Perkembangan Peradaban Islam Chapter. 2: “Kenapa Ilmuan Muslim Banyak Muncul dari Persia?”
Annisa Eka Nurfitria-Chapter pertama penulis telah menyajikan fakta sejarah kemajuan peradaban Persia sebagai bangsa super power di bidang IPTEK. Capaian kemajuan peradabannya jauh sebelum Kekaisaran Rashidun menginvasi dan islamisasi wilayah Persia. Chapter kedua ini, penulis mencoba memperkuat fakta sejarah kemajuan peradaban Persia yang melampaui perdaban Arab dengan menyajikan tokoh-tokoh ilmuan Islam yang kebanyakan berasal dari wilayah Persia, atau setidaknya pernah berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Sasaniyah.
Sebelumnya, penulis juga bermaksud menyajikan sumber lain yang memperkuat fakta sejarah tersebut dari Kitab Muqaddimah karya seorang sosiolog, sejarawan sekaligus filsuf Arab-Muslim abad ke-14 yaitu Ibnu Khaldun. Karyanya Muqaddimah semacam Wikipedia Sosiologi di masa itu. Dalam kitab tersebut dari sekian banyak pembasan, Ibnu Khaldun juga menjelaskan gambaran kondisi sosial dan geopolitik interaksi Persia dan Arab.
Menurut Ibnu Khaldun, Arab Badui adalah masyarakat yang relatif masih terbelakang, itu tampak dari pola hidup mereka yang selalu menjarah, merampok atau merampas harta orang lain dan menyebabkan kerusakan. Mereka menjarah apapun di depan mata mereka, Arab Badui memanfaatkan kondisi kekuasaan Sasaniyah yang melemah akibat perang yang berkepanjangan. Mereka menyerang kemudian menjarah wilayah tersebut berulang kali. Akibatnya masyarakat Persia menyerah dan menjadi tanda awal keruntuhan peradaban Persia.
Lebih tegas lagi Ibnu Khaldun menggambarkan karakter Arab Badui yang biadab. Kebiadaban yang telah menjadi karakter sebegai bentuk kebebasan dari ketundukan terhadap otoritas. Watak Arab Badui inilah yang Ibnu Khaldun sebut sebagai antithesis dari kemajuan peradaban. Misalnya, ketika Arab Badui membutuhkan batu, kayu dan tenda untuk memasak atau sebagai alat peraga, untuk mendapatkannya mereka harus merobohkan bangunan terlebih dahulu. Merusak bangunan menjadi watak Arab Badui, padahal bangunan merupakan salah satu ciri kemajuan peradaban.
Patut dicatat, peradaban besar selalu runtuh ketika Arab Badui mengambil alih dan menaklukan wilayah tersebut. Sebut saja peradaban Persia, wilayahnya benar-benar hancur, seluruh peninggalan peradaban seperti bangunan, monumen, properti, patung dan arsitektur hancur semua, menyisakan yang terlihat puing-puing desa dan dusun.
Lebih lanjut Ibn Khaldun menyebutkan, Arab Badui memiliki karakter yang sangat sulit untuk bersatu kompak antar sesama suku Arab. Sifat Rasisme antar suku Arab membuat mereka saling dengki satu sama lain bahkan sampai saling membunuh. Kemunculan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW kemudian secara perlahan dapat membuat suku-suku di Arab Badui mulai bersatu. Tentu di awal-awal dakwah Islam sangat sulit menyatukan antar suku-suku Arab yang memiliki akar rasisme cukup lama, dengan akhlak mulia dan kegigihan Nabi Muhammad SAW dapat mempersaudarakan antar suku-suku Arab.
Al Muqaddimah Bab 6, Ibnu Khaldun membandingkan perbedaan cara masyarakat Persia, Yunani dan Arab dalam memperlakukan ilmu pengetahuan, nantinya argument ini juga menjadi penting untuk memahami bagaimana hubungan Islam dengan sains dan ilmu pengetahuan di abad ke-7 umat manusia. Bagi orang Persia, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) memainkan peran besar dan sangat penting, karena itu yang membuat dinasti Persia kuat dan mampu bertahan ribuan tahun. Bahkan IPTEK dikatakan telah datang kepada orang-orang Yunani dari Persia, ketika Aleksander membunuh Darius dan memperoleh kendali atas kekaisaran Achaemenid. Pada saat itu, ia mengumpulkan buku-buku dan ilmu-ilmu dari Persia untuk dipelajari. Sedangkan ketika Kekaisaran Rashidun menaklukkan Persia dan menemukan sejumlah besar buku dan karya ilmiah, Sa’d bin Abî Waqqâṣ mengirim pesan kepada ‘Umar bin Khaṭṭâb, meminta izin kepadanya untuk mengambil dan membagikannya sebagai barang rampasan. Namun pada saat itu, ‘Umar membalas dengan jawaban: ‘Buanglah buku-buku itu ke dalam air. Jika yang dikandungnya adalah bimbingan yang benar, Allah telah memberi kita bimbingan yang lebih baik. Jika itu adalah kesalahan, Allah telah melindungi kita darinya.’ Dengan alasan itu, pasukan Kekaisaran Rashidun melemparkan karya-karya ilmiah tersebut ke dalam air dan sebagiannya dibakar, lenyaplah ilmu pengetahuan warisan bangsa Persia.
Sampai disini terjawab kenapa Ilmuan Muslim kebanyakan dari orang Persia bukan orang Arab, walaupun Islam pertama kali diturunkan di Arab. Hal ini pula yang kembali ditegaskan oleh Ibnu Khaldun bahwa faktanya sebagian besar cendekiawan Muslim baik dalam hal agama maupun ilmu pengetahuan adalah non-Arab (Persia). Ketika ada seorang sarjana Muslim, ia pasti non-Arab. Bahkan yang pakar di bidang bahasa Arab sekalipun juga berasal dari non-Arab. Sebut saja pendiri tata bahasa Arab adalah Sîbawayh dan setelah dia ada Al-Fârisî dan Az-Zajjâj. Semuanya adalah keturunan non-Arab (Persia). Mereka dibesarkan dalam bahasa Arab dan memperoleh pengetahuannya dari pengasuhan dan melalui kontak dengan orang Arab. Mereka menemukan aturan (tata bahasa) dan menjadikannya sebagai sebuah disiplin ilmu untuk kemudian dipelajari generasi selanjutnya.
Sebagian besar cendekiawan yang melestarikan tradisi ḥadîth untuk umat muslim adalah orang Persia. Selain itu, semua sarjana yang mendalami ilmu Ushul Fikh adalah orang Persia. Hal yang sama di bidang teologi, filsafat dan tafsir Al-Qur’an. Hanya orang Persia yang terlibat dalam upaya melestarikan pengetahuan dan menulis karya ilmiah yang sistematis. Dengan demikian, semakin relevan pernyataan Nabi Muhammad SAW: ‘Jika ilmu pengetahuan digantung di bagian tertinggi surga, orang Persia akan mencapainya.’
Masyarakat Arab Badui – dengan budaya tradisionalnya – ketika bersentuhan dengan budaya literasi Persia, mereka merasa asing dan tidak terbiasa dengan tradisi literasi, bahkan mereka menganggap menjadi seorang sarjana adalah profesi rendahan. Ditambah lagi penguasa dinasti saat itu mengkerdilkan profesi sarjana. Sehingga Arab Badui menyerahkan hal-hal yang berkaitan dengan literasi dan penelitian kepada orang-orang non-Arab (Persia).
IPTEK tidak memiliki tempat di hati penguasa Arab saat itu. Akhirnya, orang-orang Arab mengabaikan IPTEK dan diambil alih oleh orang-orang non-Arab (Persia). Karena tidak ada ketertarikan di bidang IPTEK, para cendekiawan dipandang sebelah mata, penguasa Arab melihat bahwa para cendekiawan tidak memiliki sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk kekuasaan dan mereka terlalu menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak menarik bagi penguasa dalam urusan pemerintahan dan politik. Inilah sebabnya mengapa semua sarjana Muslim, atau kebanyakan dari mereka adalah non-Arab (Persia).
Bersambung…
Sumber: The Muqaddimah – An Introduction to History by Ibn Khaldun