Pengasuhan Era New Normal adalah Penguatan Psikologis Anak Hadapi Kondisi
Perhatian atas mental atau psikologis anak bukan hanya penting untuk dewasa, melainkan untuk anak-anak juga. Wabah ini masih terus berkembang dan setiap orang mau tidak mau dihadapkan pada ketidakpastian situasi.
Di berbagai negara termasuk Indonesia, untuk menekan laju perkembangan virus, maka melakukan isolasi mandiri di samping melakukan aktivitas di rumah dengan menerapkan protokol kesehatan. Work for home, school for home, stay at home adalah hal-hal yang dilakukan sekarang ini.
Tentu saja, rasa tertekan atau juga stres karena harus tetap di rumah, boleh jadi dialami anak. Orang tua harus memperhatikan tanda-tandanya. Saat stres dan rutinitasnya terganggu, wajar bagi orang dengan semua usia mengalami tanda-tanda tekanan psikis. Pada anak kecil biasanya ditunjukkan misalnya dengan meningkatnya rasa manja, tangisan, mimpi buruk atau amarah.
Di samping itu bisa juga tandanya seperti kembali ke masa kecilnya, seperti mengisap jempol atau ngompol, itu bisa jadi pertanda anak stres.
Sementara para remaja atau anak dengan usia lebih besar, stres bisa dilihat dari perubahan psikologis, tidak bersemangat, nafsu makan makan berkurang, atau pola tidurnya terganggu.
Stres pada anak juga bisa mengakibatkan sakit kepala atau sakit perut. Bahkan, sampai ke perubahan cara berpikir, misalnya jadi pelupa, menjadi tak perhatian, atau kurang waspada.
Namun di sisi lain, untuk para remaja kondisi seperti ini lebih khawatir dengan kehidupan sosial mereka, ketimbang kesehatan atau masa depan mereka.
Orang tua disarankan untuk memperhatikan perkembangan psikologis atau mental anak. Remaja atau anak muda mungkin sebagian mereka mulai mampu memenej dan mengelola situasi seperti ini, tapi untuk anak-anak belum mampu melakukannya.
Bagaimana melakukan penguatan psikologis anak? Jangan risau jika anak kita nilai akademisnya kurang bagus, atau mata kuliahnya kurang bagus. Namun, risaulah saat anak tidak punya kekuatan mental dan tidak punya karakter baik. Saat tidak punya kekuatan psikologis. Saat tidak mau minta maaf saat salah, saat tidak mau berterimakasih kepada orang yang berbuat baik kepadanya. Saat cengeng dan menyerah jika ada musibah.
Kondisi pandemi atau pun era new normal, kondisi konflik orang tua, atau kondisi ekonomi orang tua yang terpuruk akan menjadikan anak sedih dan khawatir, dan anak akan mengalami masalah kejiwaan seperti, rewel, sering nangis, mudah bosan, pemurung, gelisah, stres dan lainnya.
Setiap anak pernah mengalami kegagalan, melakukan tindakan ceroboh. Anak yang punya kekuatan mental akan mudah bangkit dan menata kembali dan tidak akan larut dalam keterpurukannya. Anak yang tidak memiliki kekuatan mental, tidak punya tujuan dan cita-cita, merasa tidak akan berhasil, apatis dengan masa depan, dan tidak mampu memutuskan.
Apa yang harus diajarkan untuk penguatan psikologis dan mental anak? Ada empat ‘C’; Control, Confidence, Challenge, Commitment. Pertama, anak memiliki kontrol (control). Kontrol terhadap apa? Anak harus mampu mengontrol hidupnya (life control), mengontrol emosinya (emotional control) dan orentasi pada tujuan (goal oriented).
Kedua, memiliki keyakinan (confidence). Anak memiliki keyakinan terhadap dirinya atau kemampuannya, dan memiliki keyakinan berhubungan dengan orang lain. Ketiga, adanya tantangan (challenge) yang dihadapi akan membentuk kekuatan mental. Dengan tantangan anak akan mengetahui batas kemampuan dirinya.
Keempat, memiliki komitmen (commitment). Anak memiliki tujuan dan komitmen dengan tujuannya.
Apalagi yang harus dilakukan untuk penguatan psikologis anak? Langkah berikutnya yang harus dilakukan adalah zones of regulation, artinya anak mengatur dirinya sendiri, bukan karena disuruh atau diminta oleh orang lain. Misalnya regulasi diri dalam emosi. Emosi terkadang ada pada zona merah (red) biru (blue), hijau (green) dan kuning (yellow). Zona hijau adalah zona terbaik untuk belajar. Zona merah adalah zona belajar di bawah ancaman, zona kuning dan biru adalah zona tidak efektif untuk belajar. Bagaimana agar dari zona biru dan kuning berpindah ke zona hijau.
Anak diajari mengenal emosinya dan menggesernya ke zona emosi lainnya. Dari zona merah ke zona biru, atau bahkan ke zona hijau.
Saat emosi pada zona merah, cenderung menyerang orang lain dan tidak efektif, maka bagaimana anak mampu mengubahnya ke zona emosi lainnya?
Strategi regulasi diri dan emosi di mana anak mampu mengatur dirinya sendiri dan mengatur emosinya. Regulasi diri dapat dicapai dengan belajar dari kehidupan. Kondisi pandemi ini anak dapat melakukan regulasi diri, belajar mengatur dirinya dan emosinya dalam kondisi pandemi.
Anak akan mampu menentukan sendiri tujuan belajarnya dan kegiatannya. Apakah sudah tercapai ataukah belum? Tujuan belajar, strategi belajar, monitor belajar, dan belajar untuk selanjutnya, akan dievaluasi jika belum tercapai. Anak yang kuat psikologis atau mentalnya akan mampu mengatur dirinya sendiri dan memiliki kontrol pada dirinya sendiri. Dengan tantangan (challenge) anak mengetahui batas kemampuan dirinya.
Jika anak belum bisa menentukan cita-citanya, maka dalam kesehariannya anak dapat diajak diskusi dan diberikan informasi tentang cita-citanya dan konsekuensinya. Di mana cita-citanya juga dapat direalisasikan sesuai bakat anaknya. Di samping memberikan informasi juga mendukung cita-citanya supaya anak memiliki kendalinya sendiri. Proses dan hasil belajar adalah di antara strategi untuk mewujudkan cita-cita. Orang tua dapat melihat minat dan bakat anak dengan mengamati perilaku dan kebiasaan kesehariannya, misalnya anak senang corat-coretan mungkin bisa diarahkan untuk menjadi desainer, senang bicara bisa diarahkan untuk menjadi presenter, senang otak-atik barang, mungkin bisa diarahkan untuk menjadi mekanik dan lainnya. Apalagi saat kondisi pandemi seperti ini anak menghabiskan banyak waktu dan aktivitasnya di rumah bersama orang tua.
Alhasil pengasuhan di era new normal adalah penguatan psikologis atau mental anak agar mempu hadapi kondisi yang ada tidak cemas dan tetap bahagia.
(Euis Daryati)
Keterangan :
Sebagian materi resuma materi yang disampaikan ketua Himpunan Psikolog Indonesia (HIMPSI), Dr. Seger Handoyo yang disampaikan di webinar