Pembakaran Manusia: Akar Masalah dan Solusinya
(Sumber Image: BBC.com)
Entah apa ekspresi dan komentar kita saat mendengar dan melihat ada orang berani dan tega membakar “manusia” hanya berdasarkan prasangka bahwa dia pencuri. Kalau toh dia benar-benar pencuri, ajaran mana; agama mana; mazhab mana; aliran mana; dan pendapat siapa yang membolehkan dan membenarkan pembakaran pencuri?! Ayat mana dalam Alquran yang membolehkan pembakaran manusia? Hadis Nabi saw yang mana yang mengizinkan pembakaran manusia? Bukankah Rasul saw pernah berpesan bahwa bila orang-orang kafir mencincang dan memotong-motong (memutilasi)—dalam peperangan—tubuh kalian maka kalian tidak boleh melakukan muqabalah bil mitsl (membalas dengan melakukan hal yang serupa).
Di mana akal sehat masyarakat kita? Di mana hati nurani itu berada? Di mana kebijaksanaan itu? Di mana rasa belas kasih itu? Bukankah dengan membakar manusia tak berdosa, kita telah “membakar” masa depannya? Bukankah hanya Tuhan yang berhak “membakar” dosa manusia dalam api neraka? Itu pun setelah proses klarifikasi panjang melalui alam barzakh, hisab, mizan (timbangan amal) dan kegagalan manusia mendapatkan amnesti-Nya serta ketidaklayakan yang bersangkutan untuk mendapatkan syafaat Kubra (besar) dari Kanjeng Nabi Muhammad saw?
Ya, pembakaran manusia di Bekasi tersebut dipicu oleh kekesalan masyarakat terhadap maraknya aksi pencurian motor, khususnya di wilayah Jawa Barat. Pada 2015, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pencurian kendaraan bermotor (curanmor) terjadi tidak kurang dari 38 ribu kali di seluruh wilayah Indonesia. Angka ini cenderung menurun jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang bisa mencapai lebih dari 40 ribu kasus. Dan perlu di catat bahwa Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah kejadian curanmor terbanyak di Indonesia, yaitu 5 ribu kasus pencurian. Selanjutnya Sumatera Utara dengan 4.900 kasus curanmor.[1]
Kekerasan Adalah Perbuatan Irasional
Setiap orang, baik individu maupun kelompok melakukan kekerasan maka dapat dipastikan bahwa pelaku kekerasan adalah orang-orang yang “tidak waras” alias irasional alias tidak menggunakan akal sehatnya. Maka masyarakat yang menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalahnya adalah masyarakat yang kurang pengetahuan alias gagal paham alias tidak rasional. Masyarakat yang memilih jalan kekerasan adalah masyarakat yang tidak memiliki quwwatul manthiq (kekuatan logika), tapi hanya mengandalkan manthiqul quwwah (logika kekerasan). Lagi pula, kekerasan adalah bentuk kekalahan dan kebuntuan untuk menyelesaikan masalah.
Kegagalan Mengelola Emosi (Ghadab)
Orang yang dalam situasi harus marah namun dia tidak marah maka ia adalah keledai (Imam Syafi’i).
Kita bisa memahami betapa marahnya masyarakat kita terhadap aski pencurian yang seolah-olah tidak pernah mereda. Adalah benar bahwa masyarakat sangat muak terhadap pencurian, namun di sisi lain mereka harus pandai-pandai mengelola luapan amarah sehingga tidak liar dan salah sasaran. Sehingga jangan sampai mereka mengambil keputusan dan tindakan berdasarkan emosi.
Terkait dengan kekuatan emosi, masyarakat terbagi dalam tiga kelompok: ifrath (melampaui batas), tafrith (kurang dari yang semestinya/lemah), dan i’tidhal (moderat). Ifrath dalam emosi artinya ketika kekuatan emosi tidak terkendali dan keluar dari bimbingan akal dan syariat sehingga pikiran dan basirah tidak bekerja lagi. Tafrith dalam emosi bermakna kehilangan daya emosi dan kekuatan emosi ini begitu melemah sehingga dalam kasus-kasus dan tempat-tempat yang mestinya—secara syar’i dan akal—seseorang harus marah namun ia tidak marah sama sekali. Adapun i’tidhal (moderat) dalam emosi ialah kemampuan untuk mengelola emosi tepat waktu, tepat sasaran dan sesuai batas (pas dosis) sehingga tidak melampaui batasan akal dan syariat, dan kadar emosi yang tertumpah sesuai dengan aturan main yang ditentukan oleh akal dan syariat.
Akar Masalah dan Solusi
Mengapa kasus seperti di Bekasi terjadi dan apa akar masalahnya serta bagaimana solusinya? Menurut hemat saya bahwa ada tiga hal yang perlu kita cermati dan ambil pelajaran dari kasus yang memprihatinkan ini, dan ketiga masalah yang akan saya isyaratkan di bawah ini merupakan penyabab utama timbulnya masalah seperti ini, yaitu:
1-Minimnya pengetahuan dan pembelajaran tentang kedudukan manusia (antropologi dalam maknanya yang khusus membahas asal-usul, kedudukan dan potensi besar manusia). Harus kita akui bahwa sistem pendidikan kita masih terasa kurang dalam menyentuh aspek kemanusiaan. Manusia belum diletakkan dalam porsi idealnya sehingga manusia begitu “asing” dan nyaris tidak dikenal oleh anak didik kita. Oleh karena itu, pembelajaran yang berbasis pengenalan terhadap manusia sehingga anak didik memahami betapa mulia dan berharganya manusia adalah pelajaran yang wajib diberikan sehingga setiap pelajar memahami bahwa kejahatan terhadap manusia adalah kejahatan yang luar biasa.
2-Penekanan pada pendidikan rasional (tarbiyah ‘aqliyyah)
Pendidikan rasional harus ditekankan sejak usia dini sehingga setiap pelajar memahami bahwa keputusan dan tindakan mereka harus didasari oleh bimbingan akal. Anak-anak harus dibiasakan untuk berpikir rasional dan bertindak rasional. Sebab, kalau mereka tidak dibiasakan berpikir rasional maka tindakan mereka pun tidak rasional. Dalam kasus pembakaran manusia hanya berdasarkan asumsi/dugaan bahwa jangan-jangan ia pencuri adalah tindakan irasional, ceroboh dan tentu bodoh serta melampaui batas.
2-Penanaman Nilai-Nilai Akhlak
Pelajaran akhlak harus menjadi pelajaran primadona di sekolah dan universitas kita, khususnya di kalangan remaja yang sedang mencari jati dirinya. Dan kita harus jadikan akhlak sebagai parameter keberhasilan siswa-siswi kita. Sayangnya, anak-anak kita disesaki dan dijejali dengan banyak informasi dan pengetahuan namun minim penanaman nilai-nilai akhlak/moral. Di sinilah tugas sekolah, lingkungan dan tentu orangtua untuk bisa mengendalikan kekuatan emosi remaja. Dan biasanya pelaku kekerasan itu anak-anak remaja yang gampang disulut api amarahnya.
Jadi, kasus-kasus kekerasan—apapun bentuknya—bisa kita minimalisir dan bahkan kita hilangkan dengan tiga pendekatan edukatif:
Pertama, mengenalkan kedudukan mulia manusia di mata Tuhan dibandingkan makhluk lainnya.
Kedua, menitikberatkan pada pendidikan rasional sehingga setiap pikiran dan tindakan harus bertumpu pada bimbingan akal.
Ketiga, menanamkan nilai-nilai moral pada kalangan remaja dan menjadikannya sebagai barometer keberhasilan dan kesuksesan dunia pendidikan.
Syekh Muh. Ghazali
Pemerhati Sosial-Keagamaan
[1] http://databoks.katadata.co.id/datapublish/2016/12/23/2015-kasus-curanmor-jawa-barat-tertinggi