Murtadha Muthahhari: Kritik atas Materialisme Historis
Jika kita mendengar kata-kata Materialisme Historis, maka yang terlekat dengan kata tersebut ialah tokoh yang bernama Karl Marx, filsafat marxis atau Marxisme. Materialisme Historis secara istilah yang digabung dari dua kata yaitu, materialisme dan historis dimengerti sebagai salah satu bentuk pembahasan sejarah. Muthahhari dalam bukunya yang berjudul Manusia dan Alam Semesta menuliskan bahwa Materialisme Historis tak lain daripada istilah sejarah ilmiah. Yang dimaksud dengan sejarah ilmiah ialah, pandangan ilmiah tentang sejarah. Dengan kata lain, sejarah dilihat dari kausalitas-kausalitas fenomenanya.
Materialisme Historisnya Marx adalah kepanjangan tangan dari Materialisme Dialektisnya Hegel. Keduanya mengamini adanya kontradiksi yang berbeda dari segi penempatannya. Hegel menerima kontradiksi pada wilayah pemikiran, sementara Marx mengamini kontradiksi pada realitas.
Sebelum masuk pada ideologi Marxisme yang erat kaitannya dengan sistem sosial, ekonomi dan politik, maka perlu kita menelaah pandangan dunia Marx. Dengan kata lain, perlu kiranya melihat pandangan ontologisnya Marx dalam melihat alam semesta ini yang kemudian akan memiliki konsekuensi terhadap tindakannya, ideologinya, sistem sosial, politik dan ekonomi sebuah negara.
Prinisip Dasar Materialisme Historis
Setidaknya ada tiga prinsip yang menjadi dasar pandangan Materialisme Historis yang memiliki konsekuensi pada hal-hal lainnya. Pertama, yang mendasar di realitas alam ini ialah, materi bukan jiwa. Kedua, tindakan merupakan kunci dan kriteria berpikir. Ketiga, kemendasaran dimensi material pada masyarakat.
Prinsip pertama, yang mendasar di realitas alam ini ialah, materi. Marxisme berkecenderungan memahami alam material sebagai aspek fundamental, sehingga hal-hal yang bersifat immateri bukanlah hal yang bersifat mandiri namun terdeterminasi oleh hal-hal yang bersifat material. Dengan kerangka seperti ini, aspek-aspek sistem kehidupan yang terekspresikan dari konstruksi rasionalitas manusia seperti politik, kebudayaan, hukum adalah wilayah yang dipengaruhi secara determinan (suprastruktur) oleh fundamen-fundamen material (basis). Secara terbalik, dapat dibaca bahwa seluruh ekspresi politik, kebudayaan bahkan spiritualitas manusia adalah cermin dari kondisi materialnya.
Prinsip kedua, tindakan merupakan kunci dan kriteria berpikir. Secara epistemologis, Marx berpikir bahwa aspek praktis yang bersifat fungsional menjadi kriteria kebenaran dari pada aspek teoritis. Dalam hal ini terkenal adagium yang pernah diungkapkannya, “Para Filosof sebelum saya hanya menafsirkan dunia. Padahal yang terpenting adalah mengubahnya.”, sehingga nilai kebenaran sebuah pemikiran adalah ketidakterikatannya pada hukum-hukum logika tapi sejauh mana sebuah pemikiran dapat mengubah sebuah realitas. Dalam bahasa yang lebih tegas lagi, berpikir adalah mengubah, bukan menemukan kebenaran.
Prinsip ketiga, Kemendasaran Dimensi Material pada Masyarakat. Dengan prinsip materialismenya yang dikaitkan dengan hubungan sosial di dalam sejarah yang diistilahkan sebagai Materialisme Historis-Dialektis ialah, sebuah prinsip yang mengajukan suatu tesis bahwa, gerak sejarah sosial manusia ditentukan berdasar hubungan-hubungan produksi. Hubungan produksi inilah yang disebut oleh Marx sebagai dimensi material pada masyarakat.
Tahapan sejarah manusia, mulai dari masyarakat nomaden, bergerak kepada sistem feodalisme, lalu pada sistem kapitalisme hingga kelak sistem sosialisme (dalam keyakinan Marx) adalah gerak material masyarakat di mana sistem politik, kebudayaan dan hukum hadir untuk mengukuhkan hubungan-hubungan material yang ada. Dengan demikian, sistem politik misalnya seperti negara maupun kerajaan tak lain adalah kekuatan sosial yang dikuasai oleh elit-elit sosialnya sendiri, maka negara dalam rezim feodalisme adalah negara yang meligitimasi, melindungi sistem feodalisme itu sendiri. Sementara dalam rezim kapitalisme, negara adalah alat untuk meligitimasi keabsahan eksploitasi-eksploitasi para pemilik modal atas buruh.
Kritik Murtadha Muthahhari atas Materialisme Historis
Secara ontologis, jiwa memiliki kenyataannya sendiri sementara materi memiliki kenyataannya sendiri, namun dalam pertautan epistemologi tidak mungkin tidak pasti dimulai dari kenyataan-kenyataan material. Di sinilah Marx tidak memilah mana materi dan jiwa dalam pengertian ontologis dan epistemologis. Seandainya Marx memaknai ini dari segi ontologis, dengan memahami bahwa materi lebih dulu ada sebelum jiwa, maka menjadi pertanyaan bagaimana materi menjadi materi? Dan bagaimana jiwa bisa terlahir dari materi? Apakah materi pada dasarnya bersifat material atau bersifat spiritual? Perbincangan ini akan membawa kita memasuki wilayah perdebatan filosofis mengenai konsep ada (wujud). Karena jika dikatakan materi adalah satu substansi yang mengalami gerak dan perubahan, maka secara logis dia pasti memiliki asal-muasal.
Apakah hukum gerak pada materi juga adalah sebuah materi? Jika kita memahami bahwa hukum yang bekerja, berlaku pada materi pada dirinya bukanlah bersifat material, maka pada dasarnya wujud material yang ditentukan sepenuhnya oleh gerak, berarti secara logis bergantung kepada yang tidak material yakni, hukum-hukum gerak dan perubahan itu sendiri. Oleh sebab itu, Muthahhari berkeyakinan bahwa materialitas materi ditentukan oleh aspek-aspek yang bersifat inmaterial, sehingga materi hanyalah manifestasi perwujudan dari aspek-aspek inmaterial.
Jika dipahami secara epistemologis, hubungan materi dan jiwa memang tidak bisa dibantah bahwa mula-mula pengetahuan manusia bersifat material (baca: persepsi inderawi), namun dalam perkembangan arus berpikir manusia terdapat pengetahuan-pengetahuan rasional yang tak memiliki subjeknya secara material. Dicontohkan misalnya, konsep-konsep logika maupun filsafat. Justru dalam konteks ini, jika alam pikir manusia ditentukan oleh realtiasnya, toh mengapa Marx berpikir dalam kesadaran sosialisme sementara realitas yang dialami adalah realitas masyarakat kapitalisme. Lantas dari mana kesadaran sosialismenya itu muncul?
Kritik lainnya adalah, sisi materialitas pada sejarah manusia. Muthahhari menampik pandangan Marx bahwa sejarah semata-mata digerakkan oleh faktor-faktor produksi. Karena, bagi Muthahhari, masyarakat bukanlah wujud bendawi belaka tetapi merupakan jalinan-jalinan interksi intelektual dan spiritual yang tercermin dari visi-visi sosial masyarakat. Terlebih Muthahhari meyakini aspek fitrah kemanusiaan yang bervisi pada penyempurnaan diri yang tidak lain adalah visi spiritual itu sendiri.
Justru dengan dua visi tersebut yaitu, intelektual dan spiritual masyarakat, gerak sejarah menjadi mungkin. Mengapa? Karena tindakan manusia di seluruh aspek materialnya adalah sebagai usaha untuk mencapai tujuan kemanusiaannya dan visi tertinggi dari tujuan kemanusiaan adalah pencapaian kematangan spiritual.
By Fardiana Fikria Qur’any, MA