahhari pun mengembangkan argumentasinya ini secara luas.
Muthahhari berpendapat bahwa epistemologi itu mungkin secara aqli. Bahwa manusia mampu memperoleh pengetahuan, dan hal ini dapat dibuktikan secara aqliyah. Sebelumnya, Muthahhari mengawali pembahasan dengan menguraikan pandangan para filsuf yang menolak kemungkinan epistemologi, dan kemudian beliau mengkritisinya. Muthahhari secara tegas menolak pandangan Pyrho, seorang filsuf Yunani, yang berpandangan bahwa manusia itu tidak mampu untuk mengetahui dan memahami. Pyrho menyatakan bahwa ungkapan “saya tidak tahu” adalah ketentuan dan nasib pasti manusia. Filsuf Yunani ini pun menyatakan bahwa ada dua instrumen dalam diri manusia untuk mengetahui sesuatu yakni indra dan akal. Baginya, kedua instrumen ini dapat melakukan kesalahan, selain dapat sedikit berbuat benar. Dari sini, Pyrho menuturkan bahwa sesuatu yang ada kemungkinan salah dan dapat menjadi salah tidak dapat dijadikan sebagai sandaran.
- Masyarakat dan Hukum Kausalitas
Murtadha Muthahhari sebagai seorang filosof dan cendekiawan “lintas batas” memberikan penjelasan terkait dengan Masyarakat dan hukum sebab akibat yang berlaku dalam masyarakat. Masyarakat sendiri kata Muthahhari merupakan kelompok-kelompok manusia yang saling terkait oleh system, adat istiadat, ritus ritus dan hukum yang khas dan kemudian hidup bersama. Kehidupan bersama adalah kehidupan yang di dalamnya antar kelompok manusia hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan sama-sama bergi iklim serta makanan secara bersama. Kehidupan manusia secara sifat dasarnya memang bermasyarakat sebab manusia mahkluk yang saling membutuhkan satu sama lainnya, saling melengkapi, saling tergantung dalam Bahasa lainnya, untuk tidak mengatakan saling interdependensi. (Muthahhari, 1989: 15)
Masyarakat sendiri memiliki hubungan yang saling berkaitan antar sesama dalam kehidupan manusia sehingga dapat mempersatukan namun juga dapat saling bertengkar dengan setiap individu. Oleh sebab itu, Muthahhari kemudian menyampaikan pesan tersebut dengan mengutip hadits nabi yang menganjurkan saling tolong menolong dalam kebaikan, namun agar secara bersama-sama mencegah dan menghindari kejahatan, dan kemungkaran, sebab disitu sifat masyarakat memiliki fondasinya yang snagat kuat sebagai mahkluk social, bukan sekedar mahkluk individual sebagaimana sering dikatakan dalam kajian Materialisme Historis eksistensialisme yang selama ini diyakini berdasarkan pada pemikiran Marxisme dan Kaum Marxis.