Ontologi ‘Irfan
‘Irfan sebenarnya lebih sering menggunakan kata al-Haq daripada wujud (being). Kalaupun menggunakan wujud untuk ontologinya maka itu dalam rangka memahamkan para filsuf (peripatetik) saja, sebab tidak ada kata lain yang dapat menggambarkan ontologi ‘irfan.
Wujud (being/qua wujud) dalam ‘irfan (min haytsu hiya) bukan wujud eksternal (wujud khariji) dan bukan wujud mental (wujud dzihn), sebab keduanya hanyalah spesesnya (na’u) saja. Wujud qua wujud adalah mutlakul wujud (la bisyarti/absolute) yang subyek materi (mawdhu’ ‘irfan) biasanya dibandingkan dengan subyek materi filsafat yaitu wujud mutlak. Lihat bagan dibawah ini :
Aliran | Subject matter (mawdhu’) | |
Peripatetik | Pluralisme wujud (wujud mutlak), tunggal hanya dalam konsep | |
Filsafat Iluminasi | Cahaya bergradasi | |
Hikmah Muta’liyah | Gradasi wujud | |
‘Irfan | Muthlaqul wujud yang lain adalah tajali-Nya |
Meskipun para syekh ‘irfan dari ashabul qulub sepakat bahwa wahdatul wujud adalah zat yang ada dengan dirinya sendiri (huwiyah ayniyah mutahaqiq bi nafsi zatiha) dan bahwa itu adalah Wajibul Wujud, namun mereka berbeda pendapat perihal apakah wujud itu tanpa syarat apapun (makhudz la bi syarti al-asyya) dan tanpa syarat ketiadaan (‘adam); yaitu wujud yang berlaku (sariyah) dalam wajib, mumkin, al-gayb al-majhul, sebab tidak dapat dipersepsi dengan apapun. Ataukah hakikat wujud tanpa syarat tiadanya sesuatu (makhudz la bi syarti ‘adam al-asya) yang disebut dengan martabat ahadiyah atau ghaybul awal.
Karena itu sebagian mengatakan: Hakikat wujud atau muthlaqul wujud tidak bisa dibatasi dalam syarat sesuatu (akhdzi bi syarti la) atau juga tidak dalam syarat sesuatu (aw la bisyarti syay) dan selain keduanya karena istilah-istilah i’tibari, akhdz, lihaz dan yang lainya menjadi bagian dari (lawahiq) dari mahiyah. Wujud atau al-haq yang berkembang dalam istilah ‘irfan adalah hasil dari apa yang dilihat (musyahadah) dan output tajali atas kalbu-kalbu mereka. Baik itu tajali al-Haq atas asma-asma, a’yan tsabitah atau di alam (kawn). Al-Haq memanifestasi dengan tajali ahad yang menghimpun seluruh asma-asma dan sifat-sifat atau Zat qua zat hingga tidak mengejawantah dalam cermin apapun, tidak juga bisa disaksikan oleh salik ahlullah, tidak juga disaksikan oleh ashabul qulub dan aulia; tidak ada asma, tidak ada sifat, tidak ada deskripsi (rasm) , tidak bisa diisyaratkan.
Wujud ‘irfan tidak terikat dengan kemutlakannya dan juga dengan batasan-batasannya (taqyid). Wujud ini tidak universal, tidak partikular, tidak umum dan tidak khusus, tidak esa (wahdat) yang menjadi tambahan baginya dan juga tidak plural (katsrah). Tapi karaktertisik universal, partikular, umum, khusus, esa dan plural adalah konsekuensi (lawazim) untuk tajali, martabat dan maqam-maqam-nya sebagaimana dikuatkan oleh ayat al-Quran: Ia yang memiliki derajat-derajat dan arasy.
Karena tajali, wujud ‘irfan bisa menjadi mutlak, muqoyyad, univesal dan partikular, umum, khusus, tunggal dan partikular tanpa mengubah zat dan hakikat-Nya. Wujud ‘irfan juga bukan substansi (jawhar) dan juga bukan aksiden (‘ardh), juga bukan konstruksi mental (i’tibari).
Wujud ‘irfan adalah wujud yang hakikatnya paling jelas dari segala sesuatu (tahaquqan wan inniyatan). Wujud ‘irfan axiomatik (badihi) tapi juga sangat misterius esensinya. Karena itu dalam doa para ‘arif disebutkan: ‘aku tidak mengenal-Mu dengan pengenalan yang sebenarnya-benar. Wujud ini menjadi penegas, pendukung segala sesuatu (qawwam) dan juga yang meliputi segala sesuatu (muhitun). Tidak ada tandingannya (la dhida lahu) dan tidak ada yang menjadi penengah antara wujud dan non-wujud.
Wujud ini tidak mengalami transformasi kuantitas (kayf) dan kualitas (kam). Wujud ini adalah kebaikan murni (khayr mahd), bahkan setiap yang baik pasti darinya dan bersamanya. Wujud ini tidak memiliki awalan sebab melazimkan butuh kepada kausa (‘ilat) dan tidak juga memiliki akhir sebab akan membuatnya hancur dan fana. Wujud ini azali dan abadi, Yang Paling Awal, Paling Akhir, MahaZahir dan MahaBatin.
Wujud ini juga hidup, mengetahui, memiliki iradah, berkuasa, mendengar, melihat dengan dirinya sendiri dan bukan dengan yang lain. Wujud ini adalah hakikat yang tunggal dan bukan banyak. Manifestasi-Nya yang banyak tidak mengganggu ketunggalan-Nya. Ta’ayun dan tamayuz dengan diri-Nya dan bukan dengan yang lain.
Wujud ini adalah cahaya murni yang denganya diketahui segala sesuatu. Sebab Ia yang tampak dan menampakan dan menyinari langit-langit kegaiban, ruh-ruh, jisim-jisim (benda-benda). Wujud ini menjadi sumber bagi eksistensi jisim dan sumber bagi segala cahaya rohani dan cahaya material.
Hakikat wujud ini tidak bisa diketahui dan wujud yang bersifat munbastih (flowing, permeating). Dan wujud eksternal (wujud kharij) dan wujud mental (wujud dzihn) hanyalah bayang-bayang (dhill) dari muthlaqul wujud ini.
Karena sifat yang hakiki adalah wahdat dan hanya Ia yang nyata maka sering terjadi kesalahanpahaman seperti terjadi inkarnasi (hulul), ittihad, panteisme, atau yang lain yang dianggap Zat Tuhan karena ilusi semata.
Salman