Perayaan Taklif: Filosofi dan Kajian Parenting
Oleh ; Dina Y. Sulaeman
Taklif bermakna ‘beban atau tanggung jawab’. Dalam istilah fiqih, taklif bisa disamakan dengan istilah ‘baligh’, yaitu usia dimana anak-anak sudah mengemban tanggung jawab syar’i. Dimulai saat baligh, ada hal-hal wajib yang harus mereka jalankan, ada pula hal-hal haram yang harus mereka hindari. Bila mereka tidak melakukan kewajiban-kewajiban atau sebaliknya, melakukan hal-hal yang diharamkan itu, kepada mereka sudah dikenai hukum ‘dosa’ dan akan menerima konsekuensi di akhirat. Fa man ya’mal mitsqaala dzarratin khairay-yarah, wa man ya’mal mitsqaala syarray-yarah (siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarrah, dia akan mendapatkan hasilnya; dan siapa yang mengerjakan keburukan sebesar dzarrah, dia akan menerima akibatnya)Dalam berbagai masyarakat di dunia, sampainya seorang anak ke usia baligh dipandang sebagai momen penting yang harus dirayakan. Cara perayaannya, tentu saja sesuai budaya masing-masing. Filosofi-nya pun berbeda-beda. Berikut ini di antaranya:
1.Hadramaut (Yaman)
Anak-anak kecil sedari usia 7 tahun diperintahkan untuk menghafal kitab Bidayatul Hidayah (karya Imam Ghazali); yang di dalamnya terkandung ilmu syariah dan hakikat. Ketika anak-anak sudah khatam kitab ini, orang tua akan mengadakan perayaan. Kepada para tamu, orang tua akan mengumumkan bahwa anaknya sudah baligh dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Si anak juga disuruh membacakan sebagian isi kitab Bidayatul Hidayah itu.
2.Iran
Masyarakat Iran biasa mengadakan perayaan yang disebut jasyn-e taklif ketika anak berusia 9 tahun (perempuan) dan 15 tahun (laki-laki). Acara ini biasanya dilakukan secara massal; misalnya diorganisir oleh lembaga sosial atau pemerintah.Dalam acara itu anak-anak akan mendengarkan ceramah dari ulama dan mendapatkan penjelasan mengenai kewajiban-kewajiban syar’i yang harus mereka lakukan. Selain itu, mereka juga akan mendapatkan hadiah-hadiah dari pihak penyelenggara.
3.Jepang
Setiap Senin kedua di bulan Januari, masyarakat Jepang memiliki perayaan ‘Festival Umur’ atau Seijin-no-Hi. Pada hari itu, laki-laki dan perempuan yang berusia 20 tahun akan mengenakan kimono dan berjalan-jalan, merayakan hari dimana mereka sudah dianggap dewasa. Dalam masyarakat Jepang, seseorang dianggap dewasa pada usia 20 tahun dan ia dibolehkan melakukan hal-hal yang dianggap ‘perilaku dewasa’.
4.Kenya dan Tanzania
Suku Maasai di Kenya dan Tanzania memiliki tradisi untuk merayakan sampainya anak laki-laki pada usia 10 tahun. Mereka dipandang telah mencapai usia dewasa dan harus mengikuti ritual bergabung dalam prajurit suku itu. Mereka akan dikhitan dan selama 10 tahun tinggal di kamp prajurit. Di sana mereka belajar berbagai keterampilan. Setelah masa pelatihan itu selesai, mereka berhak untuk menikah dengan wanita pilihan mereka.
5.Pulau Baffin (Kanada)
Suku Inuit yang tinggal di Pulau Baffin punya tradisi mengajak anak laki-laki dan perempuan berusia 11-12 tahun ke padang gurun untuk menguji kemampuan berburu mereka dan membiasakan diri dengan cuaca Arktik yang keras. Dalam ritual itu, seorang dukun akan dipanggil untuk membuka jalur komunikasi antara manusia dan binatang. Kepada mereka juga diajarkan berbagai jenis keterampilan tradisional.
6.Meksiko
Orang Meksiko memiliki tradisi Quinceañera yaitu merayakan hari ulang tahun ke-15 anak perempuan. Pada usia itu, seorang anak perempuan sudah dianggap dewasa dan siap mengambil tanggung jawab atas dirinya sendiri. Acara yang dilakukan adalah mengikuti misa di gereja, yang diberi nama de Accion de gracias (ucapan rasa syukur kepada Tuhan) dan pendeta akan memberikan pemberkatan kepada anak gadis tersebut.
7.Brasil
Suku Satere-Mawe di Amazon (Brasil) memiliki ritual “Inisiasi Semut”. Anak laki-laki yang mencapai usia 13 tahun, disuruh menggunakan sarung tangan yang berisi semut ganas selama 10 menit, selama 20 kali dalam rentang beberapa bulan. Anak-anak itu dianggap mencapai kedewasaan ketika sanggup bertahan menahan sakitnya gigitan semut.
8.Israel (Yahudi di berbagai negara)
Kaum Yahudi, baik yang tinggal di Israel, maupun di berbagai negara lain, memiliki ritual bar mitzvah untuk merayakan anak laki-laki yang mencapai usia 13 tahun dan bar mitzvah untuk anak perempuan yang mencapai usia 12 tahun. Mitzvah berarti hukum (syariah). Sehingga, bar/bat mitzvah diartikan sebagai masuknya anak-anak ke kategori ‘wajib menaati hukum’. Sebelum acara bar/bat mitzvah anak-anak diikutkan dalam pelatihan selama beberapa pekan untuk mempelajari seluk-beluk hukum tradisi, dan etika kaum Yahudi. Dan setelah melewati bar/bat mitzvah, mereka dianggap sudah bertanggung jawab atas diri mereka sendiri (menanggung dosa mereka sendiri).
Filosofi Perayaan Taklif dalam Pandangan Islam
Sejarah perayaan taklif di Iran bermula ketika seseorang bernama Sayyid Ibnu Thawus (yang kelak menjadi ulama besar di Iran, wafat 664 H), menyelenggarakan perayaan taklif untuk dirinya sendiri. Ketika beliau berusia 15 tahun, beliau mengundang beberapa orang ke rumahnya dan menjamu mereka dengan hidangan. Orang-orang bertanya kepadanya, “Kamu sedang merayakan apa?”
“Ini penghormatan buat saya sendiri,” jawab Sayyid Ibnu Thawus.
“Taklif bukanlah beban, justru kini saya sedang mendapatkan kehormatan,” lanjutnya.
“Saya harus bersyukur karena sampai kemarin saya tidak dianggap sebagai makhluk yang layak untuk datang ke mihrab Ilahi untuk ‘berbicara’ dengan Allah. Namun kini, Allah telah ‘berbicara’ kepada saya, meminta sesuatu kepada saya, dan menjadikan saya sebagai objek bicara,” jelasnya lebih lanjut.
Pemikiran Ibnu Thawus ini mengandung makna yang dalam. Taklif, seolah merupakan beban. Dari yang tidak wajib sholat (karena masih kecil), kini wajib sholat. Dari yang tidak wajib zakat, sekarang harus berzakat. Dari yang tidak perlu menutup aurat, kini wajib menutup aurat, dst.
Namun, dalam perspektif Ibnu Thawus, kewajiban-kewajiban itu justru bentuk ‘dialog’ keterikatan, dan penghambaan kepada Allah. Analoginya, anak kecil yang diabaikan, tidak disuruh apa-apa, dibiarkan saja melakukan apapun oleh orang tuanya; sebenarnya bukan anak yang disayang. Anak yang diabaikan justru merindukan adanya aturan, perhatian, dan penjagaan dari orang tuanya. Begitu pula manusia, secara fitrah sebenarnya mendambakan kehidupan yang teratur dan terjaga. Allah pun memberikan aturan-aturan-Nya karena rasa sayang-Nya kepada manusia, bukan karena ingin membebani manusia.
Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Malaikat diciptakan Allah dengan akal, tapi tidak memiliki syahwat. Hewan diciptakan dengan syahwat, tetapi tidak memiliki akal. Manusia diciptakan dengan akal dan syahwat. Bila manusia dengan akalnya, mampu mengendalikan syahwatnya, maka ia lebih mulia dari malaikat. Sebaliknya, bila akalnya kalah oleh syahwatnya, ia lebih buruk daripada hewan.”
Akal manusia akan mendorong manusia untuk menjaga keimanannya dan berperilaku baik; syahwat akan mendorong manusia untuk meyakini hal-hal yang salah dan berperilaku buruk.
Allah Yang Maha Penyayang menurunkan aturan-aturan untuk membantu manusia mengendalikan syahwatnya, demi mencapai kesempurnaan diri (insan kamil).
Karena itu, sesungguhnya, seperti kata Ibnu Thawus, tibanya usia taklif bukan beban, melainkan tibanya masa untuk mencapai kemuliaan diri manusia. Seperti dikatakan Imam Ali kepada putranya Hasan Al Mujtaba, “Allah tidak memerintahkanmu, selain kebaikan; dan tidak melarangmu melakukan sesuatu kecuali karena sesuatu itu buruk.”
Sayangnya, sedikit sekali orang yang menaruh perhatian terhadap tibanya usia taklif. Sebagian orang terbiasa untuk merayakan pesta ulang tahun anaknya setiap tahun. Namun, perayaan khusus pada usia 9 dan 15 tahun, tidak populer dilakukan. Di Indonesia, masyarakat perkotaan lebih mengenal sweet seventeen, namun berkonotasi kurang baik. Misalnya, setelah usia 17, anak-anak sudah dibolehkan pacaran.
Bagi hampir semua orang tua, perayaan terbesar mereka untuk anak-anak adalah perayaan pernikahan. Pernikahan seolah dianggap tonggak dimulainya hidup baru. Padahal, bila dipikirkan lebih dalam lagi, ‘hidup baru’ manusia justru ketika usianya beralih dari anak-anak ke usia baligh. Pemahamannya tentang kehidupan seharusnya benar-benar matang, sehingga ia menjalani kewajiban-kewajiban agama dengan penuh kesadaran, bukan sekedar ‘takut dosa’, takut neraka, atau ‘karena takut pada ortu’. Pernikahan yang bahagia hanya akan terjadi ketika masing-masing pasangan telah berhasil melalui usia baligh dengan cara yang benar dan selamat.
Taklif dalam Kajian Parenting
Otak manusia dikaruniai sepasang otak, kanan dan kiri, dengan tugas yang berbeda namun saling melengkapi. Otak kiri berfungsi dalam hal-hal yang berhubungan dengan logika, rasio, kemampuan menulis dan membaca, serta merupakan pusat matematika. Sementara itu otak kanan berfungsi dalam hal-hal yang terkait dengan sosialisasi, komunikasi, interaksi dengan sesama manusia, serta pengendalian emosi. Pada otak kanan ini terletak kemampuan seni dan kreatif.
Hal yang memungkinkan keduanya berfungsi baik di pria maupun wanita adalah corpus callosum, sebuah “jembatan” yang menghubungkan kedua belahan otak.
Penelitian menemukan bahwa tersambungnya otak kiri dan kanan (terbentuknya corpus callosum) itu mulai sempurna pada usia 9 tahun (untuk perempuan) dan 11-12 (untuk laki-laki). Artinya, pada usia itu, anak sudah mampu menganalisis sebab-akibat. Dia sudah mampu mencerna apa itu ‘konsekuensi’. Oleh karena itulah, menurut pakar parenting Rani Razak Noeman, anak-anak sebaiknya mulai dikenalkan wajah keras Allah (jalaliah) pada usia 9 tahun. Pada usia balita hingga 9 tahun, anak sebaiknya dikenalkan pada wajah indah Allah (jamaliah). Misalnya, suruhlah anak sholat dengan perkataan, “Ayo nak, sholat, untuk berterima kasih kepada Allah. Subhanallah, Allah sudah memberi kita udara untuk bernafas, makanan untuk kita makan, rumah untuk berteduh. Allah baiiik.. sekali pada kita.”
Sebaiknya, hindari ancaman saat menyuruh anak balita hingga 9 tahun untuk beribadah. Hindari perkataan, “Ayo sholat! Kalau nggak, kamu ntar masuk neraka!”
Jika anak sudah mencapai usia 9 tahun, barulah kita mengenalkan konsekuensi dari dosa. “Sholat itu wajib, zakat itu wajib, menutup aurat itu wajib. Bila tidak melaksanakannya, kita akan berdosa. Bila kita berdosa, kelak kita –naudzubillah- akan dimasukkan ke neraka.”
Pertanyaannya, mengapa anak-anak kita umumnya pada usia 9 dan 15 tahun masih terlihat ‘sangat anak-anak’, tidak mandiri, susah disuruh sholat, tanggung jawabnya kurang, dll? Dan bahkan, kita banyak temukan manusia-manusia yang sudah menikah pun masih kekanak-kanakan, tidak mandiri, tidak bertanggung jawab. Mengapa seolah ada kesenjangan antara usia baligh/taklif dengan kedewasaan/ kecerdasan emosional?
Jawabannya:
1. Pola asuh yang salah ( memanjakan, tidak mengenalkan konsep tanggung jawab sejak dini, terlalu sering mengomel, mengkritik, memarahi, tidak memberi teladan)
2. Akibat terpapar teknologi (internet, game) terlalu dini. Anak-anak adalah usia yang rentan. Wilayah amygdala yang mengatur keterampilan berempati dan otak depan (frontal lobe) sebagai pusat keterampilan menalar secara kompleks belum berkembang sepenuhnya. Jadi, jangan heran jika anak-anak dan remaja cenderung egois, suka cari enaknya sendiri, suka yang instan, dan sulit memahami sudut pandang orang lain. Mereka harus belajar mematangkan itu seiring matangnya otak dan lewat kontak sosial yang bermakna.
Jika pada proses ini anak-anak justru menggunakan terlalu banyak teknologi, perkembangan frontal lobe dan akhirnya menghambat proses pendewasaan diri. Seolah-olah otak mereka dibekukan dalam modus remaja untuk seterusnya. Dr. Akio Mori dari Tokyo’s Nihon University mendapati: makin panjang waktu yang anak habiskan bermain video games, perkembangan area-area kunci frontal lobe yang mengatur pembelajaran, memori, emosi, dan kendali naluri juga semakin tertekan.
Perlu diketahui, anak Steve Jobs (usia 19, 15,12) malah tidak dibolehkan memakai iPad (padahal, anak-anak di seluruh dunia tergila-gila pada iPad yang diciptakan Jobs). Di rumah Jobs (dia orang terkaya di dunia urutan ke-42) segalanya serba sederhana dan tidak menggunakan teknologi tinggi. Jobs sebagai pencipta teknologi canggih ternyata sangat paham apa efek buruknya bagi anak-anak.
Bila sudah ‘terlanjur’, yang harus dilakukan, antara lain:
1. Orang tua perlu mempelajari teknik komunikasi pengasuhan anak, supaya apa yang ingin disampaikannya bisa diterima baik oleh anak. Tidak ada orang tua yang tak sayang pada anak. Semua yang dilakukan ortu pasti diniatkan untuk kebaikan. Namun, seiring perkembangan zaman dan gaya hidup, cara-cara berkomunikasi orang tua dan anak generasi kini perlu dipelajari. Tidak bisa lagi menggunakan gaya otoriter dalam pengasuhan anak (seperti gaya ortu zaman dulu).
2. Berdialog dengan anak, mendiskusikan apa tujuan hidup, apa yang dikehendaki Allah dari manusia, dan sejenisnya. Ajak seluruh anggota keluarga mendiskusikan visi-misi keluarga. Visi: apa yang dicita-citakan. Misi: apa langkah nyata yang harus dilakukan untuk mencapai misi. Salah satu misi penting: menghindari atau mengurangi pemakaian televisi dan gadget (hp, tablet, iPad). Sulit mengajak anak kepada kebaikan apabila perhatian mereka disedot oleh televisi dan gadget.
3. Berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah.Ortu dan anak sama-sama bertekad memperbaiki diri. Secara rutin membaca Quran dan mengkaji Islam (hindari model ‘ceramah’, lakukan diskusi, misalnya membaca buku bersama lalu didiskusikan).