Polemik Pendidikan Seksual di Sekolah (Bagian Pertama)
Sumber image:
http://www.lampost.co/
Naluri seksual dan gejolaknya di usia pubertas (balig) kerap mendatangkan masalah bagi kalangan remaja (ABG). Karena itu, tugas pendidik untuk mengarahkan dan membimbing remaja dengan penuh kehati-hatian dan membantu mereka supaya dapat membedakan antara jalan keselamatan dan jalan kesengsaraan.
Anak-anak remaja biasanya tidak mengungkapkan problema seksual mereka dengan sembarangan orang. Maka, keberadaan pembimbing/penasehat dan guru yang telah mendapatkan pengetahuan/training di bidang ini tentu sangat penting. Adalah menjadi tanggung jawab para penyelenggara sekolah dan seluruh tim yang terlibat di dalamnya untuk menyusun program-program yang tepat guna mengurangi seminimal mungkin timbulnya sebagian potensi penyimpangan seksual remaja karena pengaruh teman-teman sebaya mereka.
Tanggungjawab utama pendidikan seksual remaja itu berada di pundak orangtua (ayah-ibu) mereka. Dan ketika tidak ada ibu di lingkungan keluarga karena faktor perceraian, kematian atau penyakit yang berkepanjangan maka pendidikan yang terkait dengan pubertas bagi remaja perempuan harus diambil alih oleh wanita-wanita lain dari anggota keluarga, seperti bibi (dari ayah atau ibu) dan nenek. Kalau tidak ada ayah dan kakek, maka paman (baik dari ayah maupun ibu) dapat mengambil alih tanggungjawab ini. Bila tidak demikian maka masalah pendidikan seksual remaja hendaklah diserahkan kepada salah satu guru sekolah yang akan memberikan materi pendidian seksual kepada mereka.
Soal, apakah sebaiknya pendidikan seksual di sekolah itu diajarkan secara umum (terbuka) atau individual (privat/rahasia)? Hal ini masih menjadi polemik. Sebagian menilai bahwa pendidikan seksual seperti hukum yang terkait dengan cara mandi yang seorang guru dapat mengemukakannya secara terbuka. Namun sebagian berpandangan bahwa masalah ini seperti mimpi (basah/tanda balig) yang bila disampaikan secara personal/rahasia itu lebih baik. Alhasil, perlu diperhatikan situasi dan lingkungan yang ada. Bila di lingkungan sekolah terdapat siswa-siswa yang usia mereka kurang lebih sama dan pengetahuan seksual mereka tidak terlampau jauh maka menyampaikan pendidikan seksual secara umum (terbuka) itu tidak menjadi masalah. Tetapi bila kesenjangan di antara mereka dari pelbagai aspek sangat jauh maka mengemukakan masalah khusus secara terbuka biasanya tidak mendatangkan hasil yang positif dan efektif.
Pendidikan seksual sebagaimana pendidikan utama lainnya harus disampaikan tepat waktu dan keadaan, tidak boleh diajarkan lebih cepat dari waktunya dan tidak pula lebih lambat. Tidak penting, misalnya, anak yang masih duduk di bangku kelas dasar untuk mengetahui secara terperinci hubungan seksual laki dan perempuan. Di samping itu, akan sangat disayangkan bila seorang perempuan yang sudah siap menikah namun ia tidak mengetahui masalah-masalah yang terkait dengan seksual sehingga pengalaman-pengalaman pahit terburuk yang dialaminya justru terjadi saat pernikahannya. Pendidikan seksual harus mulai disampaikan beberapa tahun sebelum kelas menengah (SMP) sehingga anak pada setiap jenjang/tingkatan sekolah akan mendapatkan pengetahuan yang lebih lengkap.
Harus diakusi bahwa anak-anak perempuan dilihat dari sisi seksual itu lebih rentan terhadap masalah/gangguan daripada anak-anak laki. Sebab, pertama secara fisik mereka lebih lemah dan kedua, mereka lebih cepat puber (balig). Biasanya anak-anak perempuan belum mendapatkan pengetahuan seksual yang dibutuhkan pada usia balig, sehingga mereka mudah terjerembab dalam penyimpangan seksual. Kami mengusulkan supaya para orangtua meningkatkan pengawasannya terhadap anak-anak perempuan mereka yang mendekati masa akhir belajarnya di sekolah dasar (kelas lima SD). Para guru hendaknya berperan aktif dalam membantu persiapan masuknya remaja putri dalam usia balig, misalnya dengan menjelaskan kepada mereka cara-cara mencegah penyimpangan seksual.
Kami menyarangkan supaya para pendidik dan para guru yang terlibat dalam KBM (kegiatan belajar mengajar) di sekolah, khususnya guru BP (bimbingan pelajar) dan lembaga-lembaga pendidikan yang umumnya sangat peduli dengan masalah-masalah moral para pelajar hendaklah mereka menggunakan cara-cara berikut ini dalam rangka mencegah pelbagai penyimpangan seksual:
-Memberi pendidikan yang cukup untuk kedua orangtua melalui pertemuan antara para wali siswa dan para guru dimana di situ disampaikan penyuluhan dan pengarahan yang seperlunya.
-Memberikan pendidikan yang komprehensif kepada para pendidik dan lembaga-lembaga pendidikan untuk menemukan cara yang tepat dalam menghadapi problema remaja.
-Memberi pendidikan kepada remaja sendiri.
-Memuliakan kepribadian remaja.
-Menciptakan pekerjaan yang kontinu dan mengisi waktu kosong
-Memberi pendidikan tentang cara mengatur waktu tidur
– Memberi pendidikan tentang menyiapkan tempat/wahana tidur yang sesuai
-Memperkenalkan bahaya/ancaman lingkungan
-Pendidikan tentang gizi dan makanan yang benar
-Menguatkan tekad (kemauan)
-Pendidikan spiritual
-Olah raga
Sebagian cara ini dapat dikemas dalam bentuk nasihat para guru kepada para siswa dan sebagian lagi perlu partisipasi orangtua dalam pelaksanaannya, seperti makanan yang benar, pengaturan jam tidur, dan mempersiapkan tempat tidur yang nyaman.
Para remaja harus diberi pemahaman bahwa bila kecenderungan seksual dipuaskan secara tidak alami maka akan mendatangkan kesengsaraan pada manusia. namun ketika ia dipenehui dengan cara yang benar dan di saat yang tepat (pada masa pembentukan keluarga) dan sebelum masa ini, mereka berhasil menjaga diri mereka dari segala bentuk penyimpangan seksual maka mereka akan mendapatkan kebahagiaan dalam hidup.
(Bersambung)
Afkari Ahsani