Pemakan Riba Seperti Orang Kerasukan Setan
Pemakan Riba Seperti Orang Kerasukan Setan
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَ يَقُوْمُوْنَ إِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوْا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَ أَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَ حَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهِ فَانْتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَ أَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَ مَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba, (pada hari kiamat) mereka tidak akan dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Hal itu dikarenakan mereka berkata, Sesungguhnya jual beli itu adalah sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya kentungan-keuntungan (hasil riba) yang telah diambilnya dahulu (sebelum datangnya larangan itu), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Dan orang-orang yang mengulangi (mengambil riba), maka mereka adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS: al-Baqarah 275)
Dari judul di atas yang dipetik dari terjemahan ayat suci ini, di sana terdapat fenomena orang-orang kerasukan makhluk halus. Sebagian sengaja membuat dirinya kerasukan untuk ditonton sebagai hiburan masyarakat. Seperti penari kuda lumping -bagian dari pentas reog Ponorogo, Jawa Timur- kadang menyuguhkan atraksi kesurupan, makan beling dan kebal dipecut.
Kerasukan yang dia alami dalam kendali di luar ikhtiarnya, berbeda dengan kerasukan yang disebut dalam ayat sebagai perumpamaan bagi keadaan si pengambil riba. Dalam kesadaran dia sengaja mengambil riba, dengan ikhtiarnya melakukan perbuatan ini yang diharamkan oleh syariat Islam. Dalam hal inilah ia seperti orang yang kerasukan setan.
Ribâ adalah tambahan pada modal. Misal seseorang meminjami fulan, seratus dalam waktu setahun, kemudian sampai pada waktunya ia mengambil darinya lebih dari jumlah itu yang menjadi syarat dalam perjanjian.
Kata “takhabbuth” dalam ayat, artinya berjalan labil. Juga dikatakan untuk orang yang bertindak dalam suatu urusan tanpa mendapat petunjuk mengenainya. Ia tertimpa dalam kegelapan atau mengalami kelabilan. Dengan demikian kalimat يَتَخَبَّطهُ الشَّيْطان; artinya ia dipukul syaitan dan terhempas.
Penafsiran Makna Kondisi Pemakan Riba
Para mufasir berbeda pendapat mengenai makna kondisi pemakan riba yang disebutkan dalam ayat suci tersebut. Di antaranya bahwa dia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan gila, seperti tanda khusus baginya, yang menunjukkan bahwa dia itu pemakan riba di dunia. Atau ketika dibangkitkan dari kubur ia bangun lalu jatuh, karena Allah swt mengembangkan perutnya sehingga memberatkan dia dalam berjalan.
Pendapat lainnya mengatakan bahwa kata mass yang dimaksud adalah mengikuti ajakan syaitan pada pemenuhan nafsu dan berpaling dari seruan fitrah kepada ketakwaan. Sehingga kehidupannya labil dan dalam kegelisahan. Tak diragukan bahwa si pemakan riba berlebihan dalam cinta dunia, sehingga kehidupannya di dunia menyimpang.
Dalam penjelasan Almarhum Sayed Thabathabai, orang yang kerasukan itu terganggu daya pembeda antara yang baik dan yang buruk serta yang bermanfaat dan yang bermadharat baginya. Demikian halnya dengan pengambil riba, dia tidak mengindahkan seruan fitrah dengan mengambil hartanya dari orang yang dia pinjami dengan tambahan. Hartanya itu bertambah dan berkembang dari harta orang lain, dan sudah tentu milik orang ini telah diambil dan berkurang.
Riba berlawanan dengan keseimbangan sosial dan merusak tatanan di jalan insani yang lurus yang ditunjuki oleh fitrah ilahiah. Pelakunya mengalami kerasukan tidak dapat membedakan antara bay (jual-beli) dan riba. Jika diserukan kepadanya agar tinggalkan riba, dia mengatakan: Jual-beli itu seperti riba…
Riba, Sebab Krisis Ekonomi
Ayat tersebut berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya yang berbicara tentang shadaqah, dan ia terkait dengan shadaqah dalam bentuk lain. Karena shadaqah terbagi dua macam:
1-Tanpa iwadh (ganti), adalah berinfak kepada yang membutuhkan.
2-Dengan iwadh; adalah hutang atau peminjaman.
Jika disertai laba maka itu merupakan riba, dan jika tidak disertai laba maka itu merupakan qardh hasan. Di dalam peminjaman terdapat dua manfaat:
Pertama, mengangkat hajat orang yang membutuhkan.
Kedua, menjaga martabatnya.
Syariat menghalalkan jual-beli (transaksi) karena adanya maslahat di dalamnya, dan mengharamkan riba karena di dalamnya terdapat mafsadat. Dalam penjualan barang, pedagang terkadang mendapat untung dan terkadang rugi. Sedangkan orang yang mengambil riba selalu untung.
Di dalam riba, si pemodal memperoleh (tambahan) harta tanpa beban lelah dan kerugian yang ditanggung oleh si peminjam. Perbuatan riba ini menimbulkan ketimpangan di lapisan masyarakat. Sebab, fenomena riba di tengah masyarakat, kekayaan menumpuk bagi pelakunya, sedangkan orang-orang di sekitarnya dalam keterpurukan. Hal ini menjadi sebab krisis ekonomi masyarakat.